Tak butuh waktu lama ia melewati beberapa ruko, berjalan kaki sambil membawa handbag berisi rokok dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan menuju warung lalapan dan saat sampai ia melihat lelaki gondrong dengan rambut diikat duduk dipojokkan.
"Jalan kaki?"Amar bertanya sambil menghisap rokok ketika Dira telah duduk di depannya.
"Terbang."Jawab Dira. Amar tersenyum lalu beranjak dari kursi dan memesan satu porsi lagi untuk Dira.
"Kapan datang, Kak?"
"Baru sampai langsung makan disini. Mau ketemu kamu, untungnya bisa ketemu."
"Yeeeeyyy... Geli ah."
"Emang aku apain?"
Dira tak menjawab,"Makan dulu yuk."
"Raka nggak ngajak makan siang?"Tanya Amar sambil menyuap makanannya.
"Kalau ngajak, Dira nggak sama kamu dong."
Amar mengangguk tanda setuju dengan perkataan Dira.
"Kapan balik Malang?"
"Seminggu lagi."
"Kok lama? Toko gimana?"
"Udah minta tolong teman buat jagain."
Setelah keduanya selesai, Amar mengantar Dira kembali bekerja. "Sampai ketemu lagi, Dek. Baik-baik ya." Amar ngusap punggung tangan Dira dan berpamitan.
"Kamu juga baik-baik ya, Kak. Sering-sering cerita biar nggak jadi penyakit tuh pikiran dipendam mulu."
"Haha.. Iya. Makasih ya."
Dira hanya mengangguk dan pamit masuk ke dalam kantor.
Setiap kali di Surabaya, Amar juga menemui Dira saat jam-jam Dira telah berada di alam mimpi. Seperti malam sebelum Amar balik ke Malang, ia meminta Dira menemuinya. "Dek, aku mau pulang besok. Ketemu yuk."
"Malam banget sih, Kak."
"Belum tidur juga toh?"
"Yaudah dimana?"
Dira meluncur ke tempat yang disebutkan Amar dalam pesannya. Orang tua Dira tak tau karena mereka sudah terlelap.
Sebuah kamar kos yang terletak tak jauh dari rumah Dira, dengan ukuran 3x4. Beberapa tanaman menghiasi kos. Terlihat asri dan dingin. Dira mengetuk pintu perlahan, sontak saja Amar bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu. Mata mereka beradu, terlihat kerinduan yang terpancar di mata keduanya. Dira melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar, kini mereka berdua berada dalam satu ruangan yang hanya ada sedikit cahaya menerangi dari ventilasi. Amar menutup pintu dengan posisi badan masih berada di hadapan Dira, ia mendekatkan tubuhnya. Degupan jantung Dira terdengar lebih nyaring dari suara detakan jarum jam yang sedang berputar. Mereka saling menatap untuk beberapa saat, tiba-tiba Dira merasakan ada sesuatu yang membasahi bibirnya. Dengan lembut ia membalas ciuman yang malam ini entah mengapa terasa begitu hangat.
Kedua tubuh mereka kini telah terbaring di atas kasur yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang, menikmati setiap detik yang kali ini berpihak pada mereka. Tak bisa dipungkiri, mereka merasakan kebahagiaan, tak peduli ini benar atau salah. Barangkali perasaannya memang benar. Tempatnya yang salah atau waktunya yang tidak tepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
SELESAI
Fiksi UmumMencintai seseorang yang telah memiliki kekasih itu seperti menggenggam kaktus, semakin kau menggenggamnya erat, akan semakin sakit. Ya itulah yang dirasakan Dira, tak peduli bagaimana sakitnya ia tetap mencintai Amar. Ia tak tau ke arah manakah hub...