SINGULARITY : Kisahnya

89 17 0
                                    

Yuki POV

Lelah dengan segala ke edananya yang sempat menyapa, ku lihat  bocah itu sedang duduk meringkuk, menatapku dengan tatapan memohon.

Emosiku yang awalnya seperti roller coaster, perlahan mereda. Aku menghela nafas cukup panjang, mencoba untuk mencerna setiap ucapannya yang mampu menyayat hati siapapun.

Aku sering memarahinya sampai aku lupa, dia hanyalah si sakit jiwa yang membutuhkan kehidupan normal, sampai aku lupa, dia hanyalah si sakit jiwa yang membutuhkan kehidupan normal untuk menikmati indahnya Bumi.

Baiklah Yuki, kali ini kau sudah keterlaluan, kau amat kejam padanya.

Dengan keberanian yang ku miliki, aku bersimpuh memeluk tubuhnya yang masih berada diatas kursi, menepuk bahu lebar itu dengan kasih sayang yang tulus dan reaksinya amatlah berbeda dari apa yang ku pikirkan.

Aku pikir dia akan menepis pelukan ku seperti yang sudah-sudah ketika kami usai bertengkar, namun kali ini tepisan itu tidak ada.

Stefan meraih tubuhku memeluk ku dengan erat, menyembunyikan wajahnya yang lagi-lagi berderai air mata pada bahu sempit ku, dia terisak begitu pilu membuat ku tak sampai hati mendengarnya.

Okay Yuki, jangan mengamuk. Tidak apa-apa jika bajumu akan menjadi korban kedua setelah snelli.
Bocah malang ini membutuhkan mu.

"Aku terjebak dalam dunia yang aneh." Ucap Stefan lirih.

Stefan masih terus melanjutkan ucapannya tanpa melepas pelukan dari ku. "Aku memakai seragam tentara dengan pistol ditanganku, berjalan melewati lorong sempit, terus berjalan hingga mendapatkan sinar matahari —yang ku kira adalah akhir segalanya."

Hahaha

Stefan tertawa pilu.

"Nyatanya, saat aku berhasil keluar dari lorong sempit itu, aku malah tenggelam dalam lautan darah, dadaku sakit seperti dihujam oleh ribuan jarum."

Stefan menghela nafas, ku rasakan tangannya semakin mengeratkan pelukan kami.

"Kau tahu bagian menariknya? Aku pikir aku akan selamat saat seseorang menarik ku keluar, tetapi itu hanyalah jalan lainnya menuju kematian yang sempat tertunda."

Dibalik wajah yang tersembunyi itu, aku bisa merasakan, bibirnya dia tekan kuat-kuat dibahuku agar suara tangisannya bisa teredam —walau nyatanya, masih bisa terdengar diruangan yang sunyi ini. Dia kembali bercerita.

"Hujaman peluru bagaikan lirik lagu bang bang milik Jessie J, membuat ku meregang nyawa dan itu sangat mengerikan. Aku bahkan tidak tau bagaimana wujud dan tampilan si pembunuh itu."

"Bagian epic lainnya, dia memanggil ku kapten sebelum aku benar-benar meninggal dengan tenang."

Stefan terdiam, dia menangis begitu hebat sampai tubuhnya bergetar.

000

Stefan POV

Lagi dan lagi aku menangis. Begitu hebat sampai tubuh kekar ku bak Ade Rai ini bergetar dengan tidak tau sopannya.

Yuki masih ku peluk dengan pelukan yang enggan ku regangkan. Sungguh, bukannya aku mencari kesempatan dalam kesempitan.

Saat ini aku benar-benar butuh sandaran dari tubuhnya yang kecil rapuh itu —tentunya, dengan mengabaikan beban tumpuanku.

Bersyukur, wanita ini tidak mengamoeq.

Aku kembali mencoba menggali informasi yang sepertinya sudah lama terkubur dalam ingatan ku.

Terus mencoba dan mencoba, tiba-tiba denyutan hebat menyerang kepala ku.
Tak cukup dengan menyerang kepala ku, sang musuh tidak tahu malu ini, mulai menyerang hidung ku, hingga membuat cairan mengalir amat deras dari sana. Dan ku pastikan seyakin-yakinnya, seyuyur-yuyurnya, bahwa cairan kali ini bukanlah cairan yang tadi —bukanlah cairan pencetus perang dunia ketiga kami atau sebut saja ingus.

Bau anyir seketika menyeruak melalui cela hidungku. Aku terkejut tatkala melihat kemeja putih Yuki kini bersimbah darah.

Keterkejutan itu tidak hanya menyapaku, nyatanya Yuki juga menyadari ada yang aneh dengan diri ku. Wanita itu kemudian melepas paksa pelukan kami.

Kedua telapak tangan kecilnya, memegang wajahku dengan raut wajah khawatir. "Ya Tuhan, kau mimisan?" Pekiknya heboh.

Yuki segera berdiri lalu berlari mengambil tissue dan kemudian mengelap darah di hidung ku yang tak kunjung berhenti.

"Ku mohon Stefan, jangan memakasakan diri, kau bisa mati!" Lagi-lagi dia memekik hingga membuat telingaku seakan pengang. Tangannya masih terus mengelap hidungku, dalam jarak sedekat ini aku memperhatikan wajahnya dengan seksama.

Kenapa aku baru sadar kalau Laverna ini amatlah cantik. Tuhan menciptakannya begitu sempurna, dengan hidung kecilnya yang mancung, bibir mungilnya yang menggemaskan, mata bulatnya yang cokelat dan air mata—

Tunggu...  Air mata? Apakah Laverna ini menangis?

"Yuki, apa kau menangis?" Tanya ku dengan nada kaget. Mengabaikan denyutan dikepala yang semakin menjadi-jadi, aku menangkup wajah kecilnya. "Hei, kenapa kau menangis?"

Yuki mengelap ingusnya yang sempat meleleh pada salah satu jemariku. Aku nyaris saja memekik jijik kalau saja ingatanku tidak kembali pada perbuatan ku —tadi.

Baiklah, Stefan anggap saja satu sama.

"K—kau, berdarah! Dan aku tahu kepala mu pasti sedang berdenyut hebat, bukan?"

"K—kau bukanlah Stefan yang menyukai rasa sakit itu, kau bukanlah Stefan yang kuat menanggung rasa sakit itu. Tapi kenapa sekarang kau mau memakasakan diri mu?"

"Kenapa? Apa kau ingin mati, hah?"

Aku menghela nafas cukup panjang —nyaris melupakan satu fakta, bahwa wanita dihadapan ku ini adalah seorang dokter. Dia sangat paham akan riwayat medisku. Dia sangat mengerti batas kemampuan tubuh dan jiwa ku, karena itulah, dia menangis terisak, layaknya anak kecil —dan aku baru tahu, bahwa dia benar-benar tulus menyayangiku, terbukti dari tangisannya.

"Ck, apa kau sedang menangisi mayat ku diacara pemakaman, hah? Sadarlah, aku masih hidup!" Seruku tak ingin melihat wanita kecil ini kembali menangis. "Hapus air mata mu, kau terlihat jelek, sungguh!"

Yuki mendangakan wajahnya, mencoba untuk menghentikan air mata yang bisa kapan saja meluncur. Wanita itu sadar bahwa aku sedang berusaha keras untuk melawan sakit jiwa ini. Karenanya, dia pun bangkit dan memberanikan diri menatapku.

"Lima tahun dan aku tidak menyangka hari ini akan datang." Ucapnya lirih.
"Aku sempat bersifat sentimentil, tanpa ku sadari bahwa sifat ku itu hanya akan membuat mu terkurung dalam ketidakwarasan tiada akhir."

Yuki menghela nafasnya sejenak, menegakan bahunya dengan tegar. "Baiklah, mari kita mulai. Katakan jika kau sudah tidak kuat."

Senyum lembut ku ukir diwajah ku, aku menggenggam tangannya, melangkah dengan pasti.

Kau pasti bisa Stefan!

Kau pasti bisa melewati badai ini!









SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang