Sembilan Belas

102 20 0
                                    

"Maaf Nyonya, kami turut menyesal..."

Rin-hae memegang perutnya dan mengusapnya. Menyesal? Sesaat semua kata-kata dokter bagai berasal dari planet yang jauh, hanya berupa gumaman-gumaman tidak jelas.

Rin-hae berjalan dengan gerakan limbung. Ia sempat duduk sebentar untuk menenangkan nafasnya. Menjadi seorang ibu hamil sungguh merepotkan. Rin-hae mengusap peluhnya dan menyentuh perutnya dengan gerakan sayang.

Kata-kata yang diucapkan dokter kembali terulang di kepalanya. Menyesal? Kenapa mereka berkata demikian? Rin-hae menggeleng, ia dipenuhi tekad untuk menemui dokter lain. Mungkin mereka akan memvonisnya berbeda.

Semua pasti karena surat sialan yang baru ia temukan kemarin. Sejak melihat surat itu, perutnya terasa sakit terus. Surat yang tidak ingin dilihatnya. Surat yang tidak ingin dibacanya. Tetapi Rin-hae terlanjur membacanya. Kemudian ia menangis lama sampai merasa lelah.

Surat itu seharusnya tidak ditemukan. Kadang kala, lebih baik tidak tahu sama sekali daripada mengetahui sesuatu dan merasa terbebani. Merasa berdosa.

Rin-hae teringat wajah Eun-hee seketika. Wajah Eun-hee hari itu terlihat sedih dan kecewa. Ada sekilas rasa iri ketika matanya memandang perut Rin-hae. Eun-hee iri karena Rin-hae memiliki anak Jung-kwan. Rin-hae mengelus perutnya protektif.

Sosok yang mendadak muncul di pikirannya membuatnya mengernyitkan dahi. Pusing. Ia memijit keningnya. Tidak seharusnya memori terhadap sosok itu muncul. Ia tidak memerlukan kenangan cengeng semacam itu. Yang ia perlukan hanya Jung-kwan, perlindungan yang Jung-kwan janjikan pada anaknya, dan nama keluarga untuk mengasuh anaknya.

Lampu kembali merah. Rin-hae bangkit dari kursi halte tempatnya duduk. Ia baru berjalan sedikit ketika tiba-tiba kepalanya sakit. Rin-hae berjongkok sebentar untuk menghilangkan rasa sakitnya, tetapi ketika berdiri, dunianya mendadak memudar. Hilang menjadi ratusan kabut putih yang memenuhi pandangannya. Ia bisa mendengar suara klakson, decit mobil, dan teriakan.

Rin-hae menjulurkan tangan, merasa ada seseorang yang menariknya.

"Yoo bin!" Rin-hae ingin menangis, tetapi kesadarannya semakin memudar. Ia seperti tersedot ke dalam pusaran kenangan yang terasa manis namun berujung menyakitkan. Kepada kenangan yang membawa air mata bahagia dan air mata penyesalan. Kepada nama yang mendiami hati namun tak pernah terucap.

-000-

"Jung-kwan... di sini!" Sosok wanita yang memanggilnya berhasil ia kenali sebagai Ibu Rin-hae.

Jung-kwan berlari kencang di sepanjang koridor rumah sakit. Paru-parunya sakit seperti terbakar karena terus berlari. Lampu merah dan jalan yang macet terasa menghalangi, sementara keadaan Rin-hae sangat darurat.

Tangan Nyonya Cha, Ibu Rin-hae terasa dingin ketika menggenggam tangan Jung-kwan. "Dia tertabrak mobil..."

Jung-kwan merasakan nafasnya naik turun di dadanya. Wajah Nyonya Cha yang pucat membuatnya merasa kalut. Belum sempat bertanya, pintu kamar terbuka dan dokter berjalan keluar. "Pasien baik-baik saja akan tetapi kami tidak bisa menyelamatkan bayinya..."

"Apa..." Tangisan Nyonya Cha langsung pecah begitu mendengar kabar bahwa cucunya meninggal.

Mendadak Jung-kwan merasa lututnya melemas. Ia memegang pundak dokter di hadapannya dengan gerakan tidak sabar. "Bayinya... apakah sama sekali tidak bisa diselamatkan?"

"Bayinya sudah lama meninggal..." jawab dokter itu sambil menepuk pundak Jung-kwan dengan gerakan menyesal. "Ketika kami mengangkatnya, janinnya tidak terbentuk sempurna... Apakah Ibunya tidak pernah mengatakan apapun kepada Anda?"

Tenggorokkan Jung-kwan tercekat. Sakit. "Tidak..." Matanya terasa panas dan perih. "A-anak itu...." Jung-kwan menghela nafas. "Sejak kapan?"

"Kami sulit memperkirakan waktunya. Bisa saja beberapa hari atau seminggu yang lalu..."

Nyonya Cha menampakkan wajah tidak percaya dan kembali menangis. "Tidak mungkin! Mustahil! Rin-hae tidak bilang apapun..."

Jung-kwan melihat wajah Rin-hae yang pucat dan masih tertidur. Rin-hae yang cantik, tampak lelah dan kurus dalam pengaruh obat biusnya. Apakah Rin-hae tidak sadar bahwa ia telah kehilangan bayinya? Jung-kwan meremas tangan Rin-hae lembut dan merasakan serbuan rasa bersalah.

Rin-hae berjuang sepenuh hati untuk anaknya. Air mata Jung-kwan mengumpul di pelupuk matanya. Ia menggenggam tangan Rin-hae dan menempelkannya di wajah. Rin-hae terasa hangat, masih hidup dan bernafas, sementara anak yang ditunggunya pergi lebih dulu.

"Aku minta maaf Rin-hae... Yoo-bin..." tangis Jung-kwan penuh penyesalan. 

-000-

Her Man [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang