"Kenapa sembunyi dari gue selama ini?"
Cia tersadar dari lamunannya saat suara Haechan terdengar. Untuk kali ini biarkan ia menatap manik pria yang dulu sangat disayangi. Tidak munafik, perasaan itu masih ada tak perduli sekuat apapun ia menguburnya.
Ini yang ia benci. Benci hingga tidak tau mau marah dengan siapa. Jika saja dulu ia tidak menerima ajakan berkenalan dari laki-laki di depannya apakah semua yang telah terjadi tidak akan terjadi? Apakah kehidupannya bisa bahagia bersama mama papanya?
"Jangan geer. Gue ngga pernah sembunyi dari lo"
"Bohong" Ucap Haechan dengan nada yang sedikit di naikkan.
"Gue ngga sebodoh itu buat percaya"
Haechan menghela nafasnya. Mengontrol emosi yang bisa saja meledak. Bingung sendiri kenapa ia bisa semarah ini. Kesal karena perempuan ini lagi-lagi berbohong atau dia yang mengharapkan lebih?
"Kali ini gue cuma mau lo jujur. Itu aja"
"Padahal gue udah jujur"
"Heh"
Smirk yang biasa terlihat di wajah usilnya terlihat.
"Lo tau ngga orang sabar aja tuh bisa jadi ngga sabar. Orang yang udah berjuang juga bisa sewaktu-waktu nyerah"
"And then? What?" Balas Cia.
"And then, tell me the truth"
"Apaan dah. Kagak ada nyambungnya" Cia berdiri dari duduknya.
"Gue belum selesai ngomong" susul Haechan.
"Oke"
Cia berbalik tiba-tiba membuat Haechan dibelakangnya otomatis terhenti. Mata tajam Cia membalas manik Haechan yang sedari tadi menunggu untuk di tatap lekat.
"Ayo ngomong. Apa yang lo mau omongin ke gue. Tentang Cia lagi? Ya udah omongin aja"
Dari manik mata yang saat ini di tatap tersirat kepenatan. Menyelami lebih, Haechan menyadari perubahan.
"Ayo ngomong"
"See? Gue udah kasih waktu lo yang ngga mau ngomong."
Bukannya tidak mau berbicara, hanya saja saat ini Haechan menyadari sesuatu.
"Lo tau? Gue capek banget disamain sama Cia yang lo kenal. Capek. Capek. Banget. Gue risih, Gue ngga suka disamain dengan sosok yang lo kenal dan itu bukan gue"
"Mulut gue udah berbusa buat ngejelasin bahwa gue bukan Cia yang lo maksud. Tolong berhenti. Gue capek..."
Tidak ada nada keras seperti lalu-lalu melainkan nada lirih yang terdengar putus asa karena lelah.
"Sekali lagi, mohon hargai privasi gue. Ini gue Licia bukan Cia"
Kontak mata yang menyimpan segala rasa itu terputus dengan Cia yang lebih dulu mengakhiri.
"Kalo lo punya masalah diselesaiin, bukan lari"
Haechan mendengar yang barusan. Lirih. Hampir tidak terdengar tapi berhasil menampar telak apa yang ia lakukan tempo lalu.
"Are you okay?"
Cia mengangguk lemas. Ia baru saja menampakkan kaki di rumah sakit pukul tujuh malam masih berseragam lengkap. Pertanyaan tadi dilontarkan oleh kakak sepupunya yang kebetulan menemani papanya.
"Papa ada nanya?" Tanyanya lemas.
Karina menggeleng. "Duduk dulu" Karina menepuk sofa kosong disampingnya. Menuruti itu, Cia beranjak dan duduk di sana. Ia refleks memejamkan mata ketika merasa empuknya sofa.
"Mau check up lagi ngga?" Pertanyaan yang dilontarkan tiba-tiba itu membuat Cia membuka matanya.
"Mata Cia ngga sakit" Jawabnya singkat.
"Bukan itu"
Seakan paham apa yang dimaksud Karina, Cia menggeleng.
"Aku ngga sakit. Aku cuma lelah aja. Habis tidur udah baikan"
Meski ragu, Karina mengangguk. "Cerita kalau ada apa-apa ya? Kak Karin siap selalu untuk mendengarkan"
Mengangguk lemah, Cia berdiri setelahnya. "Aku mau mandi dulu. Kakak bisa balik, papa biar aku yang jagain"
"Habis kamu mandi kakak balik. Nanti kita makan dulu ya?"
Tidak ada jawaban dari Cia, hanya langkah kaki yang terdengar setelah itu. Bukannya Karina tidak tau, anak itu pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Maka secara diam-diam ia menghubungi dokter pribadi yang menangani Cia dari awal.
Cia juga sadar, dirinya sedang tidak baik. Semuanya terlalu mendadak. Saat masa lalu yang ingin dilupakan hadir dan mengulurkan sesuatu yang baru. Semua luka yang belum sembuh kini kembali menganga. Ia lelah, tapi harus menahan.
"Bertahan Cia, jangan luluh"
Kali ini part nya pendek. Ngga apa-apa kan ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK | Haechan [HIATUS]
Fanfiction❝Kemanapun gue pergi, kalo bahagia gue di lo gimana?❝