Bagian Sebelas

137 14 0
                                    

Hari ini, Lia mencoba membangun lagi pribadinya menjadi lebih cerah karena ia sedang berjalan dimana ada Lino sisinya.

Mereka berkeliling tanpa arah sambil bercerita panjang lebar, berdua.

Waktu serasa berjalan lambat setiap kali manik matanya tak sengaja bertatapan tepat dengan netra Lino. Rasanya, ia ingin begini terus kedepannya. Rasa senang dan bahagia tak bisa Lia sembunyikan dari Lino. Ia terus tersenyum lembut menatap punggung, telinga, dan kepala laki – laki itu dari belakang.

Meskipun di sekolah ia masih mendapat perlakuan bejat dari para pembully, Lia sudah biasa mengacuhkan ocehan pecundang - pecundang itu. Apalagi ketika sudah tercium aroma Lino yang jadi candunya.

Lino juga semakin semangat mengantar Lia hingga punggung perempuannya itu hilang ditelan kerumunan.

Meskipun begitu, tetap saja perasaan khawatir tak akan dengan mudah hilang dari Lino. Tapi setiap kali ekspresi khawatir itu muncul, Lia tak lelah meyakinkan Lino bahwa dia itu kuat, dia itu bisa, dia itu hebat. Yah, Lino hanya perlu yakin dengan gadisnya. Ia juga tau jika Lia bukan perempuan lemah.

Malam ini Lino berniat membeli kebutuhan rumah. Lia  menghadang Lino, sebelum keluar rumah. Ia menyodorkan kartu kredit yang biasa ia bawa dari ayahnya.

“Apa ini ?”

“K-kartu kre-.”

“Maksudku, untuk apa ?”

“Kamu… Taulah. Aku sungguh merepotkan selama ini.”

“Tidak perlu. Aku masih mampu.”

“Aku tidak bermaksud apa – apa. Ini sebagai ganti bahwa aku sudah sangat merepotkanmu. Aku tahu itu pasti sulit. Mengurus orang lain dari kamu sendiri.”

“Sekali ini saja, agar aku juga bisa berguna untuk orang lain.” Kata Lia merengek.

Padahal Lino tidak pernah menyinggung apapun selama bersama Lia, ia juga sama sekali tak terpikir untuk meminta ganti rugi apapun. Meskipun sedikit kerepotan, anehnya Lino senang – senang saja.

“Orang lain ya ?” Tanya Lino tiba – tiba.

“Hm ?” Lia menjawab bingung dan dadanya yang bergemuruh. Ia heran kenapa ia salah tingkah melihat senyum miring Lino sekarang.

“Ah… Hmm . . . Itu…”

“Kamu memang pendatang, tapi kamu satu – satunya penjajah yang berhasil menguasai hatiku.”

🪐

“Aku… Merindukan rumah, mungkin mama merindukanku.” Kata Lia pada Lino yang sedang duduk didepannya.

“Percaya diri sekali.” Jawab Lino remeh. Tanpa menoleh kearah Lia.

“Aku nih ngangenin tau.” Lino tertawa bahagia setelah mendengar jawaban Lia.

“Iyadeh, percaya. Hmm.” Lino menghela nafas.

“Kalo mau pulang gapapa, asal harus inget.”

Lia mengernyit bertanya – tanya. “Inget apa ?”

“Laki – lakimu hanya aku. ”

Oh tidak, wajah Lia memerah persis kepiting rebus. Sangat malu rasanya menampakkan wajah malu dan salah tingkahnya didepan Lino. “Dih, emang sejak kapaaan !”

“Imut banget sih pipinya merah.”

“Kak Lino ih.” Kata Lia cemberut merengut lucu. Membuat gelak tawa Lino semakin menggelegar.

“Ngerti kan ?”

“Iya, ih.”

Lino tersenyum yakin. Tapi ekspresi Lia tak sama dengan ekspresi Lino.













Ia tersenyum kearah Lino lebih yakin.

🪐

BE BETTER [Lee Know ♡ Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang