SINGULARITY : Berjuang untuk Sehat

107 19 8
                                    

Selama beberapa menit kami terdiam seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Tangisan wanita itu sudah berhenti sejak sepuluh menit yang lalu.

Kami terjebak dalam suasana canggung.

Yuki duduk disampingku masih dengan pipi memerah, sepertinya dia mulai sadar bahwa tadi dia sempat mengeluarkan kata-kata yang juga membuat reaksi ku nyaris mirip seperti dirinya saat ini.

Melupakan sejenak kejadian tadi. Pikiran ku kembali mengawang pada hari dimana aku menjalani terapi. Kilasan demi kilasan masa lalu ku masih ku ingat dengan jelas dan membuat kepala ku tiba-tiba berdenyut hebat. Aku berusaha untuk menepis rasa sakit yang tengah melanda, mencoba kembali memikirkan lebih detail mengenai serangkaian mengerikan yang telah menimpa ku lima tahun yang lalu.

Aku tidak menyangka bahwa si Valentino Rossi itu terlibat. Sepertinya aku harus membuat catatan baru dalam memoriku agar lebih berhati-hati pada wanita itu.

Aku berusaha keras menekan jiwa aneh ku yang akan muncul. Sudah cukup! Kau harus bisa melawan sakit jiwa mu Stefan.

Misi utama menuju kewarasan mungkin akan begitu sulit, tapi aku percaya, bahwa dengan dia disampingku aku bisa melewati ini semua hingga nanti kewarasan ku benar-benar pulih, aku bersyukur akan keberadaan dirinya.

Dan aku ingin mengutarakannya secara jelas. "Yuki, terimakasih. Sungguh aku berhutang banyak pada mu." Aku merasa lega ketika mulutku untuk pertama kalinya bisa mengucapkan kata-kata normal.

Yuki yang sempat terdiam kini menatap ku dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu mendekat ke arah ku lalu menilisik setiap sudut ruangan yang kami tempati.

Tepukan keras dia daratkan dikeningnya, membuatku terkejut.

Yuki mengumpat pelan. "Gosh! kenapa aku bisa lupa ada cctv disini."

Aku menoleh, ikut menelisik ke setiap sudut ruangan kami, lalu aku mendapati dua kamera cctv terpajang didua arah yang berbeda. Kening ku mengerung dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, insting seorang kapten ku bekerja.

Aku sadar, ada yang tidak beres dengan cctv itu. Aku pun berdiri tanpa mempedulikan selang infus yang masih menancap pada tangan ku, lalu menarik Yuki ke kamar mandi. Wanita itu refleks menarik tiang infusku membawanya untuk ikut bersama kami.

Yuki sempat terbelak kaget namun aku mengirim kode kecil melalui tatapan ku. Wanita itupun akhirnya mengerti dan menutup pintu kamar mandi.

"Coba ceritakan, apa yang baru saja kau perbuat hingga kau merasa ketakutan?" Tanya ku membuka percakapan kami.

Yuki menggigit bawah bibirnya dan aku tidak suka akan hal itu. "Jangan menggigit bibirmu. Nanti terluka." Tangan ku refleks memegang bibirnya agar bibirnya tak terluka karena perbuatan bodohnya.

Yuki sempat terpana dengan perbuatan ku namun alam sadar kembali menariknya. Wanita itu tau bahwa waktu kami didalam sini tidaklah lama —atau seseorang dibalik cctv itu akan curiga.

Yuki menghela nafasnya cukup panjang sebelum akhirnya bercerita. "Stefan, apa kau masih ingat dengan ciri-ciri penjahat yang kau ceritakan?"

Aku mengangguk mengiyakan dan Yuki kembali melanjutkan kata-katanya. "Aku melihat satu yang sama, dan itu ada di leher Maxime."

Mataku terbelak sempurna. Kenyataan ini benar-benar membuatku seperti disambar petir disiang bolong. Aku tidak pernah menyangka bahwa para bedebah itu akan mengirim seseorang untuk mengikuti kami. Mengikuti ku dan Andania.  "Katakan apa lagi yang tahu."

Yuki meremas jemarinya lalu dengan suara lirih menjawab. "Sebelum kau bangun, aku sempat merencanakan sesuatu dengan suara yang lumayan keras dan aku belum sadar kalau ada cctv yang mengintai kita."

Aku memijat pangkal hidungku, walau nyatanya yang kian bertambah sakit adalah kepalaku, hidungku tiba-tiba berdarah namun secepat mungkin aku mengelapnya menggunakan tissue toilet dan hal itu malah tak luput dari penglihatan Yuki.

Yuki nyaris memekik kalau saja tangan ku tidak mengisyaratkannya untuk tenang. "Jangan berisik, suara mu pasti akan kedengaran."

Dengan patuh, dia kembali tenang namun satu tangannya meraih wajahku, dan tangan lainnya meraih tissu ditangan ku kemudian mengelap darah ku yang belum berhenti keluar.

"Kita harus bagaimana?"

"Yuki, apa kau tau bagian ruang kontrol cctv di rumah sakit ini?"

Yuki mengangguk cepat, dia menatap ku nanar. "Apa yang akan kau lakukan? Jangan bilang kau akan menyelinap kesana? Kau baru saja sembuh, bodoh!" Ucapnya sarkas.

Aku berdecak kesal —menyadari satu fakta bahwa perkataan diantara kami memang tidak ada yang bisa halus layaknya bubur sun. Ku rasa inilah penyebab kami sering bertengkar. "Hey, kau itu seorang wanita, kodrat mu menjadi seorang ibu, kenapa kata-kata mu kasar sekali?" Tanya ku ketus.

Yuki merotasikan matanya jengah. Dia mendelik dan mengelap hidungku sedikit kasar. "Ish seperti kau tidak pernah saja berkata kasar pada ku."

Aku menghela nafas sejenak mencoba untuk sabar. Aku tidak ingin usaha ku sia-sia dan berakhir menjadi kepribadian lain seperti yang sudah-sudah. "Dengarkan aku, hanya ini satu-satunya cara. Aku akan kesana dan menghapus beberapa rekaman kita. Kau tetaplah disini dan bertingkahlah seolah-olah aku sedang tidur."

"Lantas bagaimana bisa kita berpura-pura, cctv itu masih mengawasi kita, Stefan."

Rencana pertama, gagal. Mari ke rencana kedua

Aku tampak berpikir sejenak kemudian mendapatkan sebuah ide. "Apa kau percaya pada ku?"

Tanpa keraguan wanita itu mengangguk cepat membuat ku tercengang —tidak menyangka dia akan percaya pada orang setengah waras ini.

"Keluarlah dari sini, lalu berpura-puralah seolah aku sedang memenuhi panggilan alam ku."

"Kau sendiri bagaimana?"

"Aku akan mencoba keluar melaui ventilasi kamar mandi ini. Kebetulan ukurannya cukup untuk ukuran badan ku. Sekarang beritahukan pada ku, jalan menuju kesana."

Yuki tampak berpikir sejenak kemudian memeluk lenganku —yang akupun tak tau untuk apa pelukan itu. "Bodoh! Bagaimana jika si pengawas itu ada disana. Bagaimana kalau dia membawa senjata, bagaimana kalau dia—"

Lagi-lagi aku menghela nafas. Wanita ini terlalu banyak berhalusinasi.

Kewarasannya patut dipertanyakan.

"Yuki, tenanglah. Kau baru saja mempercayai halusinasi mu." Ucap ku. Aku menunduk menatapnya yang juga sedang menatap ku. "Kalau perkiraan ku benar, Maxime tidak akan gegabah. Dia pasti akan datang kesana di waktu tertentu, dan waktunya bukanlah sekarang, saat ini dia sedang sibuk bermain dengan Anda, kalau ku estimasikan waktunya, butuh sekitar 1 hingga 2 jam, dia menemani gadis itu sebelum gadis itu tidur siang."

"Oh benar juga!" Yuki berseru membuat ku lagi-lagi berjengit. "Wuah, lihat dirimu tuan sakit jiwa, kau mulai mendalami peran mu sebagai kapten. Kau sungguh luar biasa. Bahkan kau hafal benar kegiatan lelaki itu."

Aku berdecak pelan mendengar ucapannya, entah itu pujian atau malah ejekan wanita ini memang sedikit menyebalkan. "Sudahlah, jangan banyak bicara. Kita mulai sekarang."

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang