Bab 14. Sampai di Kampung

469 28 6
                                    


Perjalanan yang hanya memakan waktu tiga jam serasa begitu lambat bagi Kanaya. Beberapa kali ia menarik napas lega saat tak ada notifikasi apa pun dari Panji di ponselnya. Gadis itu bahkan berencana mengganti nomor hape setiba di terminal Sukabumi.

Tepat pukul sebelas, bis yang ditumpangi Kanaya sampai di terminal. Sebelum ke jalur angkot ia terlebih dahulu mampir ke sebuah konter untuk membeli nomer baru.

Setelah itu Kanaya pun menaiki angkot untuk menuju desa tempat orang tuanya tinggal. Butuh waktu sekitar dua puluh lima menit untuk tiba di desanya. Pun masih harus disambung lagi dengan ojek.

Saat akan turun dari angkot, ponselnya berdering. Tampak nama Panji tertera di layar benda pipih itu. Kanaya bimbang, antara menerima atau ia abaikan saja panggilan dari Panji. Akhirnya ia memilih untuk membiarkan telepon dari kekasihnya.

"Ojek, Neng?" tawar salah seorang tukang ojek berkaos abu-abu.

"Iya, Kang. Kampung Cimanggis."

"Hayuk atuh."

Kanaya bergegas naik ke boncengan, saat tukang ojek sudah siap dengan motornya. Tak sampai sepuluh menit ojek pun berhenti di depan sebuah rumah bercat hijau putih. Hunian yang lumayan luas tanpa pagar itu terlihat sepi.

Usai membayar ongkos, Kanaya pun mengayunkan kaki menuju bangunan tempat ia lahir dan tumbuh hingga remaja. Sampai kemudian ia harus meninggalkan keluarga karena memilih untuk kuliah di ibu kota.

"Assalamualaikum ... Ambu!" Diputarnya kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Perlahan kakinya melangkah menyusuri ruangan demi ruangan.

"Ambu!" panggilnya lagi.

"Siapa?" terdengar jawaban dari arah belakang rumah. Suara seorang wanita. Gegas Kanaya melangkah cepat ke arah suara.

"Naya, Ambu."

Seorang wanita berdaster tampak muncul dari pintu belakang. Matanya membulat saat melihat Kanaya.

"Eneng ...?" Masyaa Allah, Eneng pulang? Kok gak kabar-kabar kalau mau pulang." Nurmalia--ibu Kanaya--langsung menghambur memeluk putrinya.

"Naya kangen," ucapnya lirih.

Nurmalia mengurai pelukan. Ditatapnya gadis dengan rambut terurai tersebut lekat-lekat. Wanita paruh baya itu pun mengerutkan kening saat melihat mata putrinya sembap.

"Aya masalah?" tanya wanita paruh baya itu dengan mata menyipit.

"Kenapa, Ambu?"

"Lho, ditanya kok balik nanya. Eneng teh kunaon, kok mata kayak habis nangis kitu?"

"Nggak apa-apa, tadi Naya tidur mulu di bis," kilahnya.

Nurmalia hanya mengangguk-angguk meski ia tahu putrinya tengah berbohong.

"Abah masih di kelurahan?"

"Ya masih atuh, ini kan masih jam sebelas."

Suparna, ayah Kanaya adalah pegawai kelurahan yang menjabat sebagai sekretaris desa.

"Ya sudah, Naya ke kamar dulu, istirahat. Biar Ambu siapin makan siang."

Gadis itu mengangguk kemudian berlalu ke kamar. Lelah setelah menempuh perjalanan juga kantuk yang menyerang membuat Kanaya langsung terlelap begitu tubuhnya menyatu dengan kasur nan empuk.

***

Kesibukkan yang menyita waktu membuat Panji tidak sempat menghubungi Kanaya. Usai meeting jam sebelas tadi dia menyempatkan untuk menelepon, tapi tidak diangkat. Pria itu pun tak berpikir macam-macam. Ia pun kembali meletakkan ponsel dan berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk.

𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang