BAB 9

30 20 22
                                    

Pernikahan Ayas berlangsung sakral. Dira menjadi saksi mereka mengucap janji suci seumur hidup didepan pendeta. Air mata bahagia mengisi seluruh ruangan. Acara dilangsungkan disalah satu hotel yang berada di Surabaya. Perjalanan baru dimulai bagi seorang Ayas. Ia menikahi sahabatnya sendiri. Benih-benih cinta tumbuh seiring kebersamaan dan saling mengerti diantara mereka. Sahabat jadi cinta sepertinya. Ceilehhh.

Kedua keluarga dan pengantin makan malam bersama setelah selesai acara. Berharap bisa menganggap sang menantu menjadi anak sendiri. Mereka sudah saling kenal saat keduanya masih bersahabat. Jonathan, Ayas dan Dira adalah sahabat sejak mereka duduk dibangku SMP. Setelah kuliah Jonathan yang sekarang sah menjadi suami Ayas melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Ia memang sudah lama menyimpan rasa terhadap Ayas, namun tak mau mengutarakannya karena takut jadi canggung. Jonathan yang telah mendirikan kantor jasa akuntan membuat Ayas dan kedua orang tuanya yakin bahwa ia adalah lelaki yang pas untuk mendampingi hidup Ayas seumur hidup, dari segi financial maupun moral. Mereka berpacaran sambil mempersiapkan pernikahan.

Ayas memberikan pelukan hangat untuk Dira saat mereka bertiga bertemu untuk merayakan hari bahagia Ayas dan Jonathan."Semoga kamu juga disegerakan ya Ra, aku berharap kamu dapat yang bisa bertanggung jawab atas hidupnya dan hidupmu."Ayas mengusap lembut pungung sahabatnya.

"Iya Yas, aku juga berharap begitu."

"Sabar aja. Seiring berjalannya waktu, Tuhan pasti menunjukkan yang terbaik."

"Jika itu terbaik menurut Tuhan, gimana kalau aku nggak ada perasaan sama orang itu?"
"Perlahan pasti bisa karena setiap hari bersama."Jonathan menimpali.

"Kalau nggak bisa?"Tanya Dira.

"Ah... Kamunya aja yang nggak mau membuka hati kalau gitu." Ayas mengernyitkan dahi. Dira tertawa jahil, senang melihat sahabatnya begitu cerewet jika membahas masalah hati.

"Ya semua terserah kamu sih Ra, aku udah denger cerita tentang Raka dan siapa tuh namanya... Amar? Iya Amar. Hanya kamu yang tau akan dibawa kemana nanti hubungan itu karena hanya kamu yang bisa merasakan."Ucap Jonathan.

Dira kembali terdiam, menghela nafas, mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Ayas melotot ke arah suaminya pertanda bahwa ia tak perlu membahas soal itu saat lagi bahagia begini.

"Maaf Ra, kamu sedih?"Lanjutnya.

"Aku cuma kangen." Ia mengepulkan asap rokoknya dan menghembuskan ke udara, berharap asap itu bisa menyampaikan rindunya pada Amar. Sudah empat bulan setelah ia kembali, komunikasi mereka tak sesering dulu pun mereka tak pernah bertemu lagi.

"Alihkan pikiranmu ke hal lain, Ra. Kamu sibuk kerja aja atau bareng Raka. Eh btw, Raka kemana ini? Kok dari kemarin nggak ada muncul?"tanya Ayas.

"Lagi nggak pengen sama dia."

"Berantem?"

"Nggak. Makanya aku bosen. Dia nggak pernah marah dan selalu nurut. Flat banget nggak sih?"

"Obrolin lah. Mana dia tau kalau nggak di obrolin. Kamu pikir dia cenayang?"

"Males."

"Ntar dia marah, kamu malah bingung."

"Ya kalau marahnya jelas aku nggak bingung lah. Aku malah bingung kalau hubungan yang adem ayem aja, nggak ada berantemnya. Bukannya itu tanda hubungan yang nggak baik-baik aja?"

"Masa gitu, Ra?" tanya Ayas dan Jonathan heran

"Loh iya. Hubungan yang sehat itu bukan yang nggak ada berantemnya. Berantem itu bukan sebuah masalah, yang jadi masalah itu kalau nggak berantem. Halah."

"Ah... Ngomongin apa sih kamu. Nggak jelas."

"Emang." Dira senyum menjulurkan lidahnya. Beberapa saat mereka terdiam, Dira mengingat betapa keras hatinya terhadap Raka. Setelah membantu suksesnya acara pernikahan sahabat kekasihnya, Dira malah meminta break selama beberapa hari. Bukan untuk mencari yang lain, ia sedang bosan.

"Kamu bosan, sayang?"Tanya raka waktu itu.

"Iya."Jawab Dira singkat.

"Apa yang harus aku lakuin?Kamu mau kita liburan?"

"Nggak bisa, kan Dira udah ngambil cuti."

"Terus mau kamu apa?"Nada suara Raka terdengar bergetar. Perihal hati, ia sudah tak peduli dengan harga diri. Matanya berlinang.

"Bisa nggak hubungin Dira dulu?"

"Sampai kapan?"

"Sampai Dira tenang."

"Apa yang buat kamu nggak tenang?"

"Tinggal jawab bisa apa nggak. NGGAK USAH BANYAK TANYA!!!"Nada suara Dira meninggi.

Anjir salah apa aku?Heiiiiiiiiiiiiiii.............Raka mengangguk, pertanda ia setuju."Kabarin aku kalau kamu udah tenang ya." Raka beranjak meninggalkan Dira.

Dira serba salah. Ia tak bermaksud menyakiti Raka, tapi tindakannya terkadang membuat Raka bersedih. Bukan kadang tapi sering.

Bukan ketenangan yang didapat, malah kegelisahan yang terus menyelimutinya. Ketidakhadiran Raka justru membuatnya tak tenang. Tak ada yang bisa ia jadikan tempatnya mendengarkan seluruh ocehan tentang pekerjaan atau marah-marah nggak jelas. Didepan Amar, ia selalu terlihat tenang. Bisa dibilang tak menjadi diri sendiri. Tapi mengapa hatinya selalu berpihak pada Amar? Ohh...Tuhan.

**

Sudah 3 hari Dira tak memberi kabar. "Dir, kamu baik-baik aja? Aku kangen." Isi pesan Raka, tak bisa juga ia menahan. Dira menghela nafas, ia berharap bukan Raka yang menanyakan kabar. Tapi dibalasnya juga pesan itu.

"Sini ke rumah, dicari Ibu."

Raka tersenyum diseberang sana dan segera mengambil kunci mobilnya meluncur ke rumah Dira. Kedua keponakan Dira langsung memeluk Raka saat ia sampai, Raka menciumi Lia dan Lio kemudian memberikan 2 kantong Martabak manis kesukaan mereka. Mereka girang membuka makanan, Ibu Dira hanya tersenyum. Raka menghampiri Ibu, Ayah dan kakak Dira di meja makan menyalimi tangan mereka. Kemudian izin ke depan untuk mengobrol dengan Dira yang sedari tadi menunggunya.

Raka tersenyum hangat, Dira cengar-cengir meminta maaf. Banyak sekali yang mereka bicarakan sampai tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Raka meminta penjelasan apa yang harus dilakukannya saat Dira ingin sendiri. Ia tak ingin menganggu namun tak bisa juga tak tau kabar Dira.

"Ya paksa kek gitu..." Dira merengut.

"Males, kamu neriakin aku mulu. Janji dulu jangan kayak gitu."

"Nggak bisa lah, kan Dira emang begini."

"Huft..................."

"Tuh kan.. Nyesel pacaran sama Dira?"

"NGGAK!!!"

Perdebatan kecil malam ini membuat hubungan mereka terasa "hidup". Rasanya hampir tak pernah mereka seperti ini, berdebat sedikit, marah, lalu tertawa lagi. Apakah dengan seperti ini Dira bisa membuka pintu hatinya? Ataukah sebenarnya memang sudah terbuka dari awal, namun Dira terus menyangkalnya.

"Jangan pergi karena orang ketiga ya, Dir."

Dira tak menjawab, ia hanya menatap dalam wajah Raka. Ia mencoba untuk terus mengerti perasaan Raka. Berusaha terus menyampaikan apapun yang ia rasakan, suka, senang, sedih, marah, apapun itu. Ia mencoba membuka hatinya, kali ini untuk Raka.

Sialnya, gagal lagi. Amar menelpon Dira saat sedang bekerja. "Hei... Sehat? Aku makan di lalapan sebelah kantormu nih.. Sini."

"Kapan datang?"

"Sini dulu.. Kan bisa ngobrol langsung."

Dira tak bisa menolak, ia meninggalkan pekerjaanya dan menuju ke sebelah kantor. Nggak di sebelahnya juga sih tapi di sebelah-sebelah rumah yang ada di sebelah kantornya. Haha....

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang