Maharani menatap nanar status WA milik Panji. Kedua matanya menghangat, lalu sebulir air pun jatuh di pipi. Tampak foto Kanaya yang memakai kebaya pengantin dengan mahkota khas Sunda sedang tersenyum, lalu tertulis caption di bawahnya 'Bidadariku' membuat luka yang belum kering kembali berdarah.Wanita yang mulai berbusana muslim itu terpejam, menikmati rasa nyeri yang mendadak singgah di hati. Meski sakit tapi entah mengapa jemarinya masih menggeser status berikutnya.
Foto Panji yang tengah melaksanakan ijab kabul pun muncul dan terpampang jelas di layar ponsel. Caption yang tertulis di bawahnya "Alhamdulillah Sah" Maharani pun menggigit bibir kuat-kuat untuk menahan agar air mata tak lagi tumpah.
Lagi, jemari wanita itu menggeser status selanjutnya. Gambar Panji dan Kanaya sedang memamerkan buku nikah seraya tersenyum bahagia. Kali ini Maharani benar-benar sudah tidak kuat lagi. Ia lemparkan ponsel ke tempat tidur lalu menutup wajah dengan kedua tangan dan siku yang menumpu di paha.
Penasaran dengan status Panji berikutnya, Maharani kembali meraih ponsel. Meski sakit tapi tetap saja ia membuka status lelaki yang kini sudah menjadi mantan. Ternyata cinta itu rumit. Bahkan ia mengabaikan rasa sakit demi bisa melihat kebahagiaan sang mantan.
"Selamat, Mas. Semoga kamu bisa bahagia dengan Kanaya," gumamnya.
Kemudian ia pun menekan tombol blokir pada nomor Panji dan Kanaya. Keputusan yang menurutnya terbaik saat ini, untuk menjaga hati dari rasa sakit yang berkepanjangan.
"Bahkan sampai detik ini, aku tidak bisa membencimu, Mas, apalagi melupakanmu. Tapi aku berharap dengan memutus semua akses komunikasi denganmu, aku bisa cepat melupakanmu dan menyembuhkan luka hatiku."
Maharani menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ia ingin segera bangkit dari segala rasa sakit yang diberikan Panji.
***
"Aku bahagia sekali, Nay. Akhirnya kita bisa menikah, apalagi aku akan segera jadi ayah."
Panji memeluk Kanaya yang tengah berdiri di balkon menatap langit malam bertabur bintang. Dengan mesra lelaki itu mendekap gadis yang kini telah sah menjadi istrinya.
Kanaya memutar tubuh hingga kini mereka saling berhadapan. Dia memindai wajah Panji untuk beberapa saat.
"Ada apa?" Panji menatap manik cokelat pekat yang selalu menjadi daya tarik tersendiri untuknya.
"Apa kita akan selalu bersama?" tanya Kanaya.
"Tentu saja, Sayang. Kita akan bersama selamanya. Kenapa kau tanyakan itu? Aku mencintaimu."
"Aku ... aku takut kamu akan meninggalkanku."
"Sst, ini hari bahagia kita. Jangan bahas sesuatu yang akan bikin kita sedih." Panji mengecup kening sang istri dengan lembut. "Tetaplah bersamaku dan menjadi ibu dari anak-anakku," bisiknya tepat di telinga Kanaya membuat bulu-bulu halus di sekitar leher wanita itu meremang.
Kanaya sedikit menengadah. Membuat wajah mereka semakin mendekat, hingga ia merasa hembusan napas Panji membelai hangat di wajah.
Tak menunggu lama, perlahan Panji membopong Kanaya dan meletakkan tubuh itu di ranjang. Mata mereka pun saling menatap sayu, mengutus rindu yang seolah tak pernah terputus.
"Seharian ini aku merindukanmu, berharap acara cepat selesai," ucap Panji yang terdengar seperti keluhan. Ujung telunjuk pria itu menyisir wajah ayu yang terpejam menikmati perlakuan lembutnya.
Berbaring di ranjang dengan tubuh Panji yang menindihnya, membuat wajah mereka kini sejajar.
"Sepertinya aku harus hati-hati malam ini, karena sudah ada penghuni kecil di dalam sana," ucap Panji seraya mengedipkan mata, membuat pipi Kanaya merona.
Pasangan pengantin baru itu terus saling berbisik hingga beberapa saat. Menikmati embusan napas satu sama lain yang terasa hangat.
Perlahan Kanaya mengalungkan tangan ke leher lelakinya, lalu memberi isyarat pada bibirnya yang sedikit terbuka. Tak menunggu lama, Panji pun langsung memagut bibir seksi di hadapannya.
Tak sampai di situ, tangan lelaki itu pun memulai peranannya di tubuh Kanaya, hingga wanita itu bergerak gelisah. Gerakan sang istri membuat Panji semakin menggebu melancarkan serangannya, meninggalkan begitu banyak tanda cinta di tubuh yang kini telah menjadi miliknya secara utuh.
Malam ini mereka saling menyebut nama di antara deru napas yang memburu dan berpacu, hingga membuat peluh menganak sungai atas irama cinta yang mereka ciptakan.
***
Masa iddah hampir selesai. Maharani semakin menyibukkan diri dengan kegiatan barunya. Begitu banyak disain-disain batik yang sudah ia ciptakan.
Ratih dan Ismoyo pun merasa senang mengetahui sang putri mulai bangkit dari keterpurukannya. Mereka terus mensuport dari jauh.
Maharani bahagia, semua disain-disainnya bisa diterima semua kalangan masyarakat, bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak muda.
Batik katun dengan brand MahaBatik, sukses menembus pasaran kota Gudeg. Tak butuh waktu lama untuk memasarkan MahaBatik, dengan campur tangan orang tuanya yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di bisnis tersebut.
Sebentar lagi masa iddah Maharani usai. Ia pun merombak sedikit paviliun rumahnya untuk dijadikan galeri kain-kain batik yang nantinya akan dikirim dari Jogja.
Janda muda itu juga berencana memproduksi pakaian batik siap pakai. Maharani pun mulai mencari tukang jahit dan tukang potong untuk jadi karyawan, karena ia tak begitu paham dengan dunia jahit menjahit.
"Mbok seneng sekali melihat Den Ayu sudah semangat lagi seperti ini," ujar Mbok Wiji saat menemani sang majikan makan siang.
"Semua itu juga karena Mbok yang selalu menghibur saya, Romo dan Ibu yang selalu menguatkan. Tanpa kalian, entah seperti hidup saya, Mbok." Maharani mengusap bibir dengan tisu setelah selesai di suapan terakhir.
"Gusti Allah mboten sare, insyaa Allah sudah disiapkan pengganti yang lebih baik untuk Den Ayu."
"Aamiin. Makasih, Mbok. Oya ... saya juga berencana nyari satu orang lagi yang bisa bantu-bantu Mbok ngurus rumah. Barangkali Mbok ada saudara atau teman yang mau kerja di sini. Tapi yang umurnya di bawah 40 tahun ya."
"Apa kerjaan Mbok sudah ndak memuaskan Den Ayu?"
"Eh ... bukan begitu, Mbok, saya cuma gak tega kalau Mbok Wiji itu sendirian ngurus rumah ini. Inget, Mbok sudah nggak muda lagi," ucap Maharani sambil terkekeh.
"Tapi Den Ayu ndak berniat mecat si Mbok, to?"
"Yo nggak. Mbok Wiji tetep temani saya di sini." Wanita berperangai halus itu menyentuh lembut jemari pengasuhnya.
Mbok Wiji mengulas senyum, lalu dengan cekatan ia pun membereskan bekas makan sang majikan. Sementara Maharani kembali ke ruangan yang kini berfungsi sebagai ruang kerja.
Tampak kertas-kertas disain berserak di atas meja. Ada juga beberapa kain batik yang sudah dikirim oleh orang tuanya yang ia pajang di ruangan itu.
Maharani menghela napas panjang, ada harapan yang ia semai untuk hidupnya ke depan meski tanpa Panji. Wanita itu kembali tenggelam bersama kertas dan pensil, lalu menggoreskan semua ide di sana.
***
Sangat membahagiakan jika karya-karyaku bisa menghibur pembaca semua dan diapresiasi dengan baik oleh kalian para readers. Makasih banyak untuk tap bintang dan komen2 positifnya yang aku anggap sebagai bentuk suport. Jika ada kebaikan di novel ini, semata karena Allah, dan jika masih banyak sekali kekurangan itu datangnya dari aku yang berusaha untuk terus belajar.
Barakallahu fiikum 🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
RomanceSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...