"Gue jadi kepo sama keluarga cowok itu, Dean," ungkap Nanai seraya mengeringkan rambutnya yang basah karena keramas. Memikirkan kembali kejadian beberapa waktu lalu serta cara bersikap mama dari laki-laki itu.
Tadi, ketika Dean mengantarnya pulang, gadis itu langsung masuk ke rumah tanpa mengatakan apa pun. Selain karena memang tidak ada yang ingin dikatakan, tetapi juga sebab Nanai yang ingin segera membersihkan diri. Mandi menggunakan air hangat akibat dinginnya cuaca.
"Apa mungkin sifat ambisius Dean karena pengaruh mamanya?" tanyanya mencoba menyimpulkan sendiri dari hubungan ibu dan anak tadi. "Atau ada hal lain yang mempengaruhi?"
Gadis itu lalu melepas handuk yang sedari tadi berada di kepala. Memastikan rambut indahnya sudah kering lalu menyisirnya perlahan agar tidak rontok. Gerakannya tiba-tiba saja terhenti saat menyadari sesuatu. Nanai menatap dirinya di cermin, lantas berkata, "Tapi, ada keuntungan juga buat gue. Gue bisa jadikan ini untuk menjatuhkan dia dengan faktor eksternal itu. Secara nggak langsung, tujuan gue udah mulai tercapai."
Setelah mengucir rambutnya dengan rapi, Nanai bangkit dari duduknya. Meninggalkan meja rias yang tadi ditempati menuju kasur empuknya. Merebahkan dirinya, lalu mencabut charger ponsel meskipun belum penuh, baru terisi lima puluh persen dari total keseluruhan kapasitas baterai.
Sebelum sempat menyamankan posisinya, tatapan Nanai beralih pada ponsel lain yang berada di atas nakas. Ponsel milik seseorang yang tanpa sengaja terbawa oleh tangannya. "Apa mungkin dia?" tanyanya pada diri sendiri, mengingat kejadian tadi pagi.
Meskipun hanya beberapa kemungkinan saja, tetapi bukannya tidak mungkin dugaannya dan juga teman-temannya memang benar adanya. Di sisi lain otaknya menolak percaya, tapi juga bagian lainnya mengarah kepada laki-laki itu.
Karena tidak ingin terlarut dalam asumsinya, Nanai ingin membuktikan kebenarannya. Berniat meraih ponsel berlogo apel milik laki-laki itu untuk melihat isinya.
Namun, belum juga meraih ponsel itu, suara ketukan pintu mengambil alih atensinya. Membuat Nanai mengurungkan niat untuk melihat isi ponsel Dean. Kendati demikian, hal tersebut bisa dilakukan kapan saja selama ponsel itu masih berada di genggamannya.
Tampak, tubuh ibunya yang muncul dari balik pintu. Dengan membawa sebuah amplop yang Nanai tidak tahu isinya.
"Bunda?" panggilnya dengan nada bertanya sebab tidak biasanya bundanya itu datang ke kamar tanpa tujuan yang jelas. Kecuali ketika pagi hari untuk membangunkannya dan memastikan dirinya bersiap sekolah, itupun termasuk tujuan jelas.
"Bunda mau tanya sesuatu, boleh?"
Nanai hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban untuk pertanyaan yang baru saja diajukan itu. Menatap sang bunda, menunggu pertanyaan yang akan ibunya lontarkan.
"Kamu melakukan apa di sekolah sampai Bunda mendapatkan surat panggilan ini?" tanya Desvia seraya mengankat amplop dengan logo SMA Cemara itu.
Pihak sekolah sudah tahu, bagaimana ini? tanyanya dalam hati tidak tahu kepada siapa.
"Anu, Bun. A-aku mengunci salah satu temanku di bilik toilet, maaf," akunya tidak dapat berbohong pada sang ibunda. Sebagaimanapun ia menyembunyikannya, pada akhirnya ibunya itu pasti akan tahu.
Melihat tidak ada tanggapan selain tatapan yang tidak dapat diartikan dari wanita paruh baya di depannya, Nani mulai menggerakkan tangannya. Memberanikan diri untuk menyentuh jari jemari sang ibunda.
"Nanai janji, ini untuk yang terakhir kalinya, Bun. Waktu itu aku cuma terbawa emosi."
"Karena apa? Nilai lagi?" Tebakan Desvia itu mampu membuat putrinya mematung. Hingga beberapa waktu kemudian menganggukkan kepala pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reswara (END)
أدب المراهقينMemiliki kadar otak di atas rata-rata menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Keinginan untuk terus menjadi yang teratas akan selalu hadir, memancing munculnya persaingan di antara manusia-manusia pintar yang tidak dapat dimengerti. Berbagai...