CHAPTER 23 : CANTEEN

702 118 21
                                    

"Kim Doyoung!"

Lelaki yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, kembali mundur dan menoleh ke samping, melihat perempuan berlari ke arahnya.

Ying Cuan, berhenti di depan Doyoung dengan nafas tersengal. "Kau menghilang kemarin."

Doyoung tersenyum kaku, "Maaf. Tapi kemarin aku pulang tiba-tiba.." jawabnya pelan, yang langsung Cuan terima dengan anggukan mengerti.

Perempuan itu merogoh sakunya, lalu menaruh sebuah surat di tangan Doyoung secara tertutup. "Baca ini diam-diam. Percayalah, ini akan membantumu." Ucapnya berbisik, lalu langsung pergi.

Doyoung merunduk, menatap tangannya yang terkepal― menggenggam kertas. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu memilih masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Diam dan tenang.

Jeong-Han dan Hwan-Ju masuk. Tatapan mereka menatap sinis Kim Doyoung yang merundukan kepala, lalu memilih duduk di bangku masing-masing. Kepala keduanya menoleh ke belakang― tepatnya di kursi ujung kelas. "Dia tidak masuk?"

Hwan-Ju mengindik bahu, "Bagus jika begitu. Dia selalu menganggu kita." Decih lelaki itu malas.

Jeong-Han mengangguk setuju. Matanya mencuri perhatian ke arah Doyoung, kemudian tangannya langsung memegang bahu kanan Doyoung membuat lelaki itu membeku dengan Saliva di telan kasar.

Hwan-Ju yang sibuk dengan hapenya, melirik Jeong-Han yang sibuk memperhatikan tangan Doyoung. Lelaki So itu memiliki acuh dan abai, kembali lagi pada ponselnya.

"Apa yang kau pegang?" Tanya Jeong-Han, mencengkeram kuat bahu Doyoung. Lelaki Kim itu menggeleng, membuat Jeong-Han mengeram kesal. "Beri tau!"

Tangan Jeong-Han mencekik kuat leher Doyoung hingga lelaki itu bernafas sesak, spontan melepaskan genggamannya. Jeong-Han mengernyitkan dahi, kemudian dengan cepat mengambil kertasnya.

"Jangan." Doyoung menggeleng, menggenggam kencang tangan Jeong-Han yang memegang kertasnya.

"Lepas, atau ku beri kau makan siang anjing hari ini?" Ancam Jeong-Han membuat tangan Doyoung gemetar. Tapi lelaki Kim itu tetap kekeuh memegang tangan Jeong-Han sehingga lelaki Woo itu dengan cepat menonjok pipinya kuat.

"Brengsek!"

Hwan-Ju langsung menahan kedua bahu Jeong-Han. "Tenang. Hoon-Ji udah peringatkan kau untuk gak buat Kim Doyoung pingsan sebelum jam istirahat." Bisik Hwan-Ju membuat Jeong-Han mendecih.

Setelah duduk kembali, lelaki Woo itu membuka kertasnya. Membaca sederet tulisan tangan yang dia kenal, membuatnya mencengkeram kuat kertas sampai teremas kuat lalu melemparnya ke kepala Doyoung dengan desisan di bibirnya.

"Lihat saja nanti."

***

Bugh!

"Makan!" Teriak Jeong-Han melempar nampan makan siang Doyoung yang sudah di campuri cairan obat sampai membasahi nasi putih di nampan.

Punggungnya sakit di tabrakan ke dinding. Lelaki yang duduk terkulai lemas itu, mendongakkan kepala, menatap Jeong-Han sebelum akhirnya meringis sakit. "Aku.. takut.."

Kyun-Ju tertawa di tempat duduknya, menatap humor Kim Doyoung. "Siapa perduli? Tidak ada!" Kyun-Ju tertawa kencang, kemudian berdiri masih dengan tatapan humornya. Tangannya menarik rambut lelaki Kim itu. "Jangan membantah, dan makan saja." Bisik-nya tajam.

Setelahnya Kyun-Ju kembali ke tempat duduknya. Menatap datar Kim Doyoung membuat lelaki itu segera menarik nampannya, dan mencelupkan tangannya ke kuah nasi, menggenggam nasi itu dan memasukan nasi penuh cairan obat itu ke dalam mulutnya sampai tetesan cairan mengalir.

Doyoung memejamkan mata, menelan nasi dalam mulutnya. Terus dia makan sembari telinganya mendengar tawaan puas siswa-siswi di dalam kantin. Namun ketika merasakan tenggorokannya panas, Doyoung berhenti memakannya dan menggunakan tangan kanannya itu untuk memegang dadanya sendiri sehingga seragamnya mencetak noda kuning.

"Khh.. sakk-khit.."

Hoon-Ji menatap Kim Doyoung datar. Lelaki itu berdiri, membuat tawaan di dalam kantin menjadi hening. Senior Park itu berjalan ke arah Kim Doyoung, dan berjongkok. Tangannya terulur, menarik tangan Doyoung lepas dari tenggorokannya, di gantikan dengan tangannya sendiri yang mencekik tenggorokan Doyoung.

Lelaki Kim itu memejamkan mata erat, sekuat mungkin menahan sakit. Air matanya menetes, ketika melihat Hoon-Ji mengeluarkan botol kecil di dalam saku celana. Kepala Doyoung menggeleng pelan, berbeda dengan kekehan kecil murid di dalam kantin.

― reaksi yang menunggu Kim Doyoung meminum cairan di tangan Hoon-Ji.

"Buka mulut." Titah Hoon-Ji datar. Doyoung menggeleng, menatap memohon ke arah Hoon-Ji. Mendapat penolakan, membuat lelaki Park itu mengapit kuat kedua pipi Doyoung sehingga mulut lelaki Kim itu terbuka. Hoon-Ji langsung memasukan seluruh isi cairan dalam botol, membuat Doyoung batuk.

Berhasil membuat Doyoung meminum cairannya, Hoon-Ji langsung melepaskan apitan-nya dan berdiri kemudian kembali ke tempat duduknya. Menatap datar lelaki Kim itu, menunggu reaksi obat bekerja.

"A.." Nafas Doyoung tercekat, suaranya tertahan di tenggorokannya yang panas. Wajahnya memerah, matanya berair. Kedua tangannya mencengkram kuat lehernya, seperti seseorang yang kehilangan pernafasannya. "Hg.. t-tho-tholong.."

Hyun-Su terkekeh sinis, "Jilat sepatu Hoon-Ji dahulu. Baru ku berikan obat penghilang rasa sakitnya."

Doyoung diam sebentar. Matanya terpejam erat, merasakan sakit luar biasa di tenggorokannya. Kemudian lelaki itu menyeret kakinya mendekat hingga berada di depan Hoon-Ji yang menatapnya dingin. Kedua tangan Doyoung memegang kaki seniornya kemudian menjilat sepatu lelaki Park itu membuat tawaan anak murid pecah.

"Dasar kaum bawah. Kau pantas berada di bawah kaki Hoon-Ji Sunbae."

"Hahahaha, dasar budak! Sial, jika aku menjadi kau, aku akan benar-benar merasa malu dan rendah!"

"Hoon-Ji sunbae mengajarkanmu Kim Doyoung, jika kau hanya kaum bawah yang pantas mendapatkan hinaan dan derita dari kaum atas!"

"You're so pathetic, damn."

Isakan kecil keluar dari bibir Doyoung yang masih menempel di sepatu Hoon-Ji. Lelaki itu memejamkan matanya, dengan Saliva yang terus di telan juga. Kedua tangan gemetar, hatinya sakit.

Hoon-Ji terkekeh sinis. Dengan kejam, kaki sebelahnya, menginjak kepala belakang Doyoung membuat tawaan di dalam kantin semakin puas. Doyoung hanya diam, memejamkan mata, membiarkan seniornya menginjak seluruh harga dirinya.

"Kau dengar makian mereka? Kau dengar hinaan mereka? Kau dengar cacian mereka? Kau dengar ucapan mereka?" Hyun-Su terkekeh, "Itu sudah membuktikan jika kau memang tidak di cintai oleh siapapun. Kau makhluk hina, yang hadir di bumi sebagai seorang pecundang tanpa ada satu orang pun yang berada di sisimu."

Kedua tangan Doyoung terkepal lemah, nafasnya semakin tersengal. Tenggorokannya melepuh, tidak bisa lagi mengeluarkan suara.

Hyun-Su yang berjongkok di sebelah Doyoung, menepuk pipi lelaki itu yang hampir memejamkan matanya. "Ketidakpantasan kau berada di dunia adalah lahir tanpa seorang Ibu dan merupakan anak dari seorang pembunuh brengsek seperti Ayahmu."

"Jangan berbicara tentang kedua orang tuaku." Doyoung berdesis, menatap Hyun-Su tajam, membuat lelaki Choi itu mengukir seringai kecil.

"Ayah, Ibu kemudian anak," Hyun-Su tersenyum sinis, "Keluarga yang menyedihkan dan tidak pantas."

Bugh!

NIGHTMARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang