BAB 3

46 30 13
                                    

Kuakui, Aku Lemah Jika Berada disampingmu

Masih ada sisa cuti Dira tiga hari, ia memilih pulang ke Surabaya, naik kereta. Raka menjemputnya di stasiun. Tiga hari ia habiskan waktu bersama keluarga, walaupun telinganya panas mendengar ibunya terus mendesak agar menikah. "Udah tua, nanti malah nggak laku." Celetuk ibunya. "Emang jualan, nggak laku."jawab Dira santai. Ayahnya hanya tertawa melihat mereka berdua. Kalau ayah Dira tidak pernah mendesak, ia malah santai membiarkan Dira dengan kegiatannya. Sebenarnya ia bisa saja membawa Raka ke rumah, tapi ia urungkan niat itu. Masih ada keraguan di hati Dira, untungnya Raka juga tak pernah memaksa agar bisa bertemu kedua orang tuanya.

Dira memiliki kakak perempuan yang sekarang tinggal bersama orang tuanya, ia ditinggal oleh suaminya yang memilih perempuan lain dan meninggalkan sepasang putra-putri. Diusia Dira yang telah menginjak 30 tahun, ia malah semakin selektif memilih pasangan hidup, ia yang sering membaca artikel tentang perceraian dan juga melihat kehidupan kakak perempuannya, semakin takut untuk menikah. Ah... mungkin hanya belum menemukan pasangan yang benar-benar ia inginkan. Sehari sebelum kembali ke Malang ia mengajak dua keponakannya, Adelio dan Adelia ke Pakuwon Mall bersama Raka. "Wah.. Kayak keluarga berencana ya. Udah cocok tuh." Kakak perempuan Dira menyindir Raka sambil melirik ke arah Dira. Raka hanya tertawa, ia takut salah ucap, yang ada malah Dira ngambek. Sedangkan Dira tak menggubris, dan menyuruh Raka masuk ke mobil. Untungnya kedua orang tua Dira sedang tak berada dirumah. Kalau ada bisa jadi wartawan dadakan tuh.. banyak nanya.

"Dir, kamu udah di desak nikah?" Tanya Raka sambil mengemudi.

"Udah, jalan aja." Jawab Dira

"Aku siap kok kalau kamu minta aku datang sama orang tuaku."

"Aku yang belum siap."

"Kenapa? Kamu ragu?"

Dira hanya mengangkat bahu. "Kamu nggak mau nanya tentang tunanganku kemarin?" lanjut Raka. Dira hanya diam, ia sudah diberi tau oleh Amar.

"Aku sudah nggak sama dia Dir."

"Nggak usah di bahas dulu ya."

Raka tak berani berbicara lagi, ia fokus menyetir.

Bukan tak mau tau, tapi ia masih tak yakin akan perasaannya. Pikirannya benar-benar dipenuhi Amar saat ini. Ia merasa bersalah pada Raka, lelaki yang selalu sabar menghadapinya, yang memberikan seluruh hati pada Dira tapi sebaliknya Dira yang semakin cuek apalagi setelah bertemu Amar.

"Sayang, sudah sampai."

"Eh iyaa.... "

"Kamu ngelamunin apa sih?"

"Nggak ada. Ayok..."Dira membuka pintu mobil dan menurunkan Lio dan Lia. Mereka berempat memasuki mall dan langsung menuju ke tempat permainan anak-anak.

Disela-sela permainan, hp Dira berdering. Kak Amar. "Ngapain dia telpon kamu? Biar aku yang angkat Dir." Pinta Raka. Dira memberikan ponselnya.

"Halo bro, kenapa?"

"Eh.. Raka? Kamu di Malang?"

"Dira balik bro.. Kenapa heii?"

"Kirain dia di kontrakan, aku di sekitar kontrakan Dira nih makan. Tadinya mau ngajak dia. Yaudah kalau dia sama kamu. Aman berarti."

"Iya."

Tut telpon terputus.

"Amar sering telpon kamu Dir?"Tanya Raka curiga.

"Nggak kak, tumben juga dia nelpon tuh." Dira berbohong.

"Kalau ada apa-apa ngomong Dir. Tolong hargai aku sebagai pacar kamu."

"Iya kak."Jawab Dira. Setelah Lio dan Lia kecapean, mereka berempat ke salah satu rumah makan yang ada di mall. Sekitar pukul sebelas malam mereka pulang dan kedua keponakan Dira tertidur didalam mobil. Kebetulan sekali ibu Dira ada di luar rumah. Ahh sialan!

Raka turun dari mobil dan menggendong satu-satu keponakan Dira membawa masuk kedalam kamar. Baru saja hendak pamit ia di tahan oleh ibu Dira. "Duduk dulu nak." Raka duduk didepan ibu Dira.

"Ibu, udah malam. Kasian ka Raka" Ucap Dira.

"Gak apa Dir, kamu masuk aja."Kata Raka.

"Iya, Dira masuk aja. Istirahat. Ibu cuma mau ngobrol sebentar aja."Ibu Dira menimpali.

Dira menghela nafas dan masuk kedalam kamar. Ia sudah tau pasti ibunya menanyakan tentang mereka. Apasih yang biasanya orang tua tanyakan pada lelaki yang membawa putrinya kalau bukan "Tinggal dimana? Suku apa? Kerja dimana?" iya nggak sih?... Raka sudah nyiapin semua jawaban itu pun jika ditanya kapan kesiapannya meminang Dira, ia sudah mantap.

Memang benar, keesokan paginya saat Dira bersiap ke stasiun, ia di jemput Raka. Ibu Dira dan Raka terlihat akrab. Sepertinya ibu menyukai kak Raka,pikirnya. Ia tak peduli. Raka terlihat bahagia, ia menceritakan obrolannya tadi malam saat perjalanan menuju stasiun."Semua tergantung kamu sih, Dir. Kapan kamu siap? Ibu setuju aja tuh sama aku."Ucap Raka. "aku mau mastiin perasaanku ke Amar,anjirrrr. Bukan kamu!!" tapi itu tak terucap, hanya dalam hati. Mana berani sih Dira ngomong gitu, yang ada dia hanya mengangguk.

"Dira...Aku sayang kamu, baik-baik ya disana."Raka mengusap-usap rambut Dira saat sampai stasiun.

"Iya kak..Dira berangkat dulu ya."Dira menyalimi tangan Raka, hal yang biasa dilakukannya saat pamit pada Raka.

Perjalanannya ke Malang sekitar satu setengah jam, ia memasang earphone dan menyalakan musik. Berusaha terlelap meski hanya sebentar, tapi tak bisa. Pikirannya kembali ke Amar. Berapa hari di Surabaya mereka tak saling komunikasi, ia bertanya-tanya apakah Amar juga merindukannya, atau setidaknya terbesit tentang Dira dipikirannya. Ia membuka ponselnya, mengecek status Amar. Amar memasang foto kekasihnya di story whatsapp,kamu.. yang selalu aku inginkan. Tunggu aku,Bae. Begitu status Amar. Ingin sekali ia menghubungi Amar, tapi tak bisa. Egonya tak membiarkan Dira mengikuti kata hati. Baiklah... kali ini kamu yang menang.Ego.

**

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang