Bel masuk telah berbunyi beberapa waktu lalu. Kondisi kelas yang sebelumnya ramai mendadak sepi sebab datangnya sosok guru yang lebih dikenal sebagai monster. Beberapa murid kelas terlihat sibuk mengeluarkan buku dari dalam tas. Beberapa lainya sibuk memasukkan benda terlarang untuk disembunyikan. Namun, berbeda dengan para murid lainnya, gadis dengan rambutnya tergerai itu tampak tidak ada pergerakan sama sekali. Malahan, terlihat begitu percaya diri dengan buku yang sudah terletak di atas meja. Sengaja disiapkan untuk pelajaran matematika yang akan segera dimulai.
Entah karena memang gurunya yang menakutkan atau sebab perlakuan muridnya yang acap kali menjengkelka, beberapa murid terlihat menatap sang guru dengan tatapan ngeri mereka. Layaknya menatap seekor harimau buas yang siap menerkam kapan saja. Berbagai bisikan terdengar dari beberapa murid tentang seberapa pelit guru itu memberi nilai, juga tentang seberapa kejam bila guru di hadapan mereka menghadapi seorang murid nakal. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghunus rasa percaya diri Nanai yang sudah mengangkasa.
Kabarnya, hari ini guru dengan pakaian batik biru itu akan memberikan pengumuman tentang nilai murid pada ulangan harian pertama mereka minggu lalu. Pastinya, beberapa di antara para murid yang terduduk sedang mengkhawatirkan nilai mereka yang mungkin dibawah standart dari sang guru. Lagi-lagi, Nanai masih santai dengan hal itu, yakin bahwa dirinya akan mendapat nilai sempurna seperti sebelum-sebelumnya.
Maklum saja, kepintaran yang Nanai miliki akan sulit tertandingi. Jangan lupakan pula tekad serta ambisi besar yang gadis itu punya. Semakin bertambah alasan untuk tidak lagi berharap dapat mengalahkannya. Bahkan, dalam penerimaan peserta didik sekolah yang sekarang ditempati, Nanailah yang berada di posisi tertinggi bersama dua orang lainnya yang sialnya, saat ini satu kelas dengannya.
Namun, semakin bertambah lawan untuk mendapatkan posisi terbaik, semakin giat pula gadis dengan rambut pirang itu mempertahankan eksistensinya. Baginya, jika sudah pernah menempati posisi tertinggi, maka selamanya ia harus tetap berada pada posisi itu. Prestasinya tidak boleh turun satu anak tangga pun.
“Baik, saya akan mengumumkan nilai kalian dari yang terbawah.”
Setelah beberapa kali berbasa-basi, akhirnya para murid akan mengetahui nilai mereka. Nanai yang menantikan saat-saat ini pun tersenyum dengan penuh keyakinan. Mengangkat dagunya sebagai pertanda keyakinannya yang tidak dapat pupus. Sementara yang lainnya, menunjukkan wajah khawatir mereka. Malas, jika nantinya akan menjalani remedial yang mungkin soalnya akan lebih sulit daripada soal-soal kemarin.
“Maudy Ayuningtyas, lima puluh delapan.”
“Aisyah Amaira, enam puluh tiga.”
“Dinda Chairunnisa, enam puluh enam.”
Satu per satu murid di kelas itu maju sesuai nama yang terpanggil untuk mengambil nilai mereka yang ... mengecewakan. Keluhan-keluhan mengenai soal yang sulit ataupun jawaban yang menurut mereka sudah tepat membuat kelas kembali bising. Ada yang tidak terima dengan nilai yang didapat, ada pula yang terlihat pasrah dengan nilai seadanya. Pasrah apabila harus mengulang nanti untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan standart guru di depan kelas itu.
Hingga tiba saatnya murid-murid dengan nilai tinggi yang mulai terpanggil namanya. Inilah saat-saat beberapa dari mereka akan menyalahkan si pintar yang tidak memberikan contekan kepada mereka. Padahal, bila ditilik kembali, si pintar mendapatkan nilai tinggi karena giat belajar mereka sendiri.
“Kemudian, Nanai Nunaira, Deano Erland Fairhante, dan Kaira Alika dengan nilai yang sama, yaitu sembilan puluh lima.”
Bersamaan dengan berakhirnya kalimat yang dilontarkan oleh sang guru, terdengar suara buku yang terbanting dari ketiga penjuru kelas tempat mereka duduk. Baik Nanai, Dean, maupun Kaira sama-sama tidak terima apabila nilai mereka sama, tidak sempurna pula. Ambisi ketiganya terlalu besar untuk menjadi yang nomor satu. Rasanya, harga diri mereka seolah dipermainkan.
Sedangkan, tanpa mereka sadari beberapa murid kelas memandang iri terhadap ketiganya. Berharap suatu saat menjadi salah satu yang terunggul layaknya mereka.
“Kok sama, sih? Padahal, 'kan, gue udah belajar lebih!” racau Nanai masih tidak terima bila nilai mereka sama. Padahal, sedari tadi dirinya yakin akan mendapat nilai tertinggi dan menjadi nomor satu di antara yang lain. Bukan menjadi yang tertinggi bersama mereka.
“Udah, Nai. Nilai lo udah tinggi banget lho itu, sembilan puluh lima. Gue aja nggak pernah dapat nilai matematika segitu seumur hidup hidup gue. Ini gue dapat tujuh puluh aja senengnya udah kebangetan karena nggak ngulang,” kata Leave—teman sebangkunya—menenangkan.
“Tapi harusnya gue bisa dapat lebih dari itu, Lea.” Masih dengan ambisinya yang tinggi, Nanai tetap dengan pemikirannya. Nada bicaranya menandakan kekesalan terhadap dirinya sendiri akibat tidak mendapat sesuai target yang diinginkan.
“Udahlah Nai, kalian bertiga tetap yang tertinggi di kelas ini." Kali ini giliran Maudy yang menyahuti.
“Tapi, 'kan ....”
“Atau lo mau gantikan gue ngerjain remedial nanti?”
“Idih ... itu mah mau lo, ya.” Leave bermaksud membela gadis itu karena menganggap tidak seharusnya Nanai yang mengerjakan pekerjaan Maudy. Kecuali jika dirinya yang mengerjakan remidial, maka Leave sudah dipastikan akan meminta bantuan dari gadis yan memang memiliki kadar otak di atas rata-rata itu.
“Nggak, pokoknya nggak bisa. Ini harus menjadi yang terakhir mereka menjadi yang tertinggi bersama gue. Lain kali bagian tertinggi itu bagian gue sendiri. Sekarang gue harus belajar lebih buat mengalahkan mereka.”
Maudy dan Leave masih tidak mengerti dengan Nanai. Tentang seberapa besar ambisi gadis itu menjadi yang terunggul di antara yang unggul. Berbeda dengan keduanya yang memiliki kemalasan tinggi. Tidak remidial saja, sudah bersyukur.
“Apa, sih, Nai ... yang lo cari dari mengejar nilai dan posisi? Seseorang tidak mungkin selalu menjadi yang tertinggi, selamanya.”
Nanai yang mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Maudy, mengarahkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. “Jika tidak menjadi yang tertinggi, seseorang tidak akan dihargai. Guru dan para murid di sekolah ini sudah mengenal gue sebagai siswa berprestasi, sebagai murid dengan nilai sempurna, dan gue mau mempertahankan itu. Pandangan mereka tidak boleh berubah tentang itu.”
“Sama aja lo cuma ngejar kepopuleran demi diri lo sendiri,” balas Maudy membuat perdebatan mereka semakin panjang.
“Hidup-hidup gue. Tujuan hidup tentang gue itu gue yang atur, bukan orang lain.” Kembali dengan kesombongan yang penuh membuat Maudy dan Leave hanya mampu menghela napas pasrah. Menyerah untuk mengubah mindset sahabatnya itu. Lagipula, mereka juga mendapatkan keuntungan dari isi otak beserta eksistensi sahabatnya itu.
Nilai memang sangat penting untuk dikejar. Dengan rentetan nilai yang tinggi, isi raport akan semakin indah. Dengan nilai juga seseorang dipandang tinggi derajatnya tanpa tau bagaimana asalnya. Nilai bisa mengapresiasi seserang terhadap apa yang dimiliki. Orang pintar pun dinilai dari nilai yang di dapat. Nilai adalah sebagai tolak ukur untuk mengukur kemampuan seseorang. Sebatas itulah yang Nanai ketahui.
Sayangnya tidak seamanya fungsi nilai akan selalu sama. Terkadang pun nilai dapat menyesatkan dan karena nilai bukan segalanya. Meskipun, banyak orang yang bisa melakukan apa pun untuk sekedar mendapat nilai belaka.
Lalu, apa itu nilai sebenarnya?
****
Selamat malam semua, bagaimana kabarnya? Stay save and healty, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Reswara (END)
Teen FictionMemiliki kadar otak di atas rata-rata menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Keinginan untuk terus menjadi yang teratas akan selalu hadir, memancing munculnya persaingan di antara manusia-manusia pintar yang tidak dapat dimengerti. Berbagai...