SINGULARITY : Kencan Malam Minggu part 2

516 102 41
                                    

Tujuan kami setelah butik adalah Kafe.

Ada yang tahu kafe? Rasanya semua kalangan juga tahu apa itu kafe dan apa fungsinya.

Sudah lama sekali aku tidak menginjakan kaki di tempat semacam ini -karena terlalu lama berada di kandang burung- setalah 5 tahun akhirnya kaki ku menapak di atas ubin kafe.

Sepanjang mata memandang, banyak muda-mudi yang menghabiskan waktu di tempat ini untuk bersenda gurau, mengobrol, dan mengerjakan tugas.

Bukan cuma muda-mudi sih, para tetua juga ada. Mulai yang dari umur 30 tahunan sampai yang umur 60 tahunan.

Apa yang mereka lakukan di sini?

Entahlah, aku belum memawancarai mereka. -Dan tak berniat mewawancarai juga.

Orang pacaran, orang pedekate, orang mengambek sampai bereaksi seperti shy shy cat pun, ada.

Cius.. tidak percaya? Datang saja kesini.

Akhir kata, Kafe adalah bangunan serbaguna, bangunan untuk kalangan semua umur. Kira-kira begitulah liputan dari saya, reporter Stefan Avery.

Sekian dan terimakasih, mari kembali pada rekan saya di studio.

Tidak.. Tidak.. Kau bukan reporter. Sadarlah.

Kembali dari masa delusi ku. Aku melirik Yuki yang sedari tadi menggandeng tangan ku persis seperti ibu-ibu yang tidak mau terpisah dari anaknya.

Gadis itu membawa ku ke tempat kosong di pojok kafe.

Sepanjang kami berjalan, orang-orang menatap kami dengan tatapan takjub.

"Lihatlah pasangan itu, mereka cute sekali."

"Baju mereka sama, apakah mereka berpacaran?"

"Mereka mirip seperti bias ku.."

"Romantis sekali, pacarnya di gandeng terus."

Seperti itulah bisikan-bisikan dari kaum adam dan hawa yang ada di sana, lebih dominan kaum hawa sih.

"Nah, mau pesan apa?" Entah sejak kapan, Yuki sudah menyodorkan buku menu pada ku.

Aku menggaruk-garuk tengkuk ku yang gatal -duh padahal tadi sudah mandi.
"Pesan apa ya?" Aku balik bertanya.

Bagaikan seorang waiters profesional, gadis itu membuka lembaran buku menu di hadapan ku sembari memperkenalkan produk apa saja yang ada di kafe ini. "Di sini ada ice blend, milk shake, latte, macchiato, green tea. Dan ada sushi, macaroon, frozen banana, cookies shot, nachos, pizza, spageti. Jadi, mau pilih yang mana?"

Aku tidak menyimak dengan baik menu apa saja yang ia tawarkan. Terlalu banyak sampai membuat ku jadi pusing. "Kau mau pesan yang mana?"

Yuki mengernyitkan dahinya berpikir, pilihan gadis itu akhirnya jatuh pada nachos, sushi dan green tea. "Yang ini saja."

"Baiklah, aku juga itu." Kata ku santai.
Gadis itu segera memanggil pelayan untuk memesan.

Sembari menunggu pelayan datang membawa pesanan kami. Aku memutuskan memainkan jemari Yuki yang menganggur di atas meja. Hal ini memang sudah biasa ku lakukan semenjak kami berteman.

"Wonder woman menaiki tangga untuk maju di medan perang." Aku menaikan jari telunjuk Yuki ke atas. "Lalu, kapten Steve Trevor berteriak."

"Diana, come back... what the hell are you doing?"

"Dan... bom.... bang...bang...bang... seluruh musuh dari pihak Jerman menembaki wonder woman. Dengan action yang memukai, Diana sang wonder woman menangkis pelurunya seperti ini." Aku berdiri dari posisi ku untuk memperagakan gaya salah satu dari superhero DC itu.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang