"Hinata masih mengurung diri?" tanya Sakura pada bodyguard Hinata yang menjaga di depan pintu kamar. Tenten yang merupakan bodyguard Hinata kemudian mengangguk.
"Masih, nona Hinata bahkan tidak mau berbicara dengan tuan Neji." Jawab Tenten.
Sakura dapat melihat kekhawatiran Tenten atas kondisi Hinata, Hinata memang belum menceritakan tentang kehamilannya kepada siapapun kecuali Sakura. Hinata terlalu takut jika ayahnya atau kakaknya sampai mengetahui mengenai kehamilannya.
Bahkan, sudah hampir seminggu sejak Sakura mengetahui permasalahan Hinata, tetap saja sahabatnya itu terus mengurung dirinya di kamarnya.
"Tenten, bukakan pintunya, aku ingin bicara dengan Hinata. Ponselnya juga tidak aktif." Pinta Sakura, cukup sudah Sakura melihat keterpurukan Hinata yang lama kelamaan membuatnya semakin muak, muak karena Naruto saja bisa senang-senang, sementara Hinata menanggung semuanya sendiri.
Tenten mengangguk mengerti, ia segera membukakan pintu kamar Hinata. Setelah pintu kamar terbuka, Sakura segera melangkah masuk ke dalam kamar Hinata, tatapannya langsung tertuju pada Hinata yang sedang terbaring di atas ranjangnya.
Temari dan Tenten tidak berani ikut masuk, mereka menunggu di luar kamar.
Sakura berjalan mendekati ranjang, kemudian duduk di samping Hinata yang sedang tertidur pulas.
"Hei, Hinata." Panggil Sakura, seraya menepuk lembut pundak Hinata.
Perlahan Hinata mengerjapkan matanya, seketika ia mendudukkan tubuhnya setelah melihat Sakura yang membangunkannya.
"Sakura, aku merindukanmu!" Hinata langsung memeluk erat Sakura, hampir seminggu ia tidak bertemu dengan Sakura yang memang mempunyai jadwal yang padat.
Sakura terkekeh, ia membalas pelukan Hinata dengan hangat. Sakura sudah menganggap Hinata sebagai adiknya, ia ikut merasa terluka jika melihat Hinata terpuruk, apalagi terpuruk karena ulah dari Naruto.
"Aku juga sangat merindukanmu, kenapa masih mengurung diri? Ini sudah terlalu lama kamu diam di kamar." Tanya Sakura, Sakura memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap tindakan Hinata yang cenderung berdiam diri, tidak bangkit dari keterpurukan.
Seketika Hinata menunduk, ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Naruto terus mengajaknya untuk melakukan aborsi.
"Aku bingung, Sakura. Aku takut jika ayah dan kakak mengetahuinya, dan juga Naruto ...," Hinata seketika terdiam sesaat, ia ingat Naruto menyuruhnya untuk tidak membicarakannya kepada Sakura.
Sakura memandang curiga pada Hinata yang tiba-tiba terdiam dengan keraguan yang terlihat dari matanya.
"Apalagi sekarang? Naruto berbuat apalagi?" tanya Sakura, tatapan mata Sakura mengintrogasi Hinata, membaca gerak-gerik Hinata.
"Aku bisa mengetahui mana kejujuran dan kebohongan, kalau tidak mau bicara jujur, aku akan mencaritahu sendiri!" Sakura sedikit menekan Hinata untuk berkata jujur.
"Oke, oke, aku akan berterus terang. Dia terus mengajakku aborsi, dan berjanji tidak akan meninggalkan aku setelah aborsi." Ucap Hinata yang akhirnya memilih jujur pada Sakura.
"Lalu kamu percaya itu, Hinata?" tanya Sakura dengan terkejut.
Hinata mengangguk polos, dirinya dan Naruto sudah berpacaran lebih dari dua tahun, dan menurutnya Naruto pria yang baik, yang bisa dipercaya.
"Cinta boleh! Bodoh jangan!" ucap Sakura dengan tegas.
"Hinata, Naruto hanya memanfaatkanmu, dia bukan pria yang bisa diajak berkomitmen, dia masih senang dengan kehidupannya. Kamu tidak bisa bergantung kepadanya. Pikirkan baik-baik, jika kamu melakukan aborsi, ada kemungkinan kamu akan kesulitan hamil di kemudian hari, dan belum tentu Naruto akan tetap bersamamu. Sekarang bersiaplah!" Sakura kemudian berdiri seraya mengulurkan tangannya untuk membantu Hinata berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking Wife 《R》 ✔
Fanfiction《08》 21+ End "Aku diperkosa, Naruto." Sasuke berkata dengan ekspresi datar, seolah ucapannya adalah hal yang wajar. "SUMPAH TEME? SIAPA YANG BERANI MEMPERKOSA SEORANG UCHIHA SASUKE!" "Siapa lagi kalau bukan istri gilaku."