03 | Reward For Service

9K 704 7
                                    

     

           Tak ada yang lebih menyebalkan daripada mendengar suara bising di saat tidur sedang nyenyak. Kaleya mengerjapkan matanya. Mencoba mengambil alih kesadarannya dari tidur yang cukup panjang.

"Tuan sudah pulang, cepat selesaikan semuanya," ujar seseorang. Siapa dia yang disebut tuan?

Perlahan dengan pandangan agak buram Kaleya meneliti tempatnya terbangun. Dalam hati ia bergumam, 'ini di mana?'. Bagaimana ia bisa bangun di tempat seperti ini dengan langit-langit kamar yang seharusnya tak penuh dengan kemewahan.

Kaleya tidak buru-buru bangun meski ia sangat ingin tahu. Dengan badan yang terasa linu, ia nyaris tidak merasakan apapun. Aroma segar sesekali tercium dari pengharum ruangan yang secara otomatis menyemprotkan bau yang enak.

"Nona sudah bangun?" Suara itu membuat Kaleya menoleh pada wanita yang berjalan ke arahnya. Wanita itu membantunya duduk di kasur yang besar dan empuk itu. Dari sana Kaleya sadar, bahwa ini bukan tempat seharusnya ia berada.

"Maaf, tapi—"

Belum sempat melontarkan pertanyaan, wanita itu membungkuk dan berpamitan pergi.

Kaleya ingin menahan kepergian wanita itu, setidaknya sampai ia mendapat informasi yang cukup. Tapi wanita itu sudah benar-benar pergi dengan pintu tertutup. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Bukan wanita tadi, melainkan sosok pria yang membuat Kaleya mengingat kejadian mencekam semalam.

Pria itu mendekat tanpa melepas pandangannya pada Kaleya, "lo ngerasa pusing?" tanyanya.

Kaleya menggeleng. "Kenapa aku bisa di sini? Maksudnya—"

"Mau air?" Zavelix kembali bertanya. "Atau lo mau makan siang? Sekarang udah jam dua belas."

"Luka lo udah diobatin, dokter bilang perbannya harus diganti minimal sehari sekali," katanya lagi.

Kaleya terus mengamati tanpa henti Zavelix yang bersikap ramah padanya, meskipun wajahnya tidak menggambarkan demikian.

"Bangsal ini terlalu mewah. Aku baik-baik aja." Sejujurnya Kaleya ragu. Apakah ini bangsal atau kamar hotel. Tapi apapun itu, jelas ia tidak bisa membayar keduanya. Karena jelas, fasilitas yang diberikan sangat mahal.

"Lo pikir ini rumah sakit mewah?" Zavelix bertanya dengan dua alis yang terangkat. "Salah. Ini rumah gue. Bukannya membawa lo ke rumah sakit mewah cuma bikin lo semakin miskin?"

Seandainya ia punya kekuatan untuk marah, Kaleya sukarela melakukannya. Ini menyangkut harga dirinya. Tapi tubuhnya tidak menginginkan demikian. Dan sedikit demi sedikit ingatan tadi malam membuatnya sadar untuk tidak gegabah.

Seperti teringat sesuatu, Kaleya memandang Zavelix dengan pandangan horor. "Tiga orang itu... mereka mati?" Kaleya berkata dengan pelan. Seolah takut siapapun bisa mendengar obrolan mereka. Kaleya tidak mau terlibat kasus kriminal. Itu menyeramkan.

"Emang penting?"

"Menurut kamu nyawa seseorang nggak penting?" Kaleya menatap Zavelix tidak menyangka. Ia tidak ingin mempercayai segala gosip tentang cowok itu, namun entah kenapa berhadap langsung dan melihat tingkah cowok itu secara nyata, Kaleya ingin mempercayai semua gosip-gosip itu.

"Kamu tembak mereka sampai mati?" tanyanya lagi.

"Lo yang minta."

Kaleya melotot. Ia hanya minta tolong, bukan meminta cowok ini membunuh ketiganya.

"Aku bahkan nggak tau kamu punya pistol dan aku juga nggak minta kamu untuk tembak mereka," balas Kaleya tak terima. Ia tak mau disalahkan atas kasus ini. Semua orang juga tau, bahwa ia lah korban di sini.

Guardian DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang