Malam hari ini menjadi sedikit hangat karena percakapan kedua insan yang perlahan mencair tak sekaku sebelumnya. Lino menghampiri Lia yang belajar di meja ruang tamunya.
Ia duduk lalu memperhatikan Lia tanpa sadar. Lia yang peka ditatap berganti menatap Lino. “Apa ?” Sarkasnya.
Lino tak mengalihkan perhatiannya, ia setia memandangi wajah cantik perempuan itu. “Belajar apa?”
“Tidak ada.” Jawab Lia seadanya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Apa apaan sih ? Ditanya serius lo padahal.”
"Ya emang gak belajar, cuman ngecek doang ada tugas nggak, kalo gak ada ya gak belajar."
"Kenapa gitu ?"
“Pengen aja.”
Lino berdecak malas mendengar jawaban acuh Lia. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Mengambil nafas perlahan sambil menutup kedua matanya.
Tiba – tiba pertanyaan yang meluncur begitu saja dari mulut Lia membuat Lino membuka matanya lagi. “Kamu, kenapa nggak sekolah ?”Lino tertawa remeh sekilas dengan raut wajah tanpa makna. “Nggak akan banyak berguna buat orang seperti ku. Beda lagi dengan orang sepertimu.”
“Omong kosong.” Lagi – lagi jawaban Lia yang sekenanya membuat Lino tersenyum.
🪐
Hari ini sedikit berbeda, karena Lia diperlakukan wajar di sekolah. Psikopat itu sedang dalam masa skorsing dan itu membuatnya sangat tenang. Ia sedang berjalan menuju rumah yang ia singgahi beberapa hari terakhir ini.
Belum sampai satu meter ia berjalan dengan Lino yang masih mengawasinya dari jauh. Datang salah satu teman Shuhua yang menghampiri Lia sambil menangis tersedu.
“Li… Lia ! Tolongin gue. G-gue takuuut. Mereka, Shuhua sama temen – temennya ngerundung gue. Padahal lo tau sendiri kan selama ini gue udah bareng - bareng sama dia, gue udah ngelakuin semua perintahnya. Gue harus gimana ?” Kata gadis itu sambil menggelayutkan tangannya pada lengan Lia.
Tak basa basi Lia menepis kasar tangan gadis itu. Betapa tak tau malunya ia meminta pertolongan padahal kemarin ia juga yang menghajarnya habis – habisan.
“Li, please maafin gue. Gue gak tau harus ngomong dan minta tolong ke siapa lagi.”
Lia tak menghiraukan kata – kata gadis itu. Ia berjalan menjauh dengan ekspresi mencemooh. Ia tak peduli karena ia sudah tak mempercayai siapapun kecuali satu orang.
Dan Lino melihat semua yang terjadi.
🍄🍄🍄
Lino memang sudah meminta izin pada Lia untuk keluar malam ini. Namun tetap saja Lia khawatir karena Lino tidak memberitahu pasti kemana ia pergi. Lino hanya berpesan jangan keluar rumah dengan ceroboh. Dan ia hanya berpesan bahwa sedang mencari uang.
Sambil belajar, pikiran Lia sedikit was – was. Ia takut terjadi apa – apa pada laki – laki itu.
‘Sialan, kenapa aku mikirin dia.’ Batin Lia sarkas.
Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Lino datang dengan kantong kresek berisi bahan keperluan sehari – hari. Ia meletakkannya di meja dan langsung menuju kamar mandi.
Lia yang berdiri semenjak Lino datang sama sekali tak disapa dulu. Ia mengikuti Lino sampai kamar mandi. Didepan pintu kamar mandi, Lino yang siap menutup pintu menangkap netra Lia yang ada didepannya.
Ia mendorong tubuh Lia dengan lembut untuk mundur dan mencoba menyembunyikan sesuatu. Sedangkan Lia, perasaannya sakit tapi bukan karena diacuhkan. Ia tak sengaja menangkap visual Lino yang kacau di tubuh dan wajahnya.
Lia menunggu Lino di depan pintu kamar mandi. Ia tak sengaja mendengar rintihan dalam bilik kamar mandi itu. Seketika Lia merasa teramat bersalah.
Mungkinkah, ini karena kehadirannya yang merepotkan ? Ya, pasti merepotkan, tentu saja. Ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia masih bertanya.
Beberapa menit kemudian Lia memaksa Lino untuk duduk di ranjang.
“Lia, mau apa ?” Selalu, dan terjadi lagi. Hati Lia berdesir saat Lino menyebut namanya.
“Buka bajumu !” Perintah Lia.
“Apa ? Kenapa ?”
“Aku akan mengobatimu.”
Lino menuruti perkataan Lia. Karena mau bagaimana lagi, ia memang tidak bisa menjangkau sisi badannya yang terluka.
Mereka tenggelam dalam sepi. Tak berbicara satu sama lain selama beberapa menit. Karena Lia fokus dengan obat dan luka Lino. Sedangkan Lino fokus menahan rasa sakit.
“Apa ini karena.... ku ?”
Pertanyaan Lia yang tiba – tiba menusuk rungu Lino itupun sukses membuat Lino mati kutu. Ia juga tak tahu, mungkin secara tak sadar hidup yang sedang ia jalani sekarang adalah untuk Lia semata. Tapi, ia sungguh tidak sadar, dan tak merasa.
“Aku ? Karena kamu ? Hah. Percaya diri sekali.” Kata Lino sambil bernada remeh, membuat Lia mengembuskan nafas sedih.
Beberapa menit kemudian kedua manusia itu sudah merebahkan tubuhnya dengan jarak yang tak jauh. Keduanya saling memunggungi. Canggung itu masih ada tentu saja.
“Sakit sekali ya, perih ?” Tanya Lia.
“Tidak, biasa saja.”
“Kalau hatimu ?”
“Sudah lebih baik. Aku bahkan lebih hancur, sebelum ini” Kata Lino kemudian ia membalik tubuhnya, Lia melakukan hal sama.
“Dulu, ayah selalu bilang aku harus kuat menghadapi segala hal karena aku laki – laki. Lalu ibuku terjebak dalam kebakaran di gedung tempatnya bekerja. Ia meninggalkanku dengan ayah, membuat ayah merasa hancur dan kesepian. Tak lama, ayah menyusul ibu.”
Air mata Lino tak menetes, namun meluncur indah melalui pipinya. Lia yang mendengar dan menyaksikan itu terdiam sekilas. Ia mengulurkan tangannya ke pipi Lino lalu mengusap air mata tadi dengan lembut.
Hati Lino berdebar halus.
“Lia, bagaimana kau bisa melihatnya ?” tanya Lino, lembut sekali.
Dan Lia ikut meneteskan air matanya. Lino berganti menghapus air yang keluar dari mata cantik Lia. Lino memeluknya tiba – tiba.
Lia mebalasnya.
🪐
KAMU SEDANG MEMBACA
BE BETTER [Lee Know ♡ Lia]
FanfictionGadis ini jatuh pada rasa sepi, kecewa, sakit dan hampa, tiba sang Adam datang membawa sinar hangat pembawa senyum masa depan. "Hai tampan ! Aku ingin selalu berada dalam dekapan mu. Aku menginginkan mu di kehidupan ini." "Aku tau. Makanya jangan pe...