SINGULARITY : Keanehan

128 23 13
                                    

Yuki POV

"Ayolah, mau berapa lama lagi kau menangis? Sungguh aku sudah memaafkan mu."

Stefan masih menangis sembari memeluk kaki ku —yang membuat ku jadi jengah.

Yah, bagaimana aku tidak jengah? Siapapun yang melihat adegan ini pasti akan berpikir bahwa aku adalah ibu tiri kejam yang sedang mengusir seorang bocah atau lebih tepatnya seakan baru saja selesai menyiksa bocah itu.

"T—tapi, aku bersalah. Aku jahat, aku menjijikan, aku bodoh, aku gila, aku—" lagi dan lagi, Stefan termakan halusinasi yang dia ciptakan sendiri.

Aku pun menunduk, mensejajarkan tubuhku padanya, lalu memegang kedua bahunya dengan tekanan ringan. "Ssttt, cukup Stefan, itu hanya halusinasimu saja. Sudah, ayo berdiri." Kataku berusaha sebisa mungkin agar bayi besar ini berhenti menangis dan membuat halusinasi lainnya.

Stefan masih enggan untuk berdiri, kepalanya menggeleng. Kau tau apa yang sedang dia lakukan saat ini?

Kepalanya beringsut mendekat ke arah dadaku, lalu tangannya meraih snelli yang ku gunakan, dan selanjutnya—

"ASTAGA GUSTI! STEFAN APA YANG KAU LAKUKAN? KENAPA KAU MEMBUANG HAJAT HIDUNGMU DI SNELLI KU, HAH?"
—Bocah edan itu membuang lendir dari hidungnya pada snelli tak berdosa ini.

Membuang lendir dari hidungnya PADA SNELLI TAK BERDOSA INI , I MEAN INGUS!!!

I-N-G-U-S!!!

Ingus!!! Di snelli yang ku gunakan.

Ya Tuhan!

Ingin rasanya aku mengumpat!

Kenapa dia sejorok ini?

Aku bergidik ngeri dan cepat-cepat berdiri melepas snelli ku. Ku ratapi nasib snelli ku yang begitu mengenaskan.

Kasihan, padahal ia baru saja ku gunakan tapi sudah menjadi korban pembunuhan. Sungguh kejam perbuatan sang pembunuh itu.

Kalian pasti bertanya-tanya, bagaimana reaksi si pembunuh snelli ku saat ini?

Aku menundukan kepala, menatapnya yang juga sedang menatap ku, dengan wajah tak berdosa dan menghapus air mata yang sudah berhenti mengalir, dia berdiri, sembari berpose menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari —layaknya peraga internasional saat sedang menjalani photoshoot.

Wajahnya, ia tengokan ke samping, lalu dengan angkuh berkata : "Hanya snelli murahan saja, kenapa harus berteriak? Beli saja lagi yang baru."

What the hell? What the F— oke, sabar Yuki. Sabar! Ini ujian. Tarik nafas... buang perlahan... tarik lagi... buang lagi... tarik mang! Semongko!

Aku mengepalkan tangan ku gemas sembari berjingkrak kecil dihadapannya.

Cobaan apa lagi ini ya Gusti! 

Masih dengan gaya angkuh, ia berjalan, lalu duduk dikursi kerajaan ku sembari menumpang tindihkan kakinya dengan anggun. Tanganya, ia letakan diatas lututnya.

Kalian tahu, tata cara duduk ala putri bangsawan negara bagian barat di era tahun 1912-an?

Kira-kira, seperti itulah cara duduk bocah edan ini.

Rambutku nyaris tercabut dari posisinya kalau saja aku tak ingat bocah ini EDAN! EDAN PEMIRSAHHH!

DAN SEPERTINYA, CEPAT ATAU LAMBAT AKU AKAN MENYUSULNYA!

Oh sungguh malang, nasib kewarasan ku.

"Sudahlah, berhenti meratapi snelli mu, duduklah yang anggun, jangan bertingkah seperti orang kampungan!" Jeda sejenak. "Sesungguhnya aku datang kemari ingin memberi mu tawaran menarik." Ucapnya masih dengan gaya putri bangsawan —membuatku merasa terbanting, terpelanting, tergopoh-gopoh karena aku bagaikan rakyat jelata yang tak tau tata krama dihadapannya.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang