14 - Sakit?

46 6 0
                                    

"Kai, bantuin gue, dong, soal yang ini. Gue masih nggak paham."

Suara itu masih terdengar jelas di rungu Nanai. Jika biasanya ia yang akan dimintai tolong dan dihujani banyak pertanyaan ketika mereka kesulitan mengerjakan tugas, kali ini tidak. Mereka lebih memilih untuk mengerumuni meja Kaira agar segera membantu menyelesaikan soal yang belum mereka pahami. Bahkan, tidak ada lagi yang menginginkan keberadaannya sekarang.

Jarak bangku Nanai dan Kaira yang tidak terlampau jauh, membuat gadis itu dapat dengan jelas mendengar ricuh di sana. Seketika rasa iri muncul, ingin kembali dalam masa-masa emasnya. Di mana mereka selalu membutuhkannya dan selalu memerhatikan tentangnya. 

Namun, bukankah harusnya Nanai bersyukur sebab tidak lagi dimanfaatkan? Bukankah seharusnya dirinya bahagia, tidak lagi kesulitan untuk mengajari mereka? Namun, nyatanya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Gadis itu sudah terbiasa, kemudian kebiasaan itu hilang karena sebuah kejadian. Apalagi mengingat kontras sikap teman kelasnya sebelum video itu tersebar dengan sekarang.

"Munafik!" gumamnya pelan. Pada kenyataannya, teman-temanya hanya peduli saat dirinya masih populer, sedangkan saat ia diambang kesulitan dan kegundahan, semuanya pergi bagai angin yang berlalu.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa Nanai masih membutuhkan pengakuan dari mereka mengenai eksistensinya. Dengan mengabaikan sikap mereka pada keadaannya yang seperti ini.

Bahkan tidak ada yang menghiburnya di tengah kekecewaannya atas keputusan sekolah. Padahal bila diingat, ia selalu membantu mereka ketika mereka tidak paham atas penjelasan guru. Bukannya pamrih, tetapi Nanai juga seorang manusia yang ingin presensinya kembali diakui.

Mencoba abai dengan itu semua, Nanai menghela napas pasrah. Bangkit dari duduknya setelah meraih ponsel milik salah seorang laki-laki. Berniat mencari laki-laki itu untuk mengembalikan ponsel yang tanpa sengaja terbawa olehnya.

****

"Dean, bantuin tugas fisika gue, dong!" seru salah seorang yang tengah mengaduk-aduk mienya.

"Mana?"

Setelah mendengar pertanyaan Dean, laki-laki yang diketahui bernama Rama itu pun menyerahkan buku tugas dari pelajaran yang dimaksud. Membukanya, lalu menunjukkan letak soal-soal tersebut.

"Gimana? bisa?"

Dean hanya menganggukkan kepala dengan mata yang masih terfokus pada buku tulis sampulnya bergambar motor trail itu. Entah kenapa, Dean tidak dapat menolak setiap keinginan temannya. Demi untuk pengakuan dirinya dari teman-temannya, bagi Dean tidak masalah.

"Oke bagus!"

Meskipun hanya ucapan 'terima kasih', tapi itu sangat berarti bagi seorang penolong. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah keluar dari bibir temannya meskipun ribuan kali Dean telah membantu mereka. Walau seperti itu, lagi-lagi bagi Dean tidak masalah, karena yang diperlukannya hanya sebuah pengakuan atas keberadaannya, sebatas itu.

"Lo mau ke mana?" tanya Dean ketika mendapati Rama yang beranjak.

"Ke perpustakaan. Buat belajar biar pinter kayak lo sekalian cari gebetan. Mau ikut?"

"Nggak, deh," balas Dean melanjutkan aktivitasnya.

"Gue ikut, deh. Yuk Dean!" Salah seorang lainnya yang juga berada satu meja dengan mereka turut beranjak. Membuat Dean mau tidak mau mengikuti ke mana mereka pergi daripada harus sendiri berada di tengah ramainya kantin. Selain karena tidak lagi lapar, ia juga sedang malas mendengar kebisingan kantin. Jadi, mungkin mengikuti mereka bukanlah sesuatu hal yang buruk baginya.

"Dean!"

Belum juga sempat melangkah lebih jauh, langkah Dean terhenti ketika mendengar namanya terpanggil. Begitu juga dengan ketiga temannya yang turut berhenti, penasaran akan suara yang memanggil Dean tersebut.

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang