"M--mbak Rani ...."
Seulas senyum tipis tercetak di wajah sarat beban luka itu, bahkan sangat tipis. Sejenak Maharani memindai wajah cantik yang menunduk di hadapannya.
"Apa kau mencintai suamiku?" tanya Maharani lirih serupa bergumam.
"Ma--maaf, Mbak. S--saya ...."
Kanaya terisak, rasa bersalah pada Maharani membuat ia tak mampu melanjutkan kata-kata.
"Harusnya saya yang menangis, Nay," ucap Maharani datar. Gadis itu mengangkat wajahnya sesaat, kemudian kembali menunduk saat bersitatap dengan sepasang mata sayu milik Maharani.
Hening, tak ada lagi yang berkata-kata, hingga akhirnya Maharani beranjak meninggalkan Kanaya dengan isak tangisnya. Dengan pandangan kosong, wanita yang sedang patah hati itu melangkah memasuki lift.
Tiba di lobi, Maharani membalas setiap sapaan dari para karyawan yang mengenalnya dengan senyuman tipis. Ia ingin segera sampai di mobil, sesak di dada tak bisa lagi ditahan.
Maharani langsung menangis tersedu saat sudah ada di dalam mobil. Betapa sakit ketika harus kehilangan orang yang begitu ia cintai. Bukan hanya itu, tuduhan berzina seolah menghancur leburkan harga dirinya sebagai seorang istri yang selama ini tulus mengabdi demi sang suami.
Maharani sakit, benar-benar sakit. Cintanya pada Panji sangatlah besar. Ia masih bisa terima saat mengetahui bahwa lelaki itu sudah mendua. Namun, saat Panji kemudian memutuskan menceraikannya dengan alasan dirinya sudah selingkuh, hati Maharani benar-benar hancur. Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa rasa cinta untuk pria itu masih tetap sama.
Untuk beberapa saat, Maharani menumpahkan segala rasa sakit itu melalui air mata. Duduk menyandar dengan posisi kepala menengadah, wanita bernama lengkap Maharani Darapuspita itu berharap hatinya bisa sedikit tenang.
Maharani menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Ia menghapus jejak air mata yang masih saja mengalir. Perlahan wanita itu melajukan mobil keluar dari area parkir gedung berlantai lima tersebut.
***
Sepeninggal Maharani, Kanaya kembali melangkah menuju meja kerja yang berada dalam satu ruangan dengan Panji.
Gadis itu pun duduk dan langsung menyibukkan diri dengan layar komputer. Mengabaikan tatapan Panji yang mengarah padanya.
Merasa diacuhkan, pria bermata tajam itu bangkit dari duduk dan menghampiri sang sekretaris. Jantung Kanaya berdebar kencang saat menyadari Panji berjalan ke arahnya.
"Hei ... ada apa?" Panji berdiri di samping tubuh gadis itu, dan mengusap lembut pundak Kanaya. Gadis dengan setelan blazer warna broken white itu menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan layar komputer.
"Apa kamu cemburu Maharani datang ke sini?" Kanaya masih diam dan acuh. Panji pun memutar paksa tubuh gadis itu agar menghadap padanya.
"Apaan sih, Mas. Aku lagi sibuk!"
"Sibuk apa? Itu laporan minggu lalu, untuk apa lagi kamu otak atik?"
Kanaya membuang pandangan, mencoba menyembunyikan cairan bening yang sudah mengambang di pelupuk mata.
"Nay," panggil Panji lembut.
"Aku mau kita putus."
"Nay!"
"Iya, aku mau kamu kembali sama Mbak Rani, Mas!"
"Kamu ini bicara apa? Aku bahkan sudah menceraikannya. Tinggal menunggu sidang pengadilan saja."
"Ini tidak benar, Mas. Ini salah!" Kanaya terisak sambil terus menggeleng. Hatinya gundah. Ia mencintai Panji, tapi di sisi lain Kanaya tak tega melihat gurat luka yang begitu kentara di wajah Maharani.
"Apanya yang salah, Maharani sudah berani selingkuh dan berzina dengan tukang kebun itu! Apa lagi?"
"Bukan Mbak Rani yang selingkuh, Mas, tapi kita. Kita yang sudah menusuknya dari belakang, kita yang sudah mengkhianatinya. Kita sudah salah, Mas."
"Tidak ada yang salah, Nay. Kita saling mencintai. Setelah perceraianku beres, aku akan langsung melamarmu."
Kanaya makin tersedu. Batinnya berperang. Panji merengkuh tubuh mungil itu ke dalam dekapan. Berusaha menenangkan sang kekasih dengan belaian lembut jemarinya.
"Kamu yang tenang ya. Tidak ada lagi yang harus aku pertahankan bersama Maharani." Kata-kata Panji layaknya embun di hati gadis berusia 25 tahun itu.
Bukankah cinta memang tak bermata? Tak peduli meski ada hati yang akan tersakiti. Tetap buta walau sudah jelas ada jiwa yang merana.
***
Maharani menatap nanar secarik kertas di tangannya. Surat gugatan cerai yang dikirim oleh pengacara Panji untuk ia tanda tangani. Tak terasa, ada bening jatuh di sudut netra.
Panji, adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhir bagi Maharani. Dari pria itu ia mengenal arti merindu, hingga kemudian berani mengukir asa atas cinta yang tersemat indah.
Kini, semua pupus sudah. Hati wanita itu patah. Tidak! Bukan lagi patah, tetapi hancur berkeping-keping. Maharani tersedu usai menandatangani surat itu. Sekuat dan setegar apapun, Maharani tetaplah manusia biasa yang bisa merasakan sakit.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian wanita berwajah teduh itu. Bergegas ia menyeka jejak basah di pipi, kemudian beranjak untuk membuka pintu.
"Den Ayu, ada Ndoro Jarwo di depan," kata Mbok Wiji saat Maharani muncul dari balik pintu.
"Pakdhe Jarwo?"
"Nggih, Den Ayu."
Maharani mengernyit. Tak biasanya lelaki paruh baya itu datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Usai merapikan penampilan, gegas Maharani ke ruang tamu untuk menemui lelaki yang biasa dipanggil pakdhe itu. Jarwo Marsidi adalah kakak dari bapaknya Panji
"Pakdhe," sapa Maharani sambil menyalami lelaki yang mengenakan pakaian khas Jawa itu.
"Tumben ndak kasih kabar dulu kalau mau datang, Pakdhe," lanjutnya seraya mempersilakan sang tamu untuk duduk.
"Iya, Nduk. Mendadak saja, Pakdhe pengin ketemu kalian. Mana Panji?"
"Eum ... M--mas Panji belum pulang, Pakdhe." Maharani menjawab dengan gugup. Ia masih belum bisa mengatakan yang sebenarnya pada lelaki berusia 65 tahun itu.
"Telepon dia, bilang kalau Pakdhe Jarwo datang. Biar dia cepet pulang," titah lelaki yang mengenakan blangkon itu.
"Ba--baik, Pakdhe. Sa--saya ambil hape dulu di kamar." Maharani beranjak menuju kamar.
Untuk beberapa saat Maharani hanya mondar mandir sambil memegang ponsel. Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri untuk menelepon lelaki yang sudah memberinya talak.
"Ada apa?" tanya Panji tanpa basa basi saat telepon tersambung.
Maharani memejamkan mata, merasakan perih di hati. Betapa ia seperti tak mengenal lelaki yang pernah menjadi suaminya itu.
"M--maaf, Mas, di rumah ada Pakdhe Jarwo," jawab Maharani dengan terbata.
"Apa?! Pakdhe Jarwo?"
"Iya, Mas."
"Apa beliau menanyakanku?"
"Iya, pakdhe suruh aku telepon Mas Panji."
"Katakan saja padanya, kalau aku sedang ada pekerjaan di luar kota."
"Eum ... apa gak sebaiknya Mas Panji temui pakdhe?"
"Jangan pernah berpikir kalau kedatangan pakdhe akan merubah keputusanku untuk menceraikanmu, Maharani."
Nyeri, itu yang dirasakan Maharani. Tak apa jika cinta itu sudah tak ada lagi, tapi tak bisakah Panji bersikap baik padanya?
"Ya sudah, Mas, terserah gimana kamu saja." Maharani langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Panji.
Maharani menarik napas panjang, sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu dengan perasaan bingung. Haruskah ia mengatakan semuanya?
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
RomanceSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...