Bab 7. Kemarahan Pakde Jarwo

858 80 8
                                    

"Gimana, Mas, enak?"

"Hemm, enak. Aku baru kali ini makan cuanki."

"Mas sampai keringetan begini." Kanaya mengambil tisu dari dalam tas, lalu mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher kekasihnya.

"Ehemm!"

Kanaya menghentikan pergerakan tangannya mengelap keringat Panji. Keduanya segera menoleh ke arah suara. Dua pasang mata itu melebar saat melihat siapa yang berdiri tak jauh dari mereka.

"P--pakde?"

"M--mbak Rani?" ucap mereka secara bersamaan.

Kedua orang itu serempak berdiri. Tampak Pakde Jarwo menatap tajam pada sang keponakan. Panji pun terlihat salah tingkah, tidak tahu harus berkata apa. Sementara Maharani memalingkan wajah, menahan gumpalan air yang siap tumpah dari pelupuk mata.

"Pakde ... sa--saya---"

"Pakde tunggu di rumah, Panji!" potong pria tua itu, lalu tanpa menunggu jawaban ia pun berbalik dan meninggalkan Panji yang termangu diikuti oleh Maharani.

Dengan langkah cepat dan amarah yang membuncah, Pakde Jarwo berjalan menuju mobil. Maharani mengekor di belakang tanpa suara.

"Apa kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu sama Pakdemu ini, Nduk?" tanya lelaki yang selalu mengenakan blangkon itu saat sudah duduk di mobil.

"Biar nanti Mas Panji yang akan menjelaskan semuanya, Pakde." Maharani menghela napas, diusapnya setitik air yang jatuh dari sudut mata dengan ujung ibu jari. Setelah itu ia pun melajukan mobil keluar dari area pertokoan yang begitu padat.

Teriknya matahari siang itu menambah panas rasa di hati Maharani, saat melihat kemesraan Panji dan Kanaya. Sebongkah daging di dalam sana seperti terbakar. Tanpa sadar, wanita itu mencengkeram setir dengan erat hingga terlihat jemarinya memutih. Ingin sekali rasanya berteriak sekencang-kencangnya, tapi sisi kewarasan Maharani masih terjaga.

Setelah berjibaku dengan kemacetan ibu kota, akhirnya mereka pun sampai di rumah berarsitektur Jawa itu. Sebuah hunian dengan konsep ramah lingkungan, terasa sejuk dan adem di tengah-tengah suasana ibu kota yang panas.

Maharani mencoba menahan semua gejolak rasa yang entah seperti apa, di hadapan lelaki paruh baya yang tampak gusar itu. Pakde Jarwo segera duduk di sofa ruang tengah dengan napas yang memburu. Rahangnya mengatup rapat.

"Pakde, minum dulu." Maharani meletakkan segelas air putih di meja.

"Apa sebelumnya kamu sudah tahu kelakuan suamimu itu, Nduk?" tanya Pakde Jarwo usai meneguk air minum  hingga tandas.

"Ngapunten, Pakde, mungkin ini saya yang salah. Saya yang belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Panji." Maharani menunduk. Air matanya rebas membasahi pipi, pun lantai di bawahnya.

Alih-alih mengadu semua kelakuan sang suami, Maharani justru melakukan pembelaan. Entah kenapa, ia sendiri bingung. Apa karena cinta yang begitu besar terhadap lelaki itu, sehingga tak peduli meski rasa hati begitu sakit.

"Ndak ada manusia sempurna, semua orang pasti mempunyai kekurangan. Lalu jika Panji sampai mengkhianatimu dengan alasan kamu bukan istri yang baik, apa dia sudah menjadi suami yang cukup baik untukmu?" Pria paruh baya itu menatap Maharani yang tertunduk.

"Apa kau mengenal perempuan itu?"

Dengan terisak, Maharani mengangguk. "Dia ... sekretaris Mas Panji."

"Memalukan sekali anak itu!" geram Pakde Jarwo.

Deru suara mobil terdengar samar-samar dari arah halaman. Sepertinya orang yang ditunggu sudah datang. Tak lama suara salam pun menyapa telinga diikuti sosok Panji yang muncul dari balik pintu penghubung ruang tengah.

"Pakde," sapanya sambil tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut. Panji seperti seorang anak SD yang tengah menunggu hukuman dari gurunya.

"Duduk!" titah sang pakde.

"Nggih, Pakde." Sekilas Panji melirik Maharani yang tengah menatapnya. Ada kilat amarah pada wanita itu dari sorot matanya.

"Pakde bener-bener kecewa sama kamu, Panji! Pakde didik kamu agar menjadi laki-laki sejati, bukan jadi laki-laki pengecut seperti ini!"

"Pakde ... sa--saya---"

"Tinggalkan perempuan itu! Pecat dia!"

Panji mengangkat wajah. "Ngapunten, Pakde, saya ndak bisa. Saya mencintai Kanaya."

Maharani memejamkan mata, serasa ada sembilu yang menyayat hatinya, perih, sakit.

"Bagaimana dengan Maharani?"

"Kami sedang dalam proses perceraian," jawab Panji lirih.

"Apa? Cerai?!" Lelaki itu begitu terkejut mendengar pengakuan sang keponakan.

"Kalian ... kalian benar-benar keterlaluan! Untuk masalah sebesar ini, bisa-bisanya kalian menyembunyikannya dari Pakde!" Mata tua itu menatap nyalang keponakan dan menantunya.

Maharani terisak, ia merasa telah mengecewakan harapan orang tua itu.

"Pakde ndak nyangka, anak lelaki yang Pakde besarkan, Pakde didik dengan keras, ternyata laki-laki tak punya hati! Enyahlah dari hadapanku. Mulai saat ini, kamu bukan keponakanku lagi. Pergi!"

"Pakde ... maafkan saya!" Panji luruh dan bersimpuh di kaki lelaki tua yang selama 14 tahun ini membesarkannya.

Hati Maharani pilu melihat pemandangan itu. Lelaki yang selalu terlihat berwibawa itu begitu tak berdaya di hadapan Pakde Jarwo.

"Pergi!" Pria paruh baya itu menarik kakinya kemudian berdiri. Ditatapnya Panji yang masih bersimpuh. "Kau dengar kan, jika kamu memilih perempuan itu, maka jangan lagi panggil aku Pakde!"

Panji menyeka wajah yang basah oleh air mata dan keringat. Ia bangkit dan berdiri. Menatap pakdenya sekilas, lalu beralih menatap wanita yang berdiri di sebelah pria paruh baya itu.

"Asal Pakde tahu, menantu kebanggaan Pakde ini sudah berzina dengan keponakan Mbok Wiji. Dia sudah bermain api di belakang saya."

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Panji. Maharani terbelalak dan menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangan. Air mata membanjir di wajah manisnya.

"Berani sekali kau menuduh istrimu berzina! Apa buktinya.?"

"Saya liat laki-laki itu duduk di sofa kamar dengan bertelanjang dada, Pakde, dan dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Apalagi yang dilakukan laki-laki dan perempuan dewasa di kamar, kalau bukan melalukan zina," jelas Panji sambil mengarahkan telunjuk pada Maharani.

"Percuma aku sekolahkan kamu hingga jadi sarjana jika otakmu ternyata masih picik seperti ini! Enyah dari hadapanku!"

"Pakde."

"Pergi!"

Panji menghela napas, perlahan ia memutar tubuh sebelum akhirnya ia melangkah keluar dari rumah itu.

"Maafkan Pakde yo, Nduk. Pakde sudah gagal mendidik Panji," ucap lelaki tua itu sepeninggal Panji.

Dengan tangan gemetar, punggung tangan lelaki paruh baya itu menyeka sudut mata. Hatinya teramat sakit mendapati kenyataan bahwa keponakan yang selalu ia banggakan bisa berbuat seperti itu.

"Pakde gak salah. Pakde sudah menjadi orang tua yang baik untuk Mas Panji. Saat ini Mas Panji hanya sedang tersesat. Kita doakan agar Mas Panji bisa kembali menjadi Mas Panji yang dulu. Pakde yang sabar ya."

"Jadi, kapan proses perceraian kalian?"

"Saya sudah tanda tangani surat gugatan cerai Mas Panji, tinggal menunggu surat panggilan sidang. Mungkin gak lama lagi, Pakde."

"Panji pasti akan menyesal sudah menyakitimu seperti ini, Nduk."

Seulas senyum getir tampak samar tergambar di wajah Maharani. Hatinya tak yakin Panji akan menyesal.

***

Bersambung

Yuk, ramekan dengan komen kalian, jangan lupa juga tinggalin lovenya










𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang