Sepekan sudah Panji pergi meninggalkan rumah. Maharani nelangsa memendam rindu. Meski akhir-akhir ini sikap Panji tak lagi manis seperti dulu, tapi setidaknya dia selalu pulang walau larut malam sekalipun.
Entah sudah berapa puluh kali, wanita berambut lurus itu mencoba menghubungi sang suami dalam sepekan ini. Namun, tetap saja hasilnya nihil, hanya suara operator saja yang menjawab, dan ajaibnya Maharani tak pernah bosan untuk mengulangi meski ia tahu hasilnya akan tetap sama.
"Apa kamu sedang menikmati hari-harimu bersama Kanaya, Mas? Apa kamu bahagia dengannya?"
Maharani terisak pilu. Dadanya sesak.
Nyeri di hati tiba-tiba mencuat, saat mengetahui bahwa laki-laki yang sudah membersamai selama hampir enam tahun itu ternyata berpaling cinta.Menjadi seseorang yang dilupakan, Maharani merasa dirinya benar-benar tak berarti. Masa-masa indah selama empat tahun pernikahan membayang di pelupuk mata. Masih lekat diingatannya saat bagaimana Panji selalu memanjakannya.
"Apa ini, Mas?" tanya Maharani suatu malam menjelang tidur.
"Buka saja, kamu pasti suka."
"Lombok?"
Kedua mata Maharani melebar saat melihat dua tiket pesawat ke Lombok. Tempat yang ingin sekali ia kunjungi sejak dulu.
"Heem. Kamu suka?"
"Suka sekali, Mas!" Maharani menghambur memeluk sang suami dengan rasa suka citanya.
"Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ngajak aku ke Lombok, Mas?" Wanita penyuka buah-buahan itu menarik tubuh seraya menatap suaminya.
"Bulan madulah, apalagi memangnya."
"Diih, kita kan udah dua tahun nikah, Mas."
"Memangnya bulan madu cuma milik pengantin baru saja." Panji mengerling sambil membuka kancing piyamanya satu per satu.
Wajah Maharani merona melihat gelagat sang suami yang meminta haknya.
"Ish, mesum banget sih." Wanita berparas ayu itu mencubit pipi sang suami dengan gemas, lalu berlari menghindar ke salah satu sudut kamar dengan tawa merekah.
"Kamu pikir bisa lari dariku, hemm?"
Panji menangkap tubuh ramping itu dari belakang, lalu menghujaninya dengan ciuman di sekitar leher. Maharani meronta sambil tertawa merasakan sensasi geli karena bulu-bulu halus di pipi suaminya yang menyentuh kulit.
"Den Ayu!"
Suara ketukan pintu dan panggilan dari mbok Wiji membuyarkan lamunan wanita itu akan masa-masa manis bersama suaminya. Maharani mengerjap, lalu mengembuskan napas kasar.
"Ada apa, Mbok?" tanya Maharani saat sudah di depan pintu.
"Ada tamu, nyari Den Ayu."
"Siapa, Mbok?"
"Katanya pengacara Den Panji."
"Pengacara Mas Panji?" Maharani mengerutkan kening.
"Iya, Den Ayu."
"Ya sudah, suruh tunggu sebentar ya, Mbok."
Mbok Wiji mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan sang majikan yang kembali masuk kamar untuk merapikan diri. Sejurus kemudian, Maharani pun keluar untuk menemui sang pengacara.
"Selamat siang, Bu Maharani. Saya Kemal, pengacara Pak Panji." Pria berkacamata itu berdiri dan mengulurkan tangan saat Maharani tiba.
"Selamat siang, Pak Kemal. Silakan duduk." Maharani mencoba menahan gemuruh di dada juga tubuh yang mulai gemetar. Ia sudah bisa menerka maksud kedatangan pengacara yang dikirim suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
RomanceSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...