SINGULARITY : Kencan Malam Minggu Part 1

628 111 61
                                    

Setiap tujuh hari sekali tepatnya di hari Sabtu, aku mempunyai hari khusus bebas bermain seharian full di luar kamar. Plus, malam harinya aku nonton film di Bioskop bersama Yuki.

Pagi-pagi sekali sebelum ayam bangun, aku sudah membuka mata ku. Mengambil keranjang berisi peralatan mandi, handuk dan baju layak pakai -jangan salah sangka, meskipun tidak waras, aku tidak seperti mereka di luar sana yang kadang tak memakai baju. Tingkat ketidak warasan ku sedikit lebih keren dari pada mereka yang suka keluyuran di jalanan.

Sesudah ayam bangun, aku usai dengan kegiatan membersihkan diri dari segala macam daki -tidak ada sih- di tubuh ku, aku berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih yang aku kenakan.

Di atas meja telah tersedia berbagai macam keperluan untuk diri ku yang telah di siapkan Yuki. Mulai dari gel rambut, deodoran, parfum, bedak, sisir sampai hand body pun ada di sana.

Kata Yuki, kalau aku ingin di ajak jalan-jalan di akhir pekan, aku harus menjadi anak baik, tidak rusuh, lalu harus memperhatikan penampilan ku -Yuki anti membawa ku dalam keadaan memakai seragam pasien rumah sakit. Dia tidak ingin membuat seluruh kota jadi panik.

Memangnya, apa yang salah dengan pakaian seragam pasien rumah sakit?

Aku mulai memakai deodoran dan menyemprot parfum di seluruh tubuh ku. Ah benar, gel rambut juga harus ku pakai agar rambut ku terlihat lebih stylist.

Hand body? Tidak perlu. Kulit ku sudah sangat kinclong. Memakai atau tidak memakai pun tetap tak mempengaruhi kulit indah ku -akibat jarang terpapar sinar matahari.

Selesai!

Ku patutkan diri ku di depan cermin. Woah! Hasilnya tidak buruk. Aku cukup tampan. Tidak terlihat seperti pasien gangguan jiwa.

Tujuan ku selanjutnya adalah kamar Yuki. Mari kita lihat, apa dia sudah bangun dan bersiap-siap? Dia tidak lupa kan, kami harus berangkat pukul 7 pagi agar bisa sampai ke butik langganannya tepat jam 8.

"Siapa yang menyuruh kalian berhenti lari di tempat?"

Aku menoleh mencari sumber suara seorang gadis yang ku kenal.

"Maafkan, kami."

Lalu sekarang suara seorang lelaki yang ku kenal.

Celingak-celinguk kesana kemari, akhirnya aku menemukan di mana sumber suara itu berasal.

Di halaman rumah sakit yang cukup luas, tepatnya di depan kamar si gadis, yang tak lain dan tak bukan adalah Andania.

Gadis itu sedang berdiri bersedekap dengan kantong plastik di atas kepalanya dan sebuah peluit yang ia kalungkan di leher. Tak lupa mangkuk dan sendok di dekat kakinya yang sebentar lagi akan di angkatnya -berperan sebagai genderang dan tambur, pelengkap untuk menemani suara peluit yang sendirian.

Prittttt suara berisik peluit menggema di seluruh halaman, lalu di ikuti oleh suara ting ting -berasal dari sendok yang mengalami tabrakan tunggal dengan mangkok.

Yakin dan percayalah gadis gila 11-12 dengan ku itu akan membuat para penghuni rumah sakit ini bangun dan mulai mengamuk.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang