19

1.2K 116 2
                                    

APA KABAR?!

makin kesini makin ngerasa feel cerita ini berkurang. sekarang juga makin sibuk sama sekolah karena udah ptm uyee....

kalo boleh tanya, menurut kalian endnya gimana?













Jeno menatap Eric dan tangan sang anak bergantian, tentu saja dirinya bingung.

Pergi atau tetap bersama Jeffrey. Namun, jika ia bersama Jeffrey- hah! Jeno jujur tidak percaya Jeffrey akan melenyapkan anaknya, dia tau betul sesayang apa Jeffrey pada anak ini.

Eric juga tidak mungkin berbohong kepadanya bukan? dirinya ingin bersama Jeffrey.

"Ma?."

Jeno tersentak, lalu mengengam tangan Eric."Gua mau disini, nunggu Jeffrey," Jeno dapat melihat raut wajah Eric yang terlihat tidak senang akan jawabanya.

"Mama harus ikut-

"Jeffrey kga bakal bunuh anaknya sendiri."

Kenapa, mamanya terlalu percaya pada sang Daddy?!.

Dari awal hubungan mereka berdua sudah didasari kebohongan, dari kisah Jane. Sudah tak terhitung berapa banyak kebohongan yang dilakukan oleh Jeffrey.

Sebenarnya kenapa?

"Eric, lu percaya gua kan?."

Eric mengangguk.

"Gua bakal nerusin apa yang dilakuin Jane, gua cuma butuh lu sama Mingyu...bisa?."

Maaf gua ingkar, Eric wajib tau soal ini

"Kita udah nyiapin semuanya ma, mama hanya perlu ikut, dan semuanya akan aman," bujuk Eric mengengam erat tangan Jeno.

"Gua bakal tetep disini."

"Ma, please."

Jeno menarik Eric dalam pelukanya, mengusap rambut Eric pelan. Seperti apa yang selalu Chanyeol lakukan ketika Jeno sedang terpuruk.

"Eric sayang sama mama, sama adek," bisik Eric memgeratkan pelukanya pada Jeno.

Cukup lama mereka berdua dalam posisi berpelukan, Jeno menangkup pipi Eric membuat sang anak menatap tepat pada matanya.

"Gua bisa Ric, percaya sama emak lu ini,"

"Emak apa ma?."
















Hal pertama yang Jeffrey ketika masuk kedalam kamarnya adalah Jeno. Dimatanya Jeno masih terbaring di ranjang sama seperti hari hari sebelumnya.

Kaki tegapnya berjalan kearah ranjanh dan berjongkok di samping ranjang tempat Jeno berbaring. Tanganya mengengam erat tangan Jeno dan memberikanya usapan ringan disana.

"Kapan kamu ingin bangun hm?," bisik Jeffrey mengusakan hidungnya pada pipi gembil Jeno.

"Haechan dan Jaemin mencarimu, mereka datang kesini setiap hari."

Jeffrey menjauhkan muka mereka, tersenyum simpul dengan tanganya yang terulur untuk mengusap rambut Jeno yang mulai memanjang.

"Apa pilihanku untuk melenyapkan anak kita adalah pilihan terbaik Jen?."

Jeffrey menghela nafas, mengusap wajahnya kasar. Ayah satu anak itu nampak sangat frustasi, sangat ketara dari raut wajahnya.

"Jika dengan melenyapkan anak itu membuat kamu dan Eric membenciku aku siap sayang. Tapi tolong tetaplah disiku walau hatimu tidak."

"Jeno, babe...bangunlah kumohon," suara Jeffrey kian melirih, kedua tanganya ia gunakan untuk menangkup mukanya.

"Aku tau aku salah, semua ini terjadi karenaku. Dan aku hanya ingin membayar kesalahanku, kenapa tak ada yang mengerti?."

"Apakah kau juga akan membenciku Jen?."

Jeffrey tersenyum getir saat mengetahui bahwa sosok yang ia ajak berbicara tak akan menanggapinya. Yah, apakah dirinya boleh menyerah sekarang?

Saat sebuah tangan dengan halus memgusap lengan kekarnya Jeffrey buru buru mengangkat kepala dan terkejut kala manik mata Jeno yang semula terpejam kini menatap lurus kearahnya.

Seakan halusinasi Jeffrey meremas kedua tanganya, dengan alis saling bertaut, "Jeno?."

"Iya?," jawab Jeno seadanya. Masih dengan tangan yang mengusap lengan Jeffrey dan kedua mata sipitnya menatap kearah Jeffrey. Juga bibir tipis itu yang kini membentuk sebuah kurva tipis.

Dengan spontan sebelah tangan Jeffrey terangkat untuk mengusap pipi gembil Jeno. "Hey babe," bisiknya mendekatkan kembali wajahnya dan Jeno. Mengecupi seluruh bagian wajah sang submisive dengan perlahan.

"Kenapa kau tertidur begitu lama hm?," bisik Jeffrey.

"Ya gua mana tau tidur selama itu bego!." dengus Jeno.

Jeffrey terkeleh pelan, kenapa ada orang seaneh Luna nya.

"Menginginkan sesuatu sayang?." tanya Jeffrey mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gua....mau anak ini hidup."

Jeffrey tersenyum tipis, menutupi kegelisahanya. "Tentu."

"Gua mau pergi, dua sampe tiga bulan. Dan gua gamau lu ikut."

Jeffrey mengernyitkan dahinya tanda tak setuju dengan perkataan Jeno.

"Kemana?."

"Ke suatu tempat yang gua kga mau lu disana tentunya,"

Jeffrey hendak berbicara sebelum sebuah tangan membungkam bibirnya.

"Jangan bikin masalah ini makin gede, gua bisa nyelesein ini tanpa bantuan lu."





[Jum 26 November]

secret [jaeno/end.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang