Bab 9. Menjemput Romo dan Ibu

852 69 8
                                    


Mencoba menata hati yang kini tak lagi berbentuk, hancur berserak karena fitnah dan pengkhianatan suaminya. Maharani duduk memeluk sepi. Ia tersedu, menatap sisi ranjang yang kini kosong ditinggal pemiliknya.

Ada ngilu yang begitu menusuk saat mengingat bagaimana Panji terlihat begitu memuja Kanaya. Wanita itu mencoba mengevaluasi diri, apa yang kurang pada dirinya, hingga sang suami berpaling hati.

Segalanya telah ia serahkan kepada Panji, pun pengabdian sebagai seorang istri ia lakukan dengan setulus hati. Apakah tidak adanya anak yang membuat ikatan pernikahan ini menjadi lemah, atau memang cinta sang suami yang setipis kulit ari?

Maharani membekap wajah, menumpahkan segala tangis sebagai gambaran luka di hatinya.

"Kenapa, Mas? Kenapa kau lakukan ini padaku? Apa salahku?" gumamnya disela isak tangis yang semakin pilu.

Ia pun terduduk di bibir ranjang, lalu rubuh dengan posisi tubuh meringkuk. Tangannya meremas bantal sebagai pelampiasan lara yang tiada tara. Maharani terus tersedu dan merintih sambil mengucap satu nama, Panji.

Lelah meratapi rumah tangganya yang kandas, wanita berhati lembut itu pun akhirnya terlelap meski sesekali masih terdengar sedu sedan dari bibirnya.

Jarum jam menunjuk di angka tiga lewat lima belas menit dini hari. Maharani menggeliat pelan, lalu mengerjap menyesuaikan pandangan dan menoleh ke arah jam dinding.
Bergegas ia beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan salat tahajud.

Pada hamparan sajadah itu ia melangitkan doa. Memohon kepada Sang Maha Pengabul Doa, ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi cobaan rumah tangga, agar senantiasa diberikan kelapangan hati untuk menjalani setiap ketentuan yang sudah digariskan.

"Allahu Rabbi, jika memang jodoh hamba dengan Mas Panji hanya sampai di sini, ikhlaskan hamba ya Allah. Hilangkanlah segala rasa sakit di hati ini. Semoga akan ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan sebelumnya. Hamba tak ingin terus menerus tenggelam dalam lautan kesedihan."

Begitu banyak doa dan pinta yang Maharani langitkan. Berharap malaikat membawanya kepada Rabb Sang Pemilik Arsy.

Usai berdoa panjang, Maharani mengambil mushaf kemudian dengan suara lirih ia pun mulai membaca kalam-kalam Allah itu sambil menunggu waktu subuh tiba.

***

"Untuk apa menangisi laki-laki seperti Panji, Nduk. Mbok wis, ndak usah terlalu dipikir. Ikhlaskan saja dia bersama wanita ndak tahu malu itu. Kamu itu masih muda, cantik dan berpendidikan. Jangan sia-siakan air matamu untuk laki-laki macam Panji itu. Insyaa Allah kamu akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari si Panji," ucap Pakde Jarwo panjang lebar saat melihat sepasang mata menantunya itu sembab akibat terlalu banyak menangis semalaman.

Maharani tersenyum tipis menanggapi perkataan sang mertua sambil menyiapkan sarapan di meja makan.

Selembar roti gandum, alpukat dan yoghurt menjadi pilihan menu sarapannya pagi ini. Sementara untuk Pakde Jarwo, ada bihun goreng dan kroket kentang yang dimasak oleh Mbok Wiji.

"Kamu ndak usah khawatir, kalau perlu nanti biar Pakde yang carikan jodoh buat kamu, Nduk," lanjutnya sambil menyendok bihun goreng kesukaannya.

"Pakde ini ada-ada saja, belum juga jadi janda sudah ngomongin jodoh," kekeh Maharani sambil mengaduk  alpukat yang sudah disiram yoghurt di hadapannya.

"Lha iyo to, biar kamu ndak kelamaan jadi janda."

"Sudah ... di dahar dulu makanannya, Pakde. Nanti keselek," ujarnya sambil menyuap sarapannya.

Maharani merasa lebih tenang usai mengadukan semua masalah hidupnya pada Sang Pemilik Hidup. Ia pun telah siap untuk menjalani sidang perceraiannya esok hari.

"Apa rencanamu setelah ini, Nduk?" tanya Pakde usai sarapan.

"Belum ada rencana apa pun, Pakde."

"Lalu ... apa persiapanmu untuk sidang besok?"

Maharani menghela napas, menatap kosong ke arah kolam ikan dengan pancuran kecil yang ada di teras samping.

"Saya harus apa, Pakde?" tanyanya lirih tanpa menoleh.

"Harusnya kamu sewa pengacara, Nduk. Biar kamu tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menghadapi Panji di sidang besok."

"Nggak, Pakde. Biar saya hadapi sendiri saja."

"Apa kejadian di kamar itu yang dia jadikan alasan untuk menggugatmu?"

Wanita berkulit kuning langsat itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan lelaki paruh baya yang masih tampak gagah tersebut.

"Jadikan Mbok Wiji dan Rosidi sebagai saksimu, Nduk, bahwa tuduhan Panji itu ndak bener."

"Nggih, Pakde."

Maharani memang tidak berniat menggunakan pengacara untuk menghadapi gugatan sang suami, meski ia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya mengikuti alur saja, dan berharap semua masalahnya cepat selesai.

***

"Mbok, temenin saya ke supermarket, ya. Sekalian nanti jemput romo sama ibu ke stasiun."

"Sekarang, Den Ayu?"

"Iya, biar gak telat. Takut macet."

"Oh ... nggih, Den Ayu. Mbok siap-siap dulu sebentar."

"Saya tunggu di mobil ya, Mbok."

"Nggih, Den Ayu."

Menggunakan kulot warna broken white dan kaus biru elektrik, Maharani terlihat lebih semampai. Rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai. Cantik natural dengan make up tipis menyapu wajah.

"Pakde, saya mau ke supermarket sekalian jemput romo sama ibu. Pakde mau dibelikan apa?" tanyanya saat melewati Pakde Jarwo yang tengah menikmati angin metropolitan di halaman depan.

"Ndak usah, Pakde ndak pengin apa-apa."

"Ya sudah, saya pamit dulu, Pakde." Setelah mencium punggung tangan sang mertua, wanita itu pun melangkah menuju mobil yang sudah disiapkan Rosidi.

"Den Ayu nyetir sendiri?"

"Iya, Mas Rosidi. Mau ajak si Mbok. Sekalian nanti mau jemput romo sama ibu. Kalau diantar Mas Rosidi, nanti sempit," jawabnya ramah.

"Oh ... nggih, Den Ayu." Pemuda sederhana itu pun membukakan pintu mobil untuk sang majikan dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Makasih, Mas," ucapnya seraya memasuki mobil. Maharani memang tak pernah menganggap Mbok Wiji dan Rosidi sebagai pekerja di rumahnya. Ia memperlakukan keduanya layaknya keluarga.

Maharani segera menjalankan kendaraan saat Mbok Wiji sudah memasuki mobil dan duduk di sebelahnya. Menembus teriknya matahari yang menaungi ibu kota.

Setelah membeli beberapa keperluan rumah tangga di supermarket, kedua wanita berbeda kasta itu pun bergegas menuju stasiun Gambir yang jaraknya sekitar tiga puluh menit jika lewat tol.

Sampai di stasiun, Maharani memilih untuk menjemput melalui pintu utara. Ia pun kemudian berjalan sambil mencoba menghubungi orang tuanya.

"Maharani!"

Baru saja kakinya hendak melangkah ke arah sekuriti saat sebuah suara memanggil namanya. Ia pun menoleh. Tampak seorang perempuan paruh baya memakai kebaya dan kain batik melambai ke arahnya.

"Itu Ndoro Putri, Den Ayu," ujar Mbok Wiji sambil menunjuk ke arah sepasang suami istri yang sedang menuruni tangga.

"Ibu!" Setengah berlari Maharani pun menghampiri kedua orang tua yang sangat  diindukannya. Ia pun langsung menghambur ke dalam pelukan sang ibu, lalu berpindah memeluk sang ayah.

***

Bersambung

Dua bab terakhir yang aku post di sini yaa, 🤭🤭














𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang