5 - Tawaran

77 8 0
                                    

“Bagaimana Kaira dengan tawaran saya?”

Rasa senang akibat ditawari untuk mengikuti olimpiade oleh Pak Baskara secara esklusif tidak dapat Kaira tutupi. Dengan sangat antusias, Kaira menganggukan kepalanya penuh semangat. "Iya, Pak," jawabnya.

Dalam ajang kali ini lagi-lagi Kaira ingin menjadi yang terbaik di atas kakaknya, Dean yang juga ditawari untuk mewakili sekolah menjadi peserta olimpiade sama sepertinya.

Selain mereka berdua, di sana juga terdapat Nanai yang juga diikutsertakan dalam olimpiade bersamanya. Persaingan yang terjadi begitu kentara dari mereka bertiga. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri sebab memang merekalah yang terbaik dari angkatan kelas sepuluh. Karena itu mereka bertiga sudah dipastikan akan terpilih dalam olimpiade itu.

“Nanai? Dean?”

Nanai dan Dean hanya mengedipkan mata pelan. Pertanda menerima dengan senang hati tawaran dari Pak Baskara. Tidak ada senyuman yang terpampang dari wajah keduanya, tidak seperti Kaira yang memang sedari awal sudah seantusias itu. Sebaliknya, raut  teganglah yang terhias di wajah mereka.

“Terima kasih, saya harap kalian bisa bekerjasama dengan baik. Untuk sistem pelaksanaannya akan saya beritahu saat sudah mendekati pelaksanaan olimpiade tersebut.”

Mereka bertiga mengangguk dengan pasti. Baik Kaira, Nanai, maupun Dean—sudah sama-sama memahami perihal pelaksanaan olimpiade itu. Karena memang ketiganya sudah terhitung sering mengikuti olimpiade saat masa sekolah menengah pertama. Meskipun kata Pak Baskara olimpiade kali ini sedikit berbeda, tetapi setidaknya sedikit-banyaknya hampir sama.

“Kami dari pihak sekolah berharap banyak kepada kalian. Kalian terpilih, artinya kalian kami anggap mampu dalam mengemban tugas ini. Belajarlah dengan giat, beri yang terbaik saat pelaksanaan olimpiade nanti,” tandas pria paruh baya yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah itu. Menatap ketiganya penuh harap. “Terakhir semangat untuk kalian, jalani dengan senang hati, ya?”

“Terima kasih, Pak.” Suara itu berasal dari Nanai. Setelah sekian lama berada di ruangan dengan nuansa kelabu itu, akhirnya gadis itu menunjukkan deretan giginya kendati hanya sesaat.

“Baik, saya kira kalian sudah paham dengan apa yang tadi saya sampaikan. Jika masih ada pertanyaan atau masih ada yang belum kalian pahami silahkan hubungi saya.  Kalian bertiga boleh kembali ke kelas.”

Setelahnya, mereka bertiga pamit, kemudian bangkit keluar dari ruangan itu. Rasa senang pasti ada walau tidak ditunjukkan secara gamblang oleh ketiganya. Namun, tantangan ini membuat mereka semakin ambis dalam mengejar nilai. Tentang siapa yang akan menjadi yang terbaik nantinya. Juga tentang siapa yang dapat mempertahankan eksistensinya sebagai murid berprestasi di sekolah ini.

****

Nanai berjalan pelan menuju kelas, diikuti Dean serta Kaira dibelakangnya. Entah, kenapa mereka tidak berjalan bersandingan dengan mengobrol atau bertukar pikiran tentang persoalan tadi atau apa pun yang mereka ketahui. Padahal, 'kan, pastinya banyak yang ingin dibicarakan di antara orang- orang pintar serta berpengalaman seperti mereka.

Akan tetapi, tidak ada yang menampik bahwa hal tersebut terjadi pasti ada penyebabnya. Mungkin karena persaingan di antara mereka yang terlalu besar atau sebab hal lain.

Melirik sekilas ke arah belakang, Nanai diam-diam memperhatikan pergerakan laki-laki itu. Tersenyum singkat sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki dengan cepat menuju kelasnya. Dirinya tidak ingin terlampau banyak tertinggal mata pelajaran hanya karena terlalu lambat  berjalan. Bisa-bisa nilai yang akan menjadi taruhannya di kemudian hari.

“Lea, pinjam buku catatan lo yang tadi,” pinta Nanai sambil menduduki bangkunya. Tadi sebelum masuk kelas, ia sudah meminta izin pada guru yang mengajar untuk kembali mengikuti pelajaran sebab sebelumnya ia dipanggil oleh Pak Baskara.

Leave yang mengerti pun langsung menyerahkan catatan yang dimaksud kepada sahabatnya. “Gimana, Nai, tadi? Diapain sama Pak Baskara?” tanyanya penasaran.

“Ditawari jadi perwakilan Olimpiade Sains Nasional jenjang SMA sederajat.”

Tidak terkejut dengan penawaran itu, Leave dan Maudy menganggukan kepala pelan. Paham mengapa Nanailah yang diminta untuk menjadi perwakilan sekolah. Sebab, gadis itu memang pantas untuk mengikuti ajang tersebut.

“Lo terima?” Pertanyaan tersebut keluar dari mulut Maudy. Ingin memastikan tentang jawaban apa yang gadis itu beri. Walaupun dirinya sudah yakin bahwa Nanai akan menerima tanpa banyak berpikir lagi, mengingat kepopuleran gadis itu mulai menurun dari kemarin. Diduga yang menjadi penyebabnya ialah nilai matematikanya yang tidak lagi sempurna dan hal tersebut mampu membuat tekad Nanai semakin tinggi.

Namun, bila ditilik kembali hasil yang gadis itu dapatkan sudah cukup baik. Sayangnya  hal itu tidak lagi terlihat hebat di kalangan siswa-siswi SMA Cemara yang memang menjunjung tinggi seseorang yang berprestasi. Maklum saja, SMA Cemara merupakan salah satu sekolah menengah atas unggulan di Jakarta. Jadi, tidak mengherankan jika sebagian besar isinya merupakan manusia pintar dengan tekad kuat seperti Nanai.

“Ya kali gue tolak tawaran sebagus ini, dari Pak Baskara lagi. Terus juga gue bisa naikin popularitas gue di sekolah ini.” Dengan keyakinan penuh, Nanai menjawab pertanyaan yang baru saja diajukan oleh sahabatnya itu. Lagi, semua tentang popularitas yang selalu dikejar oleh gadis satu itu.

“Terus apa yang bakal lo lakuin?” tanya Leave, cukup penasaran dengan rencana Nanai berikutnya.

“Dari kekalahan gue kemarin sebab tidak bisa lebih unggul dari mereka, gue pengen coba cari kelemahan mereka dulu. Karena gue nggak mau kalah untuk kedua kalinya dan kali ini gue harus jadi yang terbaik sampai selamanya.”

Maudy hanya dapat geleng-geleng kepala mendengar pernyataan Gadis di hadapannya itu. “Masih soal kemarin? 'Kan nilai sama itu sudah menjadi hal yang wajar dalam persaingan antar pelajar. Seharusnya hal itu juga menjadi sesuatu yang biasa juga buat lo.”

“Tapi, Nanai udah belajar lebih untuk ulangan itu supaya kembali menjadi yang terbaik dengan nilai sempurna. Memang, sih, seharusnya hal itu sudah tidak menjadi persoalan lagi saat ini. Namun, apa lo nggak mengerti perasaan sahabat sendiri ketika selayaknya kalah dari musuh terbesar?” timpal Leave sebelum Nanai sempat menjawab perkataan Maudy.

“Maksud gue bukan gitu, tetapi setiap orang pasti ada saatnya di bawah termasuk nilai yang terkadang rendah. Hal itu wajar gitu lho, nggak perlu sampai dipikirin banget.” Maudy kembali menjelaskan kepada Leave juga Nanai. Agaknya sedikit ada kesalahan pemahaman atas kalimatnya tadi. Padahal tidak demikian, melainkan ia ingin sedikit membuka otak Nanai agar tidak melulu berisi tentang nilai, peringkat, lawan, dan sebagainya yang berhubungan dengan hal tersebut.

“Gue tau, kok, maksud lo. Gue cuma pengen memperbaiki nilai dan mempertahankan eksistensi di sekolah ini.” Nanai menatap Maudy sekilas, kemudian beranjak dari duduknya. Melangkah keluar kelas dengan mengantongi kartu yang akan digunakannya untuk meminjam buku.

Ya, tujuan gadis itu sekarang adalah perpustakaan. Sesuai dengan pengarahan Pak Baskara tadi, dirinya dan beberapa murid lain, diminta untuk meminjam buku. Sebagai sarana belajar bagi mereka juga upaya untuk persiapan olimpiade mendatang.

****

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Masih kuat buat lanjut baca?

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang