"Apa? Cerai?!" Ratih--ibu Maharani--setengah berteriak karena terkejut. Selama lima tahun ini ia bahkan tidak pernah mendengar rumah tangga anaknya bermasalah.
Sementara itu Maharani tertunduk menyembunyikan genangan air yang sudah mengambang di pelupuk mata. Ia tak sanggup melihat orang tuanya ikut merasakan kepedihan atas perceraiannya dengan Panji.
"Ada masalah apa sebenarnya, Rani? Kenapa kamu ndak pernah cerita sama Romo sama Ibu?" Ismoyo, pria berusia 57 tahun itu ikut menimpali.
Selama ini baik Ratih atau Ismoyo tidak pernah mendengar keluhan apa pun dari putrinya. Pun mereka selalu terlihat mesra saat berkunjung ke Jogja. Memang setahun belakangan, Panji dan Maharani jarang pulang ke kota Gudeg karena alasan banyaknya pekerjaan di kantor Panji.
"Nduk ... Cah Ayu, begitu besarkah masalah kalian, hingga harus memutuskan bercerai?" tanya sang ibu dengan lembut
Maharani masih bergeming. Rasanya tak sanggup untuk mengucap kata. Bibirnya terkunci, meski sebenarnya ia ingin mengadukan segala luka yang sudah digoreskan oleh Panji.
"Nduk ...."
"Dik Is ... Dik Ratih, maafkan aku, sudah gagal mendidik Panji. Semua ini salah Panji. Dia sudah berani bermain api dengan sekretarisnya," jelas Pakde Jarwo perlahan.
"Panji selingkuh?" tanya Ratih dengan setengah berteriak.
Sementara Ismoyo tampak mengatupkan rahang, dan mengepalkan sebelah tangan. Wajahnya memerah karena emosi.
Melihat itu Maharani pun berusaha menenangkan romonya dengan mengusap pelan tangan lelaki paruh baya itu.
"Maafkan saya, Romo. Mungkin saya tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Panji. Jadi---"
"Ketidak sempurnaan pasangan bukan alasan untuk bisa selingkuh dan berkhianat, Nduk," potong Ratih geram. Wanita paruh baya itu memahami bagaimana perasaan putrinya.
"Lalu apa harus berpisah sebagai jalan keluar? Apa kita ndak bisa membuat Panji menyadari kesalahannya dan kembali pada Maharani?" tanya Ismoyo.
"Dik Is, besok sudah memasuki sidang pertama perceraian mereka."
Kedua orang tua Maharani tampak terkejut. Mereka pun saling pandang, lalu diam menatap putri semata wayangnya yang tertunduk.
***
Maharani melangkah menuju ruang persidangan dengan diiringi Pakde Jarwo dan kedua orang tuanya. Dari pintu masuk, tampak Panji sudah datang dan duduk dengan pengacaranya.
Keduanya menoleh saat rombongan Maharani datang. Panji segera bangkit dan berjalan menghampiri mereka untuk menyapa Pakde Jarwo dan kedua mertuanya.
"Pakde." Tangan pria itu terhulur untuk menyalami dan takzim seperti biasa. Namun lelaki itu bergeming dan menatap tajam sang keponakan.
Panji pun salah tingkah. Mencoba mengalihkan perhatian kepada orang tua Maharani.
"Romo dan Ibu kapan datang?" tanyanya dengan sopan.
"Ndak usah basa basi, ndak butuh!" sentak Ratih dengan emosi.
"Kenapa kamu tega mengkhianati putriku, Panji? Kalau dia ada kesalahan atau kekurangan, kenapa tak langsung kamu katakan padanya. Agar dia bisa memperbaiki diri sebagai seorang istri?" geram Ismoyo.
"Apa kurangnya anakku, hahh!" tanya Ratih seraya mendorong bahu menantunya.
"Ibu ... sudah, sudah. Malu dilihat orang. Kita duduk saja," ajak Maharani mencoba melerai ketegangan diantara mereka.
Wanita berparas ayu itu melirik calon mantan suaminya sekilas. Ah, meski begitu dalam rasa sakit yang sudah dia torehkan, tetap saja wajah tegas itu begitu memesona di matanya.
Maharani pun segera membawa ketiga orang tua itu untuk duduk. Sejenak ia kembali menoleh ke arah Panji yang juga sudah duduk tak jauh darinya. Debar jantung pun sontak menjadi tak berirama ketika tatap matanya beradu dengan sepasang manik hitam nan tajam milik Panji.
Sidang pun dimulai. Agenda pada persidangan pertama adalah pemeriksaan gugatan perceraian.
Ada banyak hal yang ditanyakan majelis hakim kepada pihak penggugat. Mulai dari latar belakang gugatan cerai, proses perkawinan, alasan-alasan mengapa mengajukan cerai, hingga kesiapan bukti-bukti yang akan diajukan
Hakim pun menawarkan kedua pihak untuk mediasi. Namun, ditolak secara tegas oleh Panji. Ia ingin proses perceraian itu cepat selesai, hingga akhirnya hakim memutuskan jika sidang akan dilanjutkan minggu depan.
Maharani melangkah diikuti kedua orang tuanya juga Pakde Jarwo keluar dari ruang sidang.
"Romo, Pakde sama Ibu ke mobil dulu, nggih. Saya ke toliet sebentar," pamit Maharani. Ia pun bergegas ke toilet setelah ketiga orang yang selalu ada untuknya itu berlalu meninggalkannya. Ketegangan menghadapi sidang membuatnya ingin buang air kecil.
Usai membuang hajat, ia pun segera melangkah ke tempat parkir. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Panji masih duduk di depan ruang sidang bersama pengacaranya. Ia pun berbalik hendak mencari jalan lain agar tak perlu bertemu dengan suaminya.
"Maharani!"
Panji segera menghampiri wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu. Maharani memutar tubuh, menghadap lelaki yang kini berdiri dengan angkuh didepannya.
"Aku harap kamu tidak mempersulit proses perceraian kita. Aku tidak mau membuang waktu karena aku akan segera melamar dan menikahi Kanaya."
Nyeri, itu yang Maharani rasakan. Meski ia sudah berusaha untuk kuat dan ikhlas, tetap saja sebongkah daging di dalam sana serasa ditusuk ribuan pisau. Meski ia sadar bahwa cepat atau lambat, perpisahan itu pasti akan terjadi
"Mas gak usah khawatir, aku tidak akan mempersulit proses perceraian ini."
"Bagus, itu yang kumau!"
***
Next
Bab selanjutnya bisa dibaca di KBM App gaess, cuss ke sana yaa...🙏🙏
Yang mau beli novelnya juga bisa yaa. Silakan hubungi no WA 08562637452🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊
RomanceSetelah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun lebih, sikap Panji Wicaksono terhadap sang istri--Maharani Darapuspita--mulai berubah. Entah karena mulai jenuh dengan pernikahan yang belum juga dikaruniai anak atau memang hati lelaki itu...