11 - Hujan

39 6 0
                                    

Langit mulai menggelap, suara petir bersahut-sahutan, membuat gadis dengan rambut yang digerai menutup telinganya rapat-rapat. Beberapa saat kemudian, hujan datang mengguyur kota metropolitan. Membuat beberapa murid yang tadinya berlalu lalang di tepi jalan, mendekat pada halte yang ditempati Nanai. Seketika semua mulai berdesakan sebab tempat yang terbatas.

"Gue masih kena air, nih," ujar gadis yang berada di ujung.

"Gue juga, geser dong!"

"Lo pikir gue nggak? Basah, nih, sepatu gue."

Keadaan mulai ricuh. Semuanya mulai menggeser tempat hingga menimbulkan gerak yang tidak beraturan. Berebut tempat berteduh agar tidak basah terkena air hujan. Atau yang imun tubuhnya lemah, menjaga diri agar tidak jatuh sakit akibat hujan-hujanan.

Dikarenakan hujan yang semakin deras dan cipratan air pun semakin tinggi, orang-orang seakan menjadi egois. Melindungi diri sendiri dari air hujan tanpa mempedulikan orang lain yang basah-basahan karena tergeser tempatnya oleh mereka.

Seperti yang gadis itu alami. Sebab ketidakseimbangannya berdiri serta ketidaksiapannya ketika mereka terus menggeser posisi, akhirnya ia jatuh tersungkur dalam hujan yang deras. Membuat semua tubuhnya basah dan beberapa bagian pakaiannya yang kotor akibat bersentuhan dengan tanah yang bercampur air.

Lutut Nanai terluka, mengakibatkan rasa perih yang menjalar. Meskipun sudah mencoba bangkit berdiri, tetapi nyatanya sulit karena kakinya yang terasa amat kaku untuk digerakkan.

Bukannya menolong, yang ada hanya gelak tawa dari murid-murid yang tengah meneduh. Seakan kejadian barusan merupakan hal lucu yang digunakan sebagai bahan hiburan semata. Mereka tidak tahu, seseorang yang sedang berada di tengah hujan itu menggeram kesal, tidak terima dengan perlakuan mereka.

"Cocok, ya, di situ. Bersanding dengan tempat sampah!"

Kembali, gelak tawa terdengar dari mereka. Terlihat bahagia sekali saat ini.

"Gue mau tolongin, kasian," kata seorang gadis dengan nametag Namira yang sudah berniat melangkahkan kaki. Namun, gerakannya terhenti ketika lenganya ditarik oleh laki-laki di sebelahnya.

"Nggak usah! Ntar lo sakit."

"Iya, Nam. Nggak usah, nanti lo sakit seperti ... Kaira."

Lagi-lagi, mereka semua tertawa, tidak mempedulikan Nanai yang tengah kesulitan berdiri. Tangannya memeluk kuat tubuhnya, menahan dingin yang terasa sampai tulang-tulang. Bibirnya bergetar hebat sebab keadaan dingin yang teramat sangat. Hujan, Nanai tidak menyukai itu.

"Ikut gue," titah seseorang yang entah sejak kapan berada di sana. Membawa payung sebagai pelindung agar tidak kehujanan.

Karena tidak kuat dengan dinginnya air hujan, gadis itu hanya menurut. Mengikuti langkah laki-laki di depannya dengan tertatih. Untuk kedua kalinya, Dean menolongnya. Apakah masih mungkin bila dia ...? Atau ini hanya untuk menebus itu?

Sebab lelah, Nanai mencoba untuk tidak berprasangka. Memasuki mobil sport Dean dengan tubuh yang masih menggigil. Satu detik kemudian, gadis itu mematung menyadari tindakannya.

"Mau ke mana?" tanya Dean ketika melihat Nanai yang hendak membuka pintu mobil.

"Ke luar, gue tadi udah telpon sopir rumah," ujar Nanai beralasan. Memang, gadis itu sempat menelepon sopir bundanya tadi, tetapi sebelum sempat tersambung batrai ponselnya habis terlebih dulu. Karena itulah, Nanai masih belum pulang ke kediamannya hingga kini.

"Di luar hujan," ungkap laki-laki itu.

"Gue tahu, karena gue nggak buta!"

Sebelum Nanai melanjutkan gerakannya, Dean telah melajukan mobilnya terlebih dahulu. Membelah jalanan kota jakarta yang sudah basah akibat air hujan.

Tidak ada percakapan di antara mereka sampai mobil berhenti pada tempat yang telah dituju Dean. Laki-laki itu tidak sekalipun bertanya di mana rumah Nanai, sedangkan gadis itu pun enggan mengeluarkan suara. Jadi, di sinilah mereka berada sekarang, halaman kediaman keluarga Dean.

"Lo bisa cas handphone lo di sini, gue nggak tahu rumah lo," tandas Dean seraya melirik handphone di pangkuan Nanai yang mati total. Selanjutnya, ia beranjak meninggalkan gadis itu sendiri di mobilnya.

Nanai yang tidak tahu akan melakukan apa lantas turut ikut serta turun dari mobil milik Dean itu. "Tunggu!" seru Nanai yang selanjutnya menyusul laki-laki itu dengan seragam basahnya.

"Apa?"

"Tolong, anterin gue pulang."

Untuk pertama kalinya Nanai meminta tolong pada seseorang yang disebut sebagai rivalnya. Meskipun ini adalah kesekian kalinya Dean menolongnya. Sebenarnya, Nanai tidak ingin melakukan hal ini, tetapi mau bagaimana lagi, dirinya memang sedang butuh bantuan dari seseorang. Dirinya tidak ingin jatuh sakit akibat kedinginan yang berujung absen dari jam pembelajaran di sekolah.

"Eh, nggak usah nggak apa-apa." Nanai menyadari tindakannya.

Laki-laki itu melirik Nanai sekejap. Kondisi gadis itu sekarang sangat memprihatinkan. Seragam basah serta beberapa bagian yang kotor terkena tanah. Rambutnya yang tidak beraturan karena terkena guyuran air hujan. Satu lagi, jangan lupakan bibir bergetar gadis itu karena kedinginan.

"Ayo!" ajaknya sebab iba. Bagaimanapun juga, masih ada rasa kemanusiaan di dalam dirinya.

"Hei ... siapa itu, Dean?"

Nanai ingin maju untuk menyalami wanita paruh baya yang baru saja keluar dari rumah itu. Namun, belum sempat melangkah Dean sudah lebih dulu mencegahnya. Padahal, Nanai kira wanita itu ibu dari Dean.

"Bukan urusan Mamah."

Tidak, itu memang benar ibu Dean! Namun, mengapa laki-laki itu seakan tidak menyukainya?

"Pantas saja, sudah punya pacar ternyata. Nilai turun nggak jelas, peringkat nggak naik-naik, ini penyebabnya."

"Dean sudah berusaha, Mah!""

"Mamah nggak peduli dan nggak mau tahu, semester ini harus masuk di posisi paling atas. Buktikan omonganmu kemarin!"

Dean menarik napas kasar, benci dengan keadaan ini. Kemudian, menarik Nanai untuk memasuki mobilnya tanpa mengindahkan keberadaan sang mama, lagi.

"Dean!"

Teriakan Mamanya itu terdengar samar dari dalam mobil Dean yang sudah mulai dinyalakan. Siap untuk mengantarkan gadis itu pulang, walau hanya sebagai pelarian.

Lagi dan lagi, mamanya terus menuntutnya tanpa tahu tekanan mental seperti apa yang sedang ia alami. Bukan hanya dari mama, papa, dan keluarga. Namun juga dari lingkungan pertemanannya yang menuntutnya untuk menjadi terbaik. Mereka hanya peduli pada hasil akhir laki-laki itu, padahal sebuah hasil tidak akan di dapat tanpa usaha.

Parahnya lagi, Nanai pasti mendengar dengan jelas ujaran sang mama tadi dan itulah yang Dean khawatirkan. Bisa jadi Nanai akan semakin meremehkannya dan menganggap ia tidak pantas bersaing di antara mereka.

Mereka semua egois, batinnya.

"Thanks, ya, Dean."

"Lupakan omongan mama gue tadi!" perintah Dean.

Dahi Nanai berkerut karena tidak mengerti dengan maksud laki-laki itu. Namun, dirinya enggan bertanya dan mencoba tidak peduli akan yang sebenarnya dibicarakan Dean.

"Belok kanan di gang yang terdapat pohon beringin di depannya." Gadis itu berkata saat menyadari sudah mendekati rumahnya. Tidak ingin percakapan semakin panjang jikalau nanti Dean bertanya.

"Oke," balas Dean singkat.

Kendati sudah bersama selama beberapa waktu, aura persaingan di antara mereka masih begitu terasa. Wajar saja, ketika ambisius versus ambisius ditandingkan.

****

Nanai ketemu ibunya Dean dan Kaira, nih. Tapi sayangnya pas dalam suasana yang kurang mengenakkan wkwkwk. Makasih, ya, bagi yang udah baca, see you!

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang