6 - Terjebak

70 8 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 17.49, tetapi laki-laki itu tampak enggan untuk beranjak. Agaknya sudah terlalu nyaman dengan posisinya sekarang. Bergelut dengan berbagai soal angka-angka yang jika orang lain melihatnya sudah malas duluan. Namun, berbeda dengan laki-laki tersebut yang masih tampak excited dengan kumpulan soal yang dikerjakannya sedari pulang sekolah itu.

Sengaja tidak pulang ke rumah, Dean lebih memilih untuk menetap di pantai. Menikmati senja dengan kertas-kertas di hadapannya. Sesuai arahan dari Pak Baskara tadi, dirinya ditugaskan untuk mengerjakan soal bagian pertama dari kumpulan soal di buku itu yang besok pagi rencananya akan dibahas bersama guru pembimbing.

Beristirahat sejenak, laki-laki itu mendongak. Menatap hamparan pasir putih yang tampak begitu indah. Kontras dengan birunya laut dan langit jingga yang sebentar lagi akan menggelap. Sadar dengan malam yang akan segera datang, Dean bangkit. Membereskan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas. Ini saatnya pulang dan bertemu kembali dengan orang-orang yang tidak ia senangi.

Dean mulai melajukan motornya di tengah padatnya jalanan ibu kota. Beberapa tempat yang macet akibat terlalu banyak kendaraan yang berada di jalanan memaksa Dean untuk berhenti. Mau tidak mau, ia harus lebih bersabar kali ini. Meskipun, menunggu adalah sesuatu yang paling Dean benci selama enam belas tahun lebih dirinya hidup.

Tanpa sengaja, Dean menangkap salah seorang yang ia kenali berada di bahu jalan. Dengan inisiatif yang dimiliki, Dean menepikan motornya. Berniat untuk menghampiri sosok itu meskipun egonya dengan keras menolak. Akan tetapi, rasa ibanya jauh lebih besar tatkala melihat raut ketakutan dari wajah sosok tersebut. Ditambah sekelilingnya terdapat sekelompok laki-laki yang lebih terlihat seperti preman. Gadis itu meringkuk saat salah satu dari mereka mulai berani menyentuhnya.

“Lo pinter, tapi lo lebih bodoh dari seseorang yang bodoh,” kelakar Dean saat sudah berada di dekat gadis itu.

Sosok gadis yang sedari tadi meringkuk itu sejenak mendongak, setetes air mata jatuh dari pelupuknya. Kemudian kembali membenamkan kepala dalam lipatan kakinya. Mengabaikan apa yang terjadi di sekitar, meskipun tahu dirinya tidak sedang dalam suasana yang baik-baik saja kali ini. Gadis itu hanya berharap saat ini hanya mimpi belaka dan ketika bangun semua menjadi baik-baik saja.

Akan tetapi, suara seorang laki-laki yang beradu menarik atensinya. Ia mulai memberanikan diri mengangkat kepala lebih lama lagi. Pemandangan yang ia dapat hanya tonjok-menonjok antara seorang laki-laki dengan ketiga berandal yang menganggunya tadi.

Lantaran tidak tahu harus berbuat apa, gadis itu hanya diam di tempat. Mematung menyaksikan kejadian di depannya, takut. Andai suaranya tidak tertahan, sudah diyakini gadis itu akan berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan yang ia rasa saat ini. Seandainya juga ia masih punya kekuatan dan tubuhnya tidak bergetar sekarang, mungkin lari adalah jalan yang gadis itu ambil. Sayangnya untuk berpindah tempat saja rasanya sangat sulit.

“Buang-buang waktu.” Laki-laki itu kemudian beranjak setelah menyelesaikan aksi heroiknya.

Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu bangkit saat tersadar dirinya telah aman. Seragam dengan logo SMA Cemara menjadi salah satu identitasnya.

“Terima kasih,” kata gadis itu dengan bibir yang masih bergetar.

Keadaan tadi, mengingatkannya dengan sebuah kejadian yang merenggut nyawa teman masa kecilnya dulu. Ilmu psikologis menyebutnya dengan ‘trauma’. Tetapi, baginya itu adalah kehancuran, menakutkan serta menyeramkan.

“Makasih, Dean.” Lagi, gadis itu mengungkapkan rasa terima kasihnya. Kendati ia tidak berharap laki-laki yang merupakan saingannya itu menolong dirinya. Walaupun jujur saja, gadis itu tetap akan bersyukur sebab telah selamat dari ketiga pemuda berandal yang menganggunya itu.

“Nanai, Gue kira lo gadis yang pintar, tapi nyatanya sangat bodoh. Bukannya teriak atau lari, malah diam di tempat. Bocah TK aja tahu kalau ada yang gangguin teriak atau nggak lari, bukannya nangis. Bodoh!”

Nanai yang tidak terima diejek seperti itu oleh saingannya sendiri, mendelikkan mata. “Kalau nggak tahu apa-apa, lebih baik diam. Lo tampak lebih bodoh dari gue, tahu nggak?”

“Setidaknya, gue lebih bisa menjaga diri gue,” balas Dean sebelum berlalu dari sana. Kembali meninggalkan gadis itu sendiri di tepi jalan.

Kejadian tidak sengaja itu membuat Nanai termenung untuk sesaat. Tampak berpikir dengan dirinya tadi.  Setelah tersadar, gadis itu dengan cepat berlari mengejar Dean. Seharusnya, kejadian—yang merupakan kebetulan—ini dapat menguntungkan Nanai. Perihal rencananya siang tadi untuk mengetahui kelemahan pesaingnya itu demi untuk tetap menjadi yang terbaik.

Namun, kaki Nanai yang berlari itu tiba-tiba saja berhenti. Mengingat egonya yang tinggi tidak memungkinkan gadis itu untuk mengejar seorang laki-laki. Akan tetapi, senyum miring Nanai mulai tampak saat menatap kepergian Dean.  “Lihat saja, besok gue akan beraksi. Lo nggak mungkin bisa melebihi gue kapan pun itu.”

Setelah sosok Dean mulai mengecil di ujung jalan dan lama-lama tidak terjangkau lagi oleh netranya, Nanai mengambil ponsel dari saku rok seragam yang ia pakai. Membuka layar locksreen untuk menghubungi seseorang yang bisa menjemputnya sekarang. Nanai menyesal, karena menolak untuk diantar-jemput sopir sang ibunda pagi tadi. Akan tetapi, dirinya juga tidak ingin menyulitkan ibunya itu bila saja sopir itu mengantar-jemputnya.

Lelah dengan hari yang panjang, Nanai kembali duduk di trotoar tempatnya meringkuk tadi. Kali ini, lebih fokus pada sekitar. Takut-takut bilamana sekelompok pemuda berandal itu kembali menganggunya.

****

Sebuah motor sport memasuki gerbang rumah dengan kecepatan lumayan tinggi. Menampakkan sosok laki-laki berambut acak-acakan dari balik helm, turun dari motornya. Laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah, tetapi baru pada malam hari sampai ke rumah.

Melihat ruang tamu yang sepi, Dean langsung menuju kamarnya. Berniat melanjutkan soal-soal yang tadi belum sempat  terselesaikan. Meneliti tiap-tiap angka yang tertulis di sana. Dirinya tengah mencoba untuk memahami  salah atu soal yang terdapat dalam buku agar dapat menyelesaikannya kemudian.

Argh!” geramnya kesal saat belum sempat menyelesaikan pekerjaannya. Entah ... kefokusannya terpecah. Memikirkan apa yang seharusnya tidak menjadi pemikirannya. Gadis itu, bagaimana dengannya?

“Lagi-lagi gadis tidak berguna itu.”

Dean tidak tahu sebab dirinya peduli dengan seseorang yang dianggapnya sebagai musuh. Masalahnya, ia mengenal gadis yang sedang dalam bahaya itu. Jadi, memang sudah seharusnya dirinya menolong sebagai salah satu sifat kemanusiaan. Tetapi, kali ini berbeda. Gadis tadi merupakan salah satu saingan terberatnya, harusnya ia sudah tidak mempedulikannya.

Sayangnya, keegoisan Dean tidak sebesar itu sampai tega membiarkan orang yang ia kenal berada dalam bahaya yang nantinya akan meregang nyawa. Baik, sepertinya saat ini Dean berlebihan.

Akhirnya—sebab tidak ingin kepikiran—Dean meraih ponselnya. Mengirim pesan kepada seseorang untuk memastikan gadis itu baik-baik saja sampai kediamannya.

Helaan napas terdengar dari mulut laki-laki itu. Tubuhnya terasa lelah hari ini, tetapi ia harus bisa menyelesaikan soal-soal itu tepat waktu. “Semangat Dean, fighting!” serunya memberi semangat untuk dirinya sendiri.

****

Selamat malam, bagaimana kabarnya? Semoga selalu diberi kesehatan untuk menjalankan aktivitas. Stay healty, ya. Kamu kuat, kamu hebat!

Reswara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang