Bab 16. Asa yang Patah

433 27 0
                                    

"Jadi Aden teh bosnya Eneng?" tanya Nurmalia dengan mata berbinar. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat setelah Panji memperkenalkan dirinya.

"Iya, Ambu," jawab Panji sambil mengulas senyum ramah.

"Eleuh eleuh ... meni kasep pisan si Aden, mah." Wanita paruh baya itu tak lagi bersikap judes kepada Panji. Bahkan sikap ramahnya tampak berlebihan dan dibuat-buat. Tatapan mata Nurmalia tampak begitu memuja lelaki dari Jakarta itu.

Panji pun senang karena itu artinya jalan untuk meminta restu kedua orang tua Kanaya akan lebih mudah.

"Jadi, Den Panji ke sini dalam rangka apa?" tanya Suparna.

"Sebenarnya, saya datang ke sini untuk---"

"Abah ... sudah azan. Abah mau ke masjid, 'kan?" potong Kanaya. Rasanya dia belum siap jika Panji benar-benar ingin melamarnya meski  sebenarnya ia pun menginginkannya.

"Astaghfirullah, Abah sampai lupa kalau mau ke masjid. Kalau begitu Abah teh ke masjid dulu ya. Aden mau ikut?"

"Eh ... i--iya, saya ikut, Abah."

"Ya sudah, kita lanjutin ngobrolnya nanti setelah dari masjid saja."

Setelah mengucap salam kedua lelaki itu pun bergegas berangkat ke masjid yang tak jauh dari rumah Kanaya.

"Neng, buruan atuh salat. Habis itu kita siapin makan malam. Ambu mau masak istimewa buat bos kasep."

"Ish, Ambu mah genit, ih."

Anak dan ibu itu pun tergelak bersama sebelum akhirnya mengambil air wudhu dan salat berjamaah.

***

Makan malam istimewa telah terhidang di meja makan. Ada pecak ikan mujaer, gulai daun singkong serta tak ketinggalan sambal dan lalapan. Sajian khas orang Sunda.

Akan tetapi, makanan yang biasanya menggugah selera bagi Kanaya, kali ini terasa berbeda. Perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

Usai menata hidangan ia pun memilih duduk di depan televisi seraya menunggu abah dan sang kekasih pulang dari masjid.

"Assalamualaikum." Terdengar suara Suparna mengucap salam.

"Waalaikumsalam," jawab Nurmalia.

"Wah, aroma masakan Ambu bikin laper ini," ujar Suparna seraya melangkah masuk.

"Ya sudah atuh, kita langsung saja ke meja makan," ajak wanita bertubuh sintal itu seraya beranjak menuju ruang makan.

"Mangga, Den Panji," ajak Suparna.

"Wah, saya jadi merepotkan Ambu."

"Ya nggak atuh, ini mah nggak repot. Ambu pan biasa masak," kilah Nurmalia.

Dengan canggung, Panji mengikuti langkah Suparna menuju meja makan. Dilihatnya Kanaya tengah duduk di depan televisi tak jauh dari meja makan.

"Neng ... hayuk, temenin Pak Bos makan."

"Muhun, Ambu." Setengah malas Kanaya pun beranjak. Panji melirik sekilas ke arah kekasihnya yang terlihat berbeda.

Mereka pun menikmati makan malam dengan diselingi obrolan ringan. Berkali-kali Panji mencuri pandang ke arah Kanaya yang lebih banyak diam dan menunduk seolah tengah menikmati makanannya.

Makan malam pun selesai, tapi mereka masih belum beranjak. Obrolan berlanjut di meja makan. Sikap ramah kedua orang tua Kanaya membuat Panji makin percaya diri untuk mengungkapkan tujuannya datang ke Sukabumi.

"Abah, Ambu ... saya mengucapkan banyak terima kasih atas sambutan Abah sama Ambu yang luar biasa atas kedatangan saya." Panji mulai membuka percakapan yang lebih serius.

𝐓𝐀𝐋𝐀𝐊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang