Bel pertanda istirahat sudah berbunyi semenjak beberapa menit lalu. Para murid yang menunggu waktu itu tiba pun segera bergegas menuju kantin. Tidak terkecuali seorang gadis yang terkenal paling populer di SMA Cemara, diikuti dua gadis lainnya disamping kanan-kirinya. Menjadi perhatian ketika berpapasan dengan murid-murid lainnya.
Bisikan-bisikan di sekitar yang terdengar di telinganya membuat Nanai semakin membanggakan diri. Pujian serta beberapa murid yang mengelu-elukan namanya, sudah selayaknya ia dapatkan.
Dengan dagu yang terangkat ke atas, gadis itu berjalan menyusuri ramainya koridor yang dipenuhi oleh siswa-siswi yang berlalu lalang. Berjalan dengan percaya dirinya menuju kantin yang sudah dikerumuni manusia-manusia kelaparan.
"Gue ice coffe seperti biasa."
"Gue mie ayam sama pop ice rasa permen karet."
Maudy mengangguk mendengar pesanan dari kedua temannya. Berjalan menuju tempat ibu kantin untuk menyampaikan pesanan mereka dan juga pesanannya.
Sementara, Nanai mengedarkan pandangan. Mencari meja kosong di antara para murid yang sedang mengantri untuk membeli makan. Sampailah matanya tertuju pada sebuah titik. Meja di tengah-tengah kantin, satu-satunya meja yang kosong saat ini.
Bagi seseorang yang populer seperti Nanai, berada di tengah-tengah para pencari makan tidaklah masalah. Malahan, ada keuntungan tersendiri yang membuatnya menjadi pusat perhatian di antara yang lainnya.
Tidak seperti bayangannya, tempat itu sudah lebih dulu ditempati oleh dua orang remaja laki-laki sebelum dirinya sampai. Menyadari salah satu dari keduanya adalah saingan terberatnya, membuat Nanai berjalan cepat menuju tempat itu. Berniat mengusir dua laki-laki tersebut dari tempat yang sudah menjadi incarannya.
"Permisi, bisa lihat papan yang tertempel di sana?" tanya Nanai dengan nada yang dilembut-lembutkan seraya menunjuk warning yang tertempel di salah satu sisi dinding kantin. Sebuah papan peringatan yang berisi penjelasan wanita harus lebih diutamakan, salah satunya untuk mendapatkan tempat duduk di kantin.
Pertanyaan Nanai hanya mendapat sikap abai dari laki-laki yang diajak berbicara. Karena kesal sebab tidak mendapat tanggapan, Nanai memukul meja dengan tidak terlalu keras. Akan tetapi tetap mendapatkan atensi dari beberapa orang.
"Kenapa?" tanya laki-laki itu seolah tidak tahu apa-apa.
Gadis itu kembali menunjuk pada Papan peringatan yang ia maksud. Dean yang tahu maksud dari gadis itu pun mengikuti arah tunjuk Nanai. Mendapat sebuah tulisan yang membuatnya tersenyum miring. Kemudian, Dean melirik Nanai sekejap.
Sengaja ingin membuat gadis itu kesal, Dean meraih ponselnya lalu memainkannya. Tidak lagi memperdulikan gadis di sebelahnya yang sedang menahan amarah.
Leave yang mendapati ada meja yang kosong selain meja itu pun menarik lengan Nanai. Menjaga agar tidak terjadi perang dunia yang kesekian di kantin ini.
"Udah, Nai. Kayaknya lo punya dendam terselubung sama Dean. Karena kemarin, ya?"
Nanai menghela napas pelan sembari mencari posisi ternyaman untuk duduk. "Harusnya, dia sebagai laki-laki mau ngalah tadi. Dan, ya, soal dendam kemarin memang benar adanya."
Sebenarnya, niat Nanai tadi untuk memberi pelajaran pada Dean dengan mengusir laki-laki itu dari tempatnya. Sebagai ajang pengungkapan rasa kesalnya akibat kejadian kemarin. Di mana dirinya tidak mendapat nilai tertinggi saat itu sebab ada yang menyamainya.
"Ada apa, sih?" tanya Maudy yang baru sampai dengan membawa pesanan mereka, dibantu oleh ibu kantin. Melihat raut kesal Nanai, membuatnya meyakini ada sesuatu yang terjadi.
Tanpa berbicara, Leave memajukan matanya, menunjuk ke arah meja Dean. Maudy menggeleng pelan, lalu mengarahkan penglihatannya ke arah Nanai. "Dean lagi?" tanyanya.
"Dia tuh kayak makin nantangin gue."
"Lo aja kali yang merasa seperti itu," sahut Maudy.
Menyedot ice coffe-nya, Nanai mendelik ke arah temannya sedari sekolah menengah itu. "Semenjak kita masuk ke SMA ini, gue udah merasa bendera peperangan dikobarkan sama dia. Apalagi saat tahu kita sekelas, pandangan dia ke gue itu seolah memgintimidasi."
"Dia, 'kan, juga sama ambisnya kayak lo. Lalu lo juga waktu pendaftaran jadi yang pertama, 'kan, dengan nilai sempurna. Mungkin aja karena itu." Leave turut menimpali. Mencari kemungkinan-kemungkinan yang menjadi sebab dari persaingan tinggi antara Dean dan Nanai. "Lagipula kalian sama-sama mempunyai kadar otak di atas rata-rata. Jadi, ya, wajar aja," lanjutnya.
"Tetap aja, gue nggak suka sama dia."
"Gini, ya, Nai. Persaingan lo sama Dean itu ketat banget. Ditambah ada Kaira juga yang sama ambisnya seperti kalian. Aku yakin banget baik lo, Dean, maupun Kaira; kalian sama-sama mempunyai sifat 'tidak mau kalah'. Konteks ini bukan hanya dalam hal nilai dan peringkat, tetapi mencakup semuanya. Lo pinter, lo pasti paham maksud gue, 'kan, Nai?"
Nanai mengangguk, tersadar akan besarnya persaingan di antara mereka. Padahal, pada masa sebelum-sebelumnya, ia kira persaingan ini adalah persaingan biasa seperti sewaktu sekolah menengah. Akan tetapi, nyatanya lebih dari itu.
Melirik Dean sekilas, Nanai kemudian berkata, "Tapi, gue masih ada keheranan terhadap manusia yang satu itu."
Dahi Leave dan Maudy berkerut, tidak paham tentang maksud dari Nanai.
Paham dengan kebingungan sahabatnya, Nanai kembali mengeluarkan suara. "Bentar."
Nanai bangkit, kemudian meraih pop ice rasa permen karet milik Leave yang belum tersentuh oleh sang empunya. Mendekat ke arah Dean dan meletakkannya di depan laki-laki itu.
Seketika, Dean mendongak. Mendapati sosok Nanai yang kembali berada di dekatnya. Ada tanda tanya besar yang berkelit di kepala Dean. Tentang mengapa dan apa tujuan dari gadis itu kembali datang kepadanya.
"Maaf, tadi udah ganggu lo," seloroh Nanai. Cakap terhadap isi kepala Dean.
Kembali tidak mendapat respond membuat Nanai mengumpat dalam hati. Nama-nama hewan di kebun binatang sudah siap terucap dari mulut manisnya jika saja gadis itu tidak ingat tujuan sebenarnya ia menghampiri seorang Dean.
Mata Nanai beralih pada pada ponsel Dean yang sedang dimainkan oleh laki-laki itu. Dengan inisiatif tinggi, Nanai mengambil begitu saja ponsel dari tangan Dean. Sedetik kemudian dirinya mendapat tatapan tajam dari laki-laki dihadapannya itu.
"Dengan seperti ini, lo makin ganggu gue," ujar Dean dingin. Kemudian bangkit dan merebut paksa ponselnya dari genggaman Nanai. "Pinter, tapi nggak ngotak. Sama aja, percuma!" Dean berlalu pergi setelahnya. Meninggalkan Nanai bersama Andre yang menatap bingung kepada keduanya.
Nanai menggeram kesal mendengar kalimat terakhir dari Dean. Cukup sakit hati dengan sebuah kalimat yang barusan dilontarkan Dean.
Sementara Andre hanya mampu menepuk pelan pundak Nanai. Memberi kesabaran dari sikap Dean tadi. "Sabar, Dean emang gitu."
Namun, kata-kata tersebut tidak mampu merubah pemikiran Nanai tentang Dean. Kali ini gadis itu tidak akan pernah mengalah setelah mendapat perlakuan seperti itu dari Dean.
"Awas lo, Deano Erland Fairhante."
****
Apa yang akan dilakukan Nanai kepada Dean? Yuk, terus ikuti kelanjutannya, ya!
![](https://img.wattpad.com/cover/289354041-288-k892108.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reswara (END)
Novela JuvenilMemiliki kadar otak di atas rata-rata menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Keinginan untuk terus menjadi yang teratas akan selalu hadir, memancing munculnya persaingan di antara manusia-manusia pintar yang tidak dapat dimengerti. Berbagai...