Persaanmu itu seperti apa?
Pertanyaan yang dilontarkan Renjun tempo lalu kembali berputar di kepalanya.
"Perasaan yaa???" Gumamnya sendiri
Seusai diusir paksa dari rumah sakit barusan, pria berkulit tan ini memilh melimpir ke cafe milik Abangnya. Alih-alih istirahat di rumah seperti yang di bilang daddy nya tadi ia lebih memilih beristirahat sambil meminum kopi.
Sebenarnya ini bentuk peristirahatan dari banyaknya pertanyaan di kepalanya.
"Ngapain lo di sini?"
Pertanyaan barusan ditujukan padanya yang sedang duduk bersandar di salah satu sofa pojok kafe.
"Sinis amat, padahal gue bayar" Sewotnya
Mark menghela nafasnya. "Kalo bukan daddy yang nyuruh gue check lo di mana, jangan harap pertanyaan ini terlontar dari mulut gue" Mark mengendikkan bahunya "bukan gue banget perhatin gini. Iwwww"
"Adik sendiri juga" Balas Haechan.
"Maka dari itu gue geli. Balik sana atau ngga kabarin daddy biar ngga nanya ke gue mulu"
"Bilang aja gue ada di rumah. Udah molor di kamar. Gitu aja kok susah"
"Dude, are you teaching me to be liar?"
"Ups, haduh iya ngga. Bercanda lohh" Haechan melirik arloji miliknya "Jam satu gue balik"
"Whatever, tapi kabarin daddy"
"Tenang"
"By the way, lu ada bawa baju ganti? Gue pinjem"
Mark memicing matanya curiga. Seakan tau bahwa opnum di depannya ini tidak ada niat sama sekali buat balik ke rumah.
"Pinjem doang. Gue udah ngga enak pake baju kemaren"
"Ya balik lah sana ke rumah"
"Aelah, pinjem bentar doang. Besok udah di cuci, di setrika, di lipet. Gue kembaliin dalam bentuk sempurna tidak lecet sedikit pun"
Mark menghela nafasnya. Ogah sekali sebenarnya meminjamkan barang pada Haechan. Terlebih ini baju, mana belum mandi pula.
"Mandi dulu tapi. Gue ngga mau bau asem lo lengket di baju gue"
"Tenanggg" Haechan tersenyum sumringah. Ia merogoh handphone dan dompet yang tadi di meja. Bersiap berdiri untuk segera membersihkan diri.
"Ruangan lo di mana?"
"Beside toilet" Jawab Mark tanpa mengalihkan atensinya dari kertas.
"Oke"
Tanpa menunggu lama, Haechan segera menuju ruangan yang dimaksud Mark. Ia segera membersihkan diri saat menemukan baju ganti yang dimaksud. Tidak lama, sekitar kurang lebih Lima belas menit ia kembali keluar dari ruangan dengan keadaan yang kembali fresh.
"Mbak, Mark kemana ya?" Tanyanya saat melihat sosok Mark yang sudah menghilang.
"Pak Mark nya sudah pergi, katanya ada kelas sore"
Haechan mengangguk paham. Ia bergegas pergi dari kafe seusai membayar. Sesuai perkataannya tadi pada Mark bahwa ia akan membayar. Motor yang dibawanya melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan. Mengira bahwa ia akan balik ke rumah dan menuruti perkataan daddy nya, itu adalah kesalahan. Haechan tetaplah Haechan. Sosok keras kepala yang bahkan batu pun bisa disaingi.
Mana bisa ia tenang membiarkan pertanyaan di kepalanya begitu saja? Penasaran tetap menjadi hal yang saat ini harus terjawab. Maka dengan itu, untuk kedua kalinya ia berdiri di depan ruangan yang semalam suntuk ia jaga. Perlahan dengan rasa dilema di lubuk hatinya, Haechan bertanya-tanya apa boleh ia masuk ke dalam melihat Cia?
Tangannya sudah memegang kenop pintu selama beberapa menit. Tinggal memutarnya saja ia sudah bisa melihat sosok Cia di dalam. Tapi kembali lagi. Perkataan daddy terus berulang muncul di kepala. Bagaimana jika Cia benar-benar tidak mau melihatnya? Bagaimana jika keadaanya tambah memburuk saat ia menerobos masuk?
Membayangkan Cia kesakitan semalam saja hati Haechan masih sakit, bagaimana jika ia melihat untuk kedua kalinya? Tidak. Tidak boleh terjadi.
Prang!
Bunyi benda jatuh dengan keras terdengar oleh Haechan. Matanya membulat kaget saat pendengarannya mendengar isak tangis dari dalam. Tanpa berpikir panjang ia segera menerobos masuk.
Hal yang tidak ingin Haechan lihat benar terjadi saat ini. Cia menangis dengan tubuh gemetar. Yang membuat Haechan semakin panik adalah pecahan vas bercecer tepat di depan Cia. Selangkah saja perempuan itu berjalan maka dipastikan serpihan itu akan menusuk kakinya.
"Cia Stop! Stop di situ, jangan bergerak!"
Dengan mata yang tidak fokus ditemani derai air mata yang mengucur deras, Cia berdiri di tempatnya. Jika saja, jika Haechan telat sedikit saja meraih Cia bisa dipastikan Cia akan terjatuh di serpihan beling.
Begitu meraih Cia, perempuan itu langsung memeluk erat Haechan. Tubuhnya masih gemetar dengan isak tangis yang semakin kencang.
"Cia?"
"Gelap. Di sini gelap. Jangan pergi" Di tengah isakan kencang Cia berucap dengan suara yang gemetar. Cengkraman di bajunya juga semakin erat. Itu semua menandakan bahwa ia sangat ketakutan.
Walaupun ia bingung dengan apa yang barusan diucapkan, tapi ia memilih bungkam. Menyimpan di kepalanya yang nanti ia bisa cari sendiri jawabannya. Maka dengan itu, ia membalas pelukan Cia. Memeluknya begitu erat dengan usapan-usapan halus surai hitam milik Cia. Beberapa kata penenang juga terucap darinya.
Di tengah segala rasa kalut dan ratusan pertanyaan yang hadir, satu pertanyaan terjawab saat ia mendekap Cia. Kejelasan tentang perasaan yang selama ini ia sangkal.
Benar. Renjun benar. Tanpa ia sadari, selama ini ia telah melibatkan sebuah perasaan.
Benar. Daddy juga benar. Bahwa dirinya memang sudah jatuh cinta. Jauh, jauh sebelum ia menyadari hal itu.
Haii haii semuanyaa
Sehat selalu ya di manapun kalian.
Bahagia juga jangan lupa 💛
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK | Haechan [HIATUS]
Fanfiction❝Kemanapun gue pergi, kalo bahagia gue di lo gimana?❝