Dua Puluh

117 22 1
                                    

Rin-hae merasakan sesuatu yang panas menyentuh tangannya. Titik-titik hangat sebenarnya. Ada sesuatu yang lain seperti suara tangisan. Dan kemudian... ada bau obat-obatan.

Rin-hae memaksa membuka matanya, melihat sosok Jung-kwan menatapnya dengan pandangan sedih dan iba. Mata yang berulang kali dilihat Rin-hae. Tatapan kasihan yang sama. Ia sudah lama menebalkan wajahnya untuk mampu menghadapi tatapan mata Jung-kwan yang menyakitkan.

Ia tahu sebenarnya Jung-kwan sudah lama mengetahui kebenarannya, keadaannya, kebohongannya. Tetapi pria itu dengan baik hati tetap membantunya. Rin-hae merasakan tangan Jung-kwan dengan lembut memeras tangannya.

"Kau sudah sadar?" Jung-kwan tersenyum lembut padanya.

Senyuman Jung-kwan membuat Rin-hae merasakan dirinya sungguh jahat. Memanfaatkan persahabatan dan kebaikan hati Jung-kwan untuk keperluannya semata. Pria itu bahkan kehilangan popularitasnya. Kehilangan gadis yang dicintainya. Namun, Rin-hae merasakan sepercik rasa iri dan tidak rela.

Beberapa minggu bersama Jung-kwan, ia paling tahu kebaikan hati pria itu. Pria itu memandangnya dengan persahabatan yang sama. Tidak pernah sekalipun mencapnya wanita jahat, tidak pernah sekalipun membencinya padahal ia membuat pria itu melepaskan gadisnya.

"Jung-kwan... kenapa menangis?" Rin-hae merasakan mulutnya lengket dan tidak nyaman. Ia menempelkan lidah di langit-langit dan rongga mulutnya agar tidak terasa kering.

"Aku minta maaf Rin-hae... Bayimu..."

"Ah..." Rin-hae tersenyum lemah, "Kau sudah tahu..."

Raut wajah Jung-kwan berubah. Rahangnya mengeras sesaat. "Maksudmu... kau sudah tahu?"

Rin-hae tidak menjawab, hanya menatap langit-langit, membiarkan air matanya mengalir jatuh menyamping dari pelipisnya. "Kenapa... kau terlalu baik padaku, Jung-kwan?"

"Apa maksudmu?"

"Kau tentunya tahu, ini bukan anakmu... ini anak Yoo-bin..."

Jung-kwan lama terdiam. Ia mencermati ekspresi tenang Rin-hae sebelum mengangguk perlahan. Rin-hae tampak pucat tetapi setenang biasanya. Ia tidak menangis histeris. Ketenangannya justru membuat Jung-kwan cemas.

"Kenapa kau tidak pernah menyalahkanku? Aku membuatmu berpisah dengan Eun-hee..."

"Karena aku membuat Yoo-bin meninggal..." bisik Jung-kwan.

Rin-hae mengangkat tangannya dan menutup wajahnya. Air mata kembali mengalir turun di pipinya. "Itu kecelakaan! Semua orang bilang itu kecelakaan!"

"Itu karena dia pergi untuk menjemputku di malam hujan deras itu! Kalau tidak, dia tidak akan meninggal!"

"Aku benci padamu!" Tangisan Rin-hae akhirnya meledak dan berubah menjadi isakan-isakan keras yang membuat perasaan Jung-kwan ikut perih. "Aku benci padamu! Aku benci padamu!"

"Aku minta maaf, Rin-hae..."

"A-aku tidak mau menyalahkan...mu. Sebagian hatiku be-berkata itu memang murni kecelakaan. I-itu murni nasib sial Yoo-bin. Hanya saja, kau selalu menyalahkan dirimu! Aku... tidak bisa menahan diri untuk perlahan-lahan ikut menyalahkanmu!"

Jung-kwan masih terdiam. Rin-hae terus memukuli dadanya. Perlahan pukulan itu memudar, digantikan sedu sedan dari Rin-hae. Nyonya Cha berdiri di pintu, nyaris tidak bisa mempercayai pendengarannya.

Nyonya Cha pernah menampar wajah Jung-kwan sekali karena pria itu sempat bersembunyi dari tuntutan Rin-hae. Jadi anak yang dikandung Rin-hae adalah anak Yoo-bin. Yoo-bin, sahabat terbaik Jung-kwan. Mereka bertiga tak pernah terpisahkan sejak sekolah.

Her Man [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang