"Mau ke mana?" tanya Panji saat melihat Maharani keluar kamar dengan membawa selimut.
"Mau tidur di kamar belakang," jawab wanita itu tanpa menoleh.
"Kalau pakde tahu kita tidur terpisah gimana?"
"Itu urusanmu, Mas. Kau bisa katakan semuanya sama pakde."
"Maharani!"
Wanita berpiyama biru telur asin itu urung melangkahkan kaki keluar kamar. Ia menoleh dengan sebelah tangan masih memegang handel pintu.
"Aku akan katakan semua sama pakde, tapi setelah itu tolong aku agar pakde mau menerima Kanaya."
"Kenapa, Mas? Apa kamu gak yakin kalau Kanaya bisa meluluhkan hati pakde. Bukannya kamu punya alasan kuat untuk menceraikanku. Jika pakde sudah tahu alasanmu, pasti beliau akan menerima Kanaya dengan tangan terbuka."
"Pakde sangat menyayangimu. Pasti akan sulit untuknya menerima Kanaya."
"Sayang dan benci itu seperti dua sisi mata uang. Mudah untuk membolak balikkannya. Banyak yang dulunya saling menyayangi, tapi kemudian harus berpisah. Pun dengan pakde, dia akan membenciku saat kau mengatakan alasanmu menceraikanku."
"Tak semudah itu, Maharani.
"Hidup memang tidak mudah, kita perlu berjuang untuk bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Jadi, berjuanglah untuk bisa hidup dengan wanita yang saat ini kau cintai."
Maharani pun segera membuka pintu dan melangkah keluar. Namun, tubuhnya membeku saat dilihatnya Pakde Jarwo sudah berdiri di depan pintu. Sepasang mata itu menatap tajam pada menantunya, membuat Maharani tergeragap.
"P--Pakde ...? Sedang apa Pakde di sini?" tanya Maharani dengan gugup. Panji pun mendekat, seketika jantungnya seakan mau lepas melihat Pakde Jarwo berdiri tak jauh dari kamar.
"Kalian kenapa, to? Kok kayak lihat setan gitu?"
"Ng--nggak ... cuma kaget saja. Ada apa, Pakde?" Panji mencoba kembali bersikap wajar.
"Besok Pakde mau mampir ke rumah temen yang di daerah Menteng. Kamu bisa antar 'kan?" tanyanya pada Panji.
"Waduh, ngapunten Pakde, besok saya ada meeting penting, sepertinya ndak bisa."
"Biar saya yang antar, Pakde," tawar Maharani.
"Ya sudah, ndak apa-apa." Lelaki itu berbalik hendak kembali ke kamar. Namun, detik kemudian, ia kembali memutar tubuh menatap Maharani yang membawa selimut.
"Kamu ngapain bawa-bawa selimut keluar kamar?"
"Eh, a--anu ... mau saya bawa ke belakang biar besok dicuci."
Lelaki tua itu hanya mengangguk-angguk menanggapi jawaban istri dari sang keponakan. Selanjutnya ia pun kembali melangkah ke kamar tamu. Sementara pasangan suami istri yang belum resmi bercerai itu menarik napas lega sepeninggal Pakde Jarwo.
***
Usai memimpin rapat, Panji kembali ke ruangan diiringi langkah sang sekretaris di belakangnya. Tangan lelaki itu terulur hendak meraih handel pintu saat sebuah suara memanggil namanya. Ia pun berbalik. Tampak seorang pria berkacamata tengah berjalan menghampiri.
"Pak Kemal."
"Maaf, Pak, saya datang tanpa membuat janji terlebih dahulu," ucap Kemal sambil tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Oh, iya, Pak. Gak apa-apa. Silakan masuk. Kebetulan saya baru selesai meeting."
Kemal mengangguk dan mengikuti langkah Panji menuju sofa yang ada di pojok ruangan. Sementara Kanaya pergi ke pantry untuk membuat minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
Storie d'amoreSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...