Dengan gusar Panji melajukan mobil menuju rumah Kanaya. Disaat seperti ini, hanya gadis itu yang bisa membuatnya tenang."Apa Pakde Jarwo marah?" tanya Kanaya saat Panji memasuki rumahnya.
"Iya," jawabnya lemah. Pria berhidung mancung itu langsung menuju sofa ruang tamu, membuka jas lalu melemparkannya ke sembarang arah.
"Mau aku buatkan kopi? Biar kamu sedikit rileks."
"Boleh." Panji menyandarkan tubuh, diusapnya pipi yang masih terasa perih akibat tamparan keras pakde Jarwo. Sakitnya bukan hanya di pipi, tapi juga sampai ke hati.
Panji tak menyangka kalau pria yang sudah ia anggap seperti ayah itu tega menamparnya, bahkan di depan Maharani.
Tak lama Kanaya pun keluar membawa secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, kesukaan Panji.
"Diminum, Mas."
"Makasih, ya. Kamu selalu bisa menyejukkan hatiku." Dengan isyarat tangan, Panji meminta Kanaya untuk duduk di sisinya.
"Maaf, gara-gara aku, Mas jadi kena masalah," sesal gadis itu seraya menjatuhkan tubuh di sofa.
"Bukan salah kamu, Nay. Cepat atau lambat, keluargaku memang harus tahu, kalau rumah tanggaku dengan Maharani tak bisa lagi di teruskan."
"Gimana pakde?" Gadis berambut lurus itu mengembuskan napas kasar, lalu melabuhkan kepala di bahu kokoh milik sang kekasih.
"Pakde marah sekali, dia bahkan menamparku dan mengusirku."
Kanaya langsung menegakkan tubuh mendengar penuturan sang kekasih. Ia pun memeriksa pipi kiri Panji yang sedikit memerah.
"Ya ampun, Mas! Apa ini sakit?" Gadis berpiyama biru pastel itu mengusap pipi yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu sambil meringis.
"Akan lebih sakit jika aku harus kehilanganmu, Nay." Panji meraih tangan Kanaya lalu mengecupnya lembut. Wajah gadis itu pun seketika merona.
"Tak apa jika aku harus kehilangan keluargaku, asal aku bisa terus bersamamu seperti ini," lanjut Panji seraya menyusuri wajah cantik Kanaya dengan punggung jari telunjuk.
"Mas ... tapi---"
"Sst ... tidak ada tapi, setelah urusan perceraianku beres, aku akan langsung melamarmu. Kita akan secepatnya menikah, hemm."
Kanaya menatap manik hitam pria di hadapannya, mencari kesungguhan dari kata-kata Panji di sana. Untuk sekian detik tatapan mereka pun saling mengunci, seolah menyelami perasaan masing-masing. Semakin lama kedua wajah itu pun makin mendekat.
Entah siapa yang memulai, kini wajah mereka tak lagi berjarak. Detik berikutnya bibir mereka pun sudah saling bertaut, hingga akhirnya ciuman hangat mereka pun semakin memanas.
Terlebih saat tangan Panji mulai bergerak menyusuri kulit mulus Kanaya, membuat satu erangan lolos dari bibir gadis itu.
Tirai panjang yang bergerak karena angin yang masuk melalui celah ventilasi seakan-akan mengiringi sebuah penyatuan terlarang dua insan tanpa ikatan itu. Pun sofa ruang tamu, menjadi saksi bisu sepasang kekasih yang terhempas dengan peluh membanjir di sekujur tubuh.
Kanaya terisak lirih, menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan. Nafsu telah membuatnya lupa diri, terbuai oleh sentuhan lembut Panji.
"Jangan menangis, Nay. Percayalah ... aku akan bertanggung jawab. Bukankah kita akan menikah?" Pria itu merengkuh bahu kekasihnya yang berguncang karena isak tangis. Mencoba memberikan kenyamanan pada gadis yang baru saja ia renggut kesuciannya.
Kanaya diam tanpa ingin menjawab kata-kata Panji. Menyesal pun tak lagi berguna. Semua telah terjadi. Ia sudah kehilangan sesuatu yang paling berharga.
"Nay ...." Panji mengangkat wajah Kanaya yang bersembunyi di ceruk lehernya.
Gadis itu menegakkan tubuh, menyeka jejak basah di pipi, lalu menatap wajah lelaki yang sangat dicintainya. Ada rasa ingin menjauh, tapi betapa ia takut kehilangan pria itu.
Kanaya sadar sepenuhnya, bahwa dirinya sudah salah melabuhkan cinta. Namun, untuk menghilangkan rasa itu pun tak mudah baginya. Apalagi, sekarang hal yang menjadi kehormatannya sebagai wanita telah ia serahkan kepada Panji.
"Harusnya kita bisa menahan diri, Mas. Harusnya kita tidak melewati batas," ucapnya lirih.
"Sst ... semua sudah terjadi, kita tidak perlu menyesalinya. Sekarang atau nanti, kita akan melakukannya juga 'kan? Kita akan menikah secepatnya." Kanaya pun mengangguk dan menghela napas panjang.
***
"Nduk, telepon romomu sekarang," titah pakde Jarwo.
"Ada apa to, Pakde?"
"Pakde mau ngomong sama romomu."
"Oh, nggih, Pakde. Sebentar saya ambil hape dulu."
Beberapa saat kemudian Maharani kembali ke hadapan lelaki paruh baya itu dengan ponsel di tangan. Selanjutnya ia pun menghubungi laki-laki cinta pertamanya. Suara berat sang ayah menyapa telinga begitu telepon tersambung.
"Wah, panjang umur, Nduk. Romo sama ibumu baru saja ngomongin kamu, kok malah kamu telepon," kata sang ayah di ujung sana setelah sebelumnya mengucap salam.
"Ngomongin apa to, Romo?"
"Itu lho ibumu, kangen sama kamu katanya."
Belum sempat Maharani menjawab kata-kata sang ayah, ponsel sudah berpindah ke tangan pakde Jarwo.
"Dik Ismoyo, ini aku, Pakde Jarwo."
"Lho ... Kangmas Jarwo ada di Jakarta, to?"
"Iyo iki, nengok anak karo mantu. Panjenengan bisa nyusul, ndak?"
"Wah ... iyo, Mas. Besok saya sama ibunya Maharani tak nyusul ke situ."
"Yo wes, tak tunggu, yo."
"Nggih, Kangmas. Nanti cari tiket kereta dulu." Setelah berbasa basi sebentar, telepon pun ditutup.
"Pakde, sidang perceraian dua hari lagi. Kenapa Pakde minta romo sama ibu ke sini?"
"Nduk, cah ayu ... perceraianmu sama Panji itu bukan masalah kecil, jadi wong tuwamu yo harus tahu. Ndak boleh dirahasiakan lagi. Kamu itu punya keluarga besar yang menyayangimu, kamu ndak sendirian, Nduk."
Maharani duduk dengan kepala tertunduk. Sesak memenuhi rongga dadanya. Sekuat apa ia berusaha tampak tegar menghadapi sidang perceraiannya, air mata tetap saja luruh.
Benar yang dikatakan pakde Jarwo. Dirinya butuh seseorang yang bisa memeluknya disaat terpuruk seperti ini. Dan orang itu adalah ibunya, wanita berhati lembut yang selalu bisa menjadi obat atas segala gundah.
"Saya hanya tidak ingin membuat romo sama ibu sedih, Pakde."
"Mereka akan lebih sedih saat tahu kalau putri semata wayangnya menahan semua penderitaan ini sendiri."
Maharani menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Bukan tentang perceraian yang membuatnya begitu sakit, tapi hati yang tak bisa membenci, meski sudah disakiti begitu rupa. Rasa cinta itu tak juga luntur terhadap Panji.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
RomanceSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...