SINGULARITY : Maaf

158 27 4
                                    

"Banyak keluarga mampu yang ingin mengadopsi Stefan, namun Stefan tidak menginginkannya, dia sangat sayang pada ibu Dira, kepala panti asuhan tempat kami bernaung. Begitupun ibu Dira, ibu Dira benar-benar menyayangi Stefan layaknya putra kandungnya."

"Aku berpisah dengan Stefan saat umur ku tiga belas tahun. Aku mendapatkan keluarga baru yang benar-benar menyayangiku dan disitulah awal mula aku kehilangan kontak dengan Stefan. Namun beberapa tahun kemudian, kami di pertemukan dalam lembaga yang sama, saat itu Stefan menjadi atasanku. Dia masih sama dengan Stefan yang dulu ku kenal, ceria dan penuh jenaka."

"Kami kerap kali di tugaskan dalam misi yang sama, namun dalam misi terakhir kami, ada beberapa kejadian yang membuat Stefan terpaksa di pulangkan lebih dini. Baik aku maupun seluruh anggota Stefan, kami tidak tahu alasan mengapa kejadian itu menimpanya dan di saat itu juga, aku melihat Stefan untuk terakhir kalinya sebelum dia berakhir di rumah sakit ini."


Sudah dua kali berturut-turut aku memimpikan pertemuan ku dan Ameela.

Mimpi itu lagi-lagi mampu membuat otak ku bekerja keras memikirkan alasan mengapa Stefan di pulangkan lebih dini.

"Apakah Stefan melakukan kesalahan?"

"Apakah pemuda itu terlibat dalam tindak kriminal?"

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul di kepala ku tanpa aku tahu jawaban pasti dari pertanyaan itu. Walau demikian, aku sangat bersyukur, setidaknya, sedikit demi sedikit aku telah mendapat pencerahan.

Terimakasih pada Ameela, karena wanita itu benar-benar datang disaat yang tepat.

Semangatku semakin membara.

"Haruskah aku memulai dari ibu Dira? Atau lembaga tempatnya bekerja? Ini tidak akan semudah yang ku pikirkan, tapi aku akan berusaha. Tunggu dan lihatlah, aku akan membuat mu kembali menjalani kehidupan normal, STEFAN AVERY!!!"

Brak!

Aku terkejut bukan main saat mendengar suara pintu yang di buka secara kasar. Ku lihat di depan sana sudah ada Stefan yang berdiri dengan raut wajah yang —

"Hei!! Mengapa wajah mu sekusut itu? Astaga mengapa hidung mu memerah? Apa kau terkena flu?" Tanya ku bertubi-tubi sembari berlarian ke arahnya namun ia memundurkan tubuhnya menghindariku. Membuat ku jadi teringat suatu adegan dengan kata-kata : "Jangan sentuh aku mas, aku jijik"


"Ish, kenapa kau menghindari ku, huh?"

Stefan berjengit dan semakin menjauh dari ku lalu di detik selanjutnya terjadilah adegan membagongkan.

"Hiks... hiks.... Apa kau masih padaku?" Tanyanya —membuatku cengo sejenak.

"Marah? Apakah aku terlihat seperti orang yang akan marah?"

"Tadi, ku dengar kau meneriakan namaku, jadi ku sebut apa kalau bukan marah?" Stefan menangis sejadi-jadinya sembari mengelap leleran hidungnya menggunakan punggung tangan.

Aku menutup mulutku, tak kuasa menahan tawaku yang nyaris saja meledak.

Jadi karena itu? Sepertinya bayi besar ku salah paham.

Masih dengan tangisan yang memekakan telinga, aku lagi-lagi dibuat terkejut dengan tindakan Stefan —membuat tawaku hilang seketika.

"Yuki, maafkan aku, karena kemarin aku nyaris membunuhmu!"


SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang