CHAPTER 16 : ALLEGATIONS

778 137 6
                                    

Huek!









Hoon-Ji kembali menyalakan kran, dan membasuh mulutnya. Lelaki itu bernafas menggunakan bibirnya yang masih menjatuhkan air liur. Kedua tangannya mencengkeram kuat sisi westafel dengan pandangan menatap cermin.

Kemarin malam, ketika dia baru saja akan membaringkan punggung ke ranjang, notifikasi handphonenya berdering membuat dia mengambil ponsel di atas nakas.

Ayahnya memberikan sebuah video. Dia mengunduhnya kemudian menonton video rekaman CCTV kafetaria kemarin dia dan temannya.

Benar adanya jika saat itu, dia yang membabi buta tanpa alasan. Dan bukan Kim Doyoung korbannya, tapi temannya.

Dia berdesis, melempar ponselnya kemudian kembali duduk dan menapakan kakinya ke lantai. Namun belum dia berdiri, sebuah rekaman abu-abu dengan resolusi 144p itu menggambarkan setiap bait adegan yang membuatnya mengepalkan tangan.

Dia tidak terima, dia marah, dia dendam.

Namun seseorang membantunya, mengulurkan tangan ketika dia sedih. Dia tidak ingin menerima ataupun mengingat orang yang mengulurkan tangan ke arahnya, maka dari itu dia melupakannya.

Hoon-Ji membuang nafas berat dengan mata terpejam juga kepala yang semakin merunduk. "Mungkin.. kalau tidak ada dia, aku pasti mati saat itu." Hoon-Ji terkekeh hambar tanpa perasaan.

Kedua tangannya menampung air kran kemudian mengusap wajahnya. Dia menarik nafas dalam kemudian membuang nafas, "Mungkin minta maaf, bisa membuatku tenang." Gumamnya kemudian mengangkat wajah, lalu terpaku pada sosok di belakangnya.

"Bagus kau kesini." Hoon-Ji tersenyum kemudian berbalik badan, namun orang di belakangnya langsung menusuk sisi pinggangnya sampai menyentuh tulang pinggang. Hoon-Ji berdesis, "Kau, sialan."

Tangan besar Hoon-Ji mengenggam bilah pisau kemudian menariknya mundur pelan-pelan dengan tatapan menatap tajam mata cokelat di depannya. Darah menetes jatuh ke lantai, kemudian pisau yang terlempar, penuh darah Hoon-Ji di bagian bilah.

Hoon-Ji langsung menarik kerah seragam lelaki di depannya dengan kencang kemudian melemparnya ke tembok sampai terbentur kuat. Hoon-Ji bergerak, menginjak tulang tempurung lutut, dan menggesekannya kuat hingga menimbulkan reaksi ngilu di bagian kaki.

Lelaki itu melirik pisau di lantai, dia dengan cepat mengambilnya kemudian menusuk paha Hoon-Ji dalam sampai Hoon-Ji mundur. Lelaki itu dengan cepat berdiri, dan menusuk perut Hoon-Ji membuat lelaki Park itu spontan batuk darah, menciprati seragam sekolah lelaki di depannya.

"K-kau.. benar-benar s-s-sialan.."

Brukh!

tap! tap! tap!

Bin-Yoo mematung di depan pintu toilet. Matanya memandang datar dan kosong ke arah Hoon-Ji yang terbaring di lantai dengan simbahan darah. Kemudian tatapan terpaku pada Doyoung, dengan dua tangan terkepal.

"Pembunuh."

Doyoung berdiri kemudian menggeleng dengan tangan gemetar. "B-bukan aku.."

"Masih ngelak walaupun ada bukti?" Bin-Yoo bergerak mendekat, mencengkeram kuat tangan Doyoung yang memegang pisau bekas darah. Lelaki Kim itu menggeleng kuat, memejamkan mata saat Bin-Yoo seperti akan meremukkan tulangnya.

Lelaki Ha itu melepaskan cekatannya kemudian berjongkok dan memeriksa keadaan pernafasan Hoon-Ji. Setelah itu, Bin-Yoo mengangkat punggung temannya lalu tangannya dia sampirkan ke bahunya kemudian berdiri, sambil memapah Hoon-Ji.

"Laporan pembunuhan bakal langsung ku berikan pada Ayah Hoon-Ji." Desis Bin-Yoo pergi meninggalkan Doyoung di dalam kamar mandi sendiri.

Lelaki Kim itu mematung diam sebelum tangannya menjatuhkan pisau ke lantai. Dia menggeleng kuat, matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya tumpah saat dia menutup mata.

"B-bukan aku.. bukan.." dia menggelengkan kepala, dengan dua tangan mencengkeram rambutnya sendiri. "Bukan.. bukan aku.."

Kakinya terus mundur hingga punggungnya terbentur di dalam kamar mandi. Doyoung menjerit kuat dengan mata terpejam. Wajahnya memerah habis, dengan urat jelas nyata di lehernya.

"Bukan aku.." tangisnya jatuh bersandar ke tembok dengan wajah frustasi dan putus asa. Bahunya bergetar sesegukan, juga tangannya yang tergeletak lemas. "Bukan aku.."

Sementara Haru yang berdiri di luar toilet, terkekeh geli. Dia melangkah masuk ke dalam toilet, membuat pandangan sayu Doyoung menatap ke arahnya.

"B-bukan aku.."

"Ya, kau yang membunuhnya."

Kepala Doyoung menggeleng, "Bukan.."

Haru menyunggingkan senyum, semakin dekat sampai kepalanya tepat di depan wajah Doyoung. "Kau. Membunuhnya." Tangannya bergerak, mengusap pipi Doyoung dengan jari panjangnya sampai menghasilkan lecetan tipis. "Kau pembunuh Kim Doyoung."

Lelaki Kim itu memejamkan mata sambil menggeleng kuat. "Buk-kan aku.." air matanya jatuh, "Bukan aku yang membunuhnya.."

Haru tertawa, membuat tubuh Doyoung bergetar takut. Hingga tatapan lelaki itu menajam, membawa ilusi jelas di mata Doyoung. "Kau akan masuk neraka karena menjadi seorang pembunuh, Kim Doyoung. Kau akan menderita setelah mati, kau akan menderita!!"

Tangisan Doyoung semakin kuat. Dia takut, merasakan api membakar seluruh tubuhnya. Dia takut, merasakan siksaan Tuhan. Dia takut, kematiannya juga akan menjadi penderitaan.

"Aku mohon percaya.." tangan gemetar penuh darah itu memegang tangan Haru yang berdiri di depannya. "Bukan aku yang membunuhnya, bukan aku.."

"Kau membunuhnya Kim Doyoung." Balas Haru tersenyum manis, dengan tangannya yang semula di cengkeram Doyoung, berubah menjadi dia yang mencengkeram. "Kau akan semakin di benci, di hina, di rundung, kemudian mati kau akan di siksa, di ceburkan, lalu seperti itu seterusnya." Kekeh Haru tersenyum lebar, mampu membuat wajah Doyoung memucat dengan tubuh bergetar hebat.

"Ak-aku bukan pembunuh, aku t-tidak akan masuk neraka.." gumam Doyoung menenangkan diri dengan tatapan kosong dan ketakutan. Bibirnya terus bergetar, dengan tangan yang mengepal. Dia terus mengucapkan hal yang sama, seperti seseorang yang kehilangan akal.

Melihatnya membuat Haru merasa puas. Dia menghilangkan diri begitu kepala sekolah masuk ke dalam toilet, bersama para murid. Siswa maupun siswi langsung mencerca, memaki, bahkan melemparkan sepatu mereka. Tatapan benci, jijik, dan marah membuat Doyoung mundur meski dia sudah berada di ujung.

"B-bukan Doyoung.. percaya sama Doyoung, b-b-bukan Doyoung.." kepalanya menggeleng pelan, dengan tatapan ketakutan. "Bukan Doyoung yang bunuh.. Doyoung cuma mau b-bantu H-hoon-ji.."

Tapi itu tidak mengubah tatapan mereka yang masih menatapnya marah, benci, tidak suka, dan jijik. Serta bibir mereka yang masih mengeluarkan perkataan hina, menjatuhkan, dan menusuk, membuat Doyoung merasa takut sendirian di tengah orang-orang yang membencinya.

Haru menyandarkan punggung di tembok depan toilet. Kedua tangannya masuk ke dalam saku, dengan mata terpejam, mendengarkan berbagai perkataan kejam mereka. Hal itu membuat bibirnya mengukir seringai-an tipis, "Sebentar lagi, mentalnya akan rusak lalu aku yang akan melanjutkannya."

"Hm." Hyun-Su membalas, tatapannya menghadap lurus. Kosong dan datar. "Dia pantas mendapatkannya."

NIGHTMARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang