8

289 88 27
                                    

HAIIII❤️

Akhirnya aku bisa kembali dengan cepat di lapak ini, gak ngilang banget 😭😭😭

Terima kasih kepada buku Percy Jackson yang sudah sekian kali kubaca tapi sekian kali juga membangkitkan semangatku untuk nulis dunia perdewaan ini :')))


Happy reading!^^



~°~°~



Celaka.


CELAKA.



CELAKA! CELAKA! CELAKA!


"(Y/n), coba dengar dulu!"



"(Y/n), aku suamimu, jadi dengarkan sebentar!"


Aku mengikuti ayah mengejar-ngejar ibu yang berjalan cepat menuju gerbang sekolah. Jalan mereka cepat sekali sampai-sampai aku hampir terjungkal dua kali untuk menyusul.

Aisley dititipkan pada Bibi René sebelum ibu 'kabur'. Tapi kurasa ia tidak berniat meninggalkan kami. Hanya mencari tempat yang pas untuk memarahi dua lelaki bandelnya.


Benar dugaanku karena ibu berbelok ke arah taman secara tiba-tiba. Ia berhenti di dekat pancuran. Membuat ayah langsung berlari untuk tiba tepat waktu. Aku pun langsung menyusul.

"Apa-apaan kalian berdua?!" pekik Ibu begitu kami berhenti di depannya.

Aku melirik ayah, memintanya menjawab. Satu; aku takut ibu marah—padahal sudah. Dua; kalau aku salah bicara bisa gawat—ayah akan ikut marah.

"Dengarkan dulu sebelum marah-marah bisa tidak, sih?!" balas Ayah kesal.

Sayangnya keputusanku salah. Ayah bukan tipe orang yang bisa menyelesaikan pertengkaran dengan baik, malah menyulut amarah ibu. Harusnya aku saja yang bicara.

"Ibu—" Aku berusaha menjelaskan sebelum ayah benar-benar membuat ibu marah, namun ayah menyerobot.

"Kami berusaha melindungimu," balas Ayah sambil melangkah mendekat.

Ibu tiba-tiba menarik belati dari saku dan menodongkannya pada ayah agar ia berhenti mendekat. "Aku bisa melindungi diriku sendiri, jadi berhenti bicara omong kosong. APA—YANG—SEBENARNYA—KALIAN—LAKUKAN—DI BELAKANGKU?"

Kalimat penuh penekanan itu membuatku meringis. Segera aku tahu sebesar apa masalah yang akan kami terima. Tapi akan lebih buruk kalau kubiarkan ayah melanjutkan—kenapa sih dia tidak bisa mengontrol emosi—jadi kuberanikan diri untuk bicara.

"Kami berlatih, Bu. Aron yang meminta aku, Woozi, dan Mark berlatih lebih awal dari usia seharusnya," balasku sambil mengangkat tangan, menahan ibu memotong, "karena aku dapat ramalan."

"Rama—apa?" tanya Ibu dengan mata membulat. "Tunggu, sepertinya aku salah dengar."

"Tidak, Bu, aku dapat ramalan. Sama seperti yang Ibu dapatkan dulu." Kurasa pemilihan kataku tidak tepat karena wajah ibu langsung memucat.

Aku menelan ludah dengan gugup kemudian menceritakan seluruh kejadian mengenai ramalan. Mimpiku tentang Iris dan mimpinya tentangku. Aku bercerita soal kejadian di Gua Oracle—jangan tanya bagaimana wajah ibuku ketika aku menceritakannya. Setelah menyebutkan ramalan, aku menceritakan soal Mark, mimpinya, dan ramalan yang kami bagi berdua.

Ibu terus menerus menggelengkan kepala. Hampir-hampir tidak mau mendengarkanku. Namun aku tahu pasti bagaimana khawatirnya ibu pada ketiga anaknya, khususnya aku yang jelas-jelas bermasalah sejak awal. Jadi, mau tak mau ia mendengarkan untuk melindungiku.

Birth of The New Hero (The Broken Prophecy) [Seventeen Imagine Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang