SINGULARITY : Aku Lapar

893 133 30
                                    

"Bukan urusan ku, bodoh."

Aku menatap Stefan yang mulai memeluk kakinya. Ia memutar kursi membelakangi ku sambil bergumam tak jelas —berbicara pada dirinya sendiri. Kalau sudah begini akan sangat sulit melanjutkan terapi Stefan.

Berulang kali aku merasa lelah dan ingin menyerah saja untuk mengembalikan —sedikit— kewarasan Stefan. Namun, saat aku ingin mencobanya, sekelebat bayangan sosok nyonya Avery terlintas di kepala ku.

Cerita sedikit tentang diri ku dan nyonya Avery yang merupakan ibu kandung Stefan; kami bertemu pertama kalinya saat aku baru menginjakan kaki ku di rumah sakit ini. Sudah agak lama sih, mungkin sekitar 6 bulan yang lalu.

Saat itu juga untuk pertama kalinya Nyonya Kato dan Tuan Kato —kedua orangtua ku— yang merupakan kepala rumah sakit sekaligus pemilik rumah sakit jiwa ini meminta ku untuk menggantikan tugas mereka. Tentunya kalian tahu bukan, tugas apa itu?

Yap.. tugas mulia untuk menyembuhkan dan merawat pasien yang jiwanya sakit, atau lebih kasarnya gila, depresi dan sejenisnya.

Beruntung aku mengambil jurusan yang tepat saat berkuliah dulu.

Oke, cukup. Kembali pada cerita.

Nyonya Avery kala itu menangis pada salah satu perawat kami. Beliau berkata bahwa beliau memiliki seorang anak lelaki. Tapi perawat kami bersikeukeuh kalau anak lelaki yang beliau maksud, bukan anak lelakinya.

Sebagai seorang wanita —dan kelak akan menjadi ibu juga— hati ku tergerak. Aku memutuskan untuk menemui nyonya Avery dan mengajakan beliau berbicara empat mata di ruangan ku.

Di situlah nyonya Avery mulai bercerita dari awal beliau mendengar kabar tentang putranya yang masuk ke rumah sakit jiwa, siapa yang memasukan putranya ke rumah sakit jiwa dan.. yang terakhir.. paling miris.

Setelah suaminya meninggal, nyonya Avery hidup dalam keterbatasan ekonomi, beliau menitipkan putranya ke sebuah panti. Mereka sudah tidak bertemu sekitar 17 tahun. —nyonya Avery tidak menyangka putranya berakhir di sini.

Nyonya Avery sudah rentan dan mulai sakit-sakitan. Ia takut di panggil yang maha kuasa lebih dulu sebelum bertemu dengan putranya.

Lalu, aku bertanya; siapa gerangan putra nyonya Avery?

Nyonya Avery menjawab; Stefan Avery.

Aku segera memanggil Maxime —teman sekaligus orang yang ku kenal bekerja di sini— membawa ku untuk bertemu Stefan, secara perdana.

Nyonya Avery menangis hebat melihat kondisi putranya, benar-benar sangat kacau.

Yang membuat beliau amat sedih, Stefan sedang kumat dia berubah menjadi sosok yang mengerikan, membanting barang, membenturkan kepalanya di tembok dan mengusir kami semua pergi dari sana.

Kalimat yang sangat menohok untuk nyonya Avery saat itu; aku tidak memiliki seorang ibu. Ibu dan ayah ku sudah meninggalkan ku.

Wanita rentan itu memilih keluar dari sana. Menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan ku —sungguh, aku tidak tega melihat seorang ibu menangis.

Aku mencoba memberinya semangat dan keyakinan bahwa Stefan pasti akan sembuh dan mengingatnya. Nyonya Avery mengangguk lemah, beliau berterima kasih pada ku lalu memberikan sesuatu pada ku.

"Aku mohon dokter Yuki, tolong sembuhkan putra ku."

"Dan ini.. tolong berikan ini saat Stefan sudah mengingat siapa aku." Pesan terkahir nyonya Avery sebelum beliau meninggal dunia seminggu kemudian.

Kembali ke masa sekarang.

Aku membuka laci menatap syal rajut pemberian nyonya Avery.

Mata ku memanas. Aku mendangak menatap langit-langit ruangan ini agar cairan bening yang sudah mengumpul di pelupuk mata ku tidak seenaknya keluar begitu saja.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang