Bab 15. Rindu Bertemu Tepi

472 25 6
                                    


Hampir sepekan Kanaya menghilang. Panji pun makin kelimpungan mencari keberadaan sang kekasih. Ia seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Hampir tiap hari pria itu menyusuri jalan berharap bisa menemukan gadis yang dicintainya.

Panji duduk menyandar di kursi kebesarannya. Usai berkeliling mencari Kanaya, ia kembali ke kantor. Wajah tampan itu tampak kusut, cambang tipis mulai tumbuh tak terurus.

"Please, Nay, kembalilah. Aku merindukanmu, hidupku kacau tanpamu," gumamnya putus asa seraya meremas rambut.

"Apa mungkin dia pulang kampung? Tapi di mana kampungnya? Aku bahkan gak tahu alamatnya." Panji terus bermonolog.

Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatiannya. Disusul seorang gadis bertubuh mungil muncul dari balik pintu setelah sang boss mempersilakan untuk masuk.

"Maaf, Pak. Ini data karyawan baru yang sudah lolos seleksi."

"Data karyawan baru?"

"Iya, Pak. Tinggal tanda tangan Bapak saja."

Ia pun membuka lembar demi lembar kertas yang ada di dalam map tersebut. Seketika lelaki itu pun mengingat sesuatu.

"Tolong carikan data Kanaya, sekarang."

"Data Mbak Kanaya?"

"Apa masih kurang jelas perintah saya?!"

"Eh ... i--iya, Pak." Segera karyawan bernama Amelia itu berbalik dan keluar meninggalkan ruangan Panji.

"Kenapa aku sampai gak kepikiran mencari alamat di data karyawan. Bodoh!" gumamnya sambil memukul kening.

Tak sampai lima menit Amelia kembali dengan secarik kertas ditangan.

"Ini, Pak."

Panji segera mengambil kertas tersebut dan melipatnya dengan cepat. Detik berikutnya pria itu pun meraih kunci mobil kemudian beranjak keluar ruangan.

"Pak, tanda tangannya!"

Mengabaikan panggilan Amelia, Panji terus melangkah cepat menuju tempat parkir gedung itu.

Pria yang belum lama berstatus duda itu membuka kertas yang berisi data Kanaya saat telah duduk di belakang kemudi.

"Kampung Cimanggis, Sukabumi. Okey, tunggu aku, Nay. Aku akan datang padamu untuk melamarmu," gumamnya seraya melajukan mobil perlahan.

***

Kanaya menatap testpack dengan dua garis merah di tangannya yang gemetar. Sementara sebelah tangan lagi membekap mulut. Ada bening mengambang di pelupuk mata gadis itu.

"A--ku ... ha--mil? Nggak ... ini nggak mungkin."

Gadis itu terduduk dan terisak. Sebuah kesalahan fatal sudah ia lakukan. Kini ia tak tahu bagaimana cara mengatakan kehamilan itu pada kedua orang tuanya.

Kanaya ragu, apakah menjauh dari Panji adalah keputusan yang benar? Lalu, bagaimana dengan nasib diri dan anak yang ia kandung? Kanaya benar-benar menyesali kebodohannya. Atas nama cinta ia serahkan semua kepada lelaki yang belum menjadi suaminya.

"Neng!"

Suara Nurmalia membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya, lalu menyalakan keran air untuk menyamarkan isak tangisnya.

"I--iya, Ambu."

"Kamu teh keur naon, lama pisan di kamar mandi?"

"Bentar, Ambu. Perut Naya masih mules."

"Kebanyakan makan sambel eta mah."

"Muhun."

Nurmalia pun berlalu dari depan kamar mandi. Sementara Kanaya cepat-cepat membersihkan wajah yang basah oleh air mata, setelah sebelumnya menyembunyikan testpack ke dalam saku babydoll.

𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang