3 - Rival

108 11 1
                                    

Mentari mulai naik ke atas singgasananya, pertanda pagi menjelang. Namun, hal tersebut tidak mampu membuka mata Nanai yang masih saja terlelap. Gadis itu mempunyai kebiasaan tidak bisa bangun jika tidak dibangunkan ibunya. Syukurlah, beberapa  saat kemudian sang ibu datang. Membangunkan Nanai dengan cara yang berbeda dari yang lainnya.

“Roti isi keju sudah siap.”

Hanya dengan satu kalimat yang keluar dari mulut ibunya itu dapat membuat Nanai menggeliat seketika. Membuka matanya perlahan, kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk bersiap sekolah. Sedangkan, sang ibunda mengawasi pergerakan putrinya melalui tempatnya berdiri. Memastikan bahwa gadis itu melakukan rutinitas paginya.

Bagi sebagian orang, cara Desvia membangunkan putrinya itu tergolong unik. Akan tetapi, bagi dirinya dan putrinya—Nanai—hal tersebut  sudah menjadi kebiasaan. Setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk membesarkan anaknya. Tujuan yang sama, mereka hanya ingin memberi yang terbaik untuk sang anak.

Sementara Nanai sedang mandi, Desvia membereskan kamar yang tampak berantakan itu dengan telaten. Buku-buku berjajaran tidak beraturan di kasur diambilnya dan diletakkan di meja dekat jendela. Kondisi seprai yang terlipat sana sini, ia rapikan. Jangan lupakan pula bantal dan guling yang sudah tidak berada di tempatnya. Seraya membereskan, Desvia geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang putri.

“Begadang lagi buat belajar, Na?” Meskipun lontaran pertanyaan itu begitu lembut, tetapi masih dapat dengan jelas terdengar oleh indra pendengaran Nanai yang telah mematikan shower di dalam sana.

Bukannya tanpa sebab, gadis itu seringkali terlalu over dalam mengejar sesuatu. Tanpa disadari hal tersebut mengundang kekhawatiran dari beberapa pihak, termasuk sang ibunda. Takut-takut bilamana kesehatan gadis itulah yang terganggu akibat keberlebihannya dalam mengejar sesuatu. Tekad memang sangat diperlukan, tetapi ada yang lebih penting dari itu.

“Ngejar ketertinggalan nilai, Bun,” jawab Nanai yang telah keluar dari kamar mandi. Gadis itu seolah tidak menangkap nada khawatir ibunya yang keluar beberapa saat lalu.

“Sembilan puluh lima?” Kembali sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Desvia ketika matanya menangkap dua digit angka pada selembar kertas yang ia pegang.

“Sedikit, kan? Harusnya aku bisa dapat nilai yang sempurna.”

Desvia hanya mampu menggelengkan kepala pelan. Putrinya itu selayaknya fotocopy-an dari sang suami. Apalagi ketika menyangkut besarnya ambisi yang ingin dicapai. Kata menyerah hampir tidak dikenal keduanya. “Apa, sih, yang kamu kejar, Sayang?”

Berpikir lagi tentang jawaban yang harus diberi. Gadis itu tersenyum kepada sang ibunda, lantas berkata, “Semuanya, andai bisa aku ingin semuanya yang ada di dunia ini, Bun. Termasuk makan. Ayo makan roti kejunya!”

Nanai berteriak pada kalimat terakhirnya.  Dirinya berlari dan dengan cepat menuruni tangga untuk sampai di meja makan. Tempat di mana makanan favorite-nya sudah tersaji rapi di sana. Perut Nanai seakan sudah tidak sabar lagi menjadi tempat bersarang dari makanan lezat itu. Seberapa pun banyak roti isi keju yang tersedia, akan habis dimakan gadis itu.

Desvia menatap kepergian Nanai dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Wanita paruh baya itu hanya mengingikan yang terbaik bagi putrinya. Ia tidak menuntut apa-apa selain kebaikan putrinya. Akan tetapi, sayangnya ambisi yang dimiliki Nanai membuatnya takut akan sesuatu yang terjadi di masa depan. Semua tidak akan selalu baik-baik saja seperti yang dikira. Kapan pun takdir bisa saja mempermainkannya.

****

Gadis dengan kacamata bulat itu sudah berada di dapur sejak pagi. Membantu sang mama untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Baginya, itulah kewajibannya sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua.

“Sayang, panggil Kakakmu gih di kamar.”

Gadis bernama Kaira itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dan menuruti perintah dari mamanya. Berjalan mendekat kearah kamar sang kakak yang berada di dekat tangga, kaira menunduk. Bersiap jika nanti berhadapan dengan kakaknya itu.

“Kak—“

Belum selesai kalimat yang dilontarkan Kaira, kakaknya sudah membuka pintu kamar terlebih dahulu. Berlalu begitu saja sepeti tidak melihat kehadiran kaira—gadis  yang dianggapnya sebagai rival sedari saat mereka kecil.  Kaira yang sudah tahu hal ini akan kembali terjadi, hanya dapat menatap kepergian sang kakak dengan rasa bersalahnya.

Meskipun dengan rasa bersalahnya, Kaira tidak akan pernah mengalah kepada siapapun. Sebuah poin yang selalu diajarkan mamanya dan akan selalu diingat olehnya.

“Kenapa, sih, kamu tidak pernah bisa lebih baik dari Kaira? Baik nilai maupun sikap, padahal kamu itu laki-laki yang akan menjadi pemimpin nantinya.”

Pemandangan itu lagi yang Kaira lihat. Ada rasa sedih ketika melihat kakaknya selalu saja dibandingkan dengan dirinya. Namun, senang lebih mendominasi ketika mendengar dirinya dipuji. Selalu dibanggakan oleh sang mama di depan teman arisan, keluarga besar, beserta kakaknya. Dan Kaira sudah bertekad untuk mempertahankan itu. Ia belum siap bertukar posisi dengan sang kakak.

Kaira sudah pernah merasakan dibanding-bandingkan saat dirinya masih kecil. Saat kakaknya selalu saja lebih tinggi darinya. Kaira tidak ingin mengalami hal itu lagi, sudah cukup. Maka dari itu, ia ingin mempertahankan yang dimilikinya saat ini dengan menjadi yang terbaik. Baik di kelas maupun di rumahnya sendiri.

Sedangkan, Dean semakin membencinya sebab tidak terima.

“Mah, semester ini aku akan menjadi yang tertinggi. Lebih dari Kaira.” Perkataan Dean itu terdengar begitu menggebu.

“Mamah perlu bukti, bukan janji.”

Balasan dari mamanya itu ia anggap sebagai tantangan. Tantangan yang bilamana dirinya kalah hanya akan menimbulkan ketidakterimaan yang lebih besar. Tetapi, Dean tidak akan mau kalah begitu saja. Dirinya yang terbaik dan selamanya akan seperti itu.

“Kita lihat saja, siapa yang lebih tinggi,” kata Kaira mendekat ke arah Dean. Tersenyum miring pada seseorang yang pernah satu rahim dengannya itu. Menguatkan persaingan yang terjadi diantara mereka.

****

Dean berjalan menyusuri koridor yang ramai akibat murid yang berdatangan ke sekolah. Namun, hal tersebut tidak mengambil atensinya ke sekitar. Ia masih memikirkan tantangan yang secara tidak langsung dikobarkan oleh sang mama dan juga Kaira.

Dulu saat ia masih menduduki bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, Dean tidak pernah memusingkan perihal persaingan. Padahal dulu, ia dan Kaira sudah kejar-kejaran nilai yang berakhir dirinyalah pemenangnya. Tapi, entah karena apa sekarang sepertinya  jauh lebih rumit dari yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Sekarang mengungguli gadis itu jauh lebih sulit dan mendapatkan kembali nilai sempurna pada beberapa mata pelajaran serasa menjadi hal yang mustahil. Ditambah lagi seorang gadis yang katanya jauh lebih pintar dari mereka berdua. Kepercayaan diri Dean semakin dipertaruhkan saat ini.

“Dean, hari ini ada ulangan harian biologi di kelas. Jangan sampai lo kalah lagi kalau nggak mau jadi bahan tertawaan anak-anak seperti kemarin.” Peringatan yang diberikan Andre itu membuat Dean memejamkan mata sejenak. Bagaimana bisa dirinya sibuk memikirkan sang rival sampai lupa tentang  ulangan yang sudah diberitahukan seminggu yang lalu itu.

“Oke.”

****

Hai! Jumpa lagi bersama penulis cantik nan menggemaskan. Salam kenal bagi yang baru mulai membaca cerita ini, semoga suka. Salam hangat!

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang