Kisah cinta
.
.
.
EnjoyRapat sudah selesai daritadi. Mereka menikmati waktu istirahat yang agak jarang mereka dapatkan, lantaran banyaknya tugas sebagai Raja dan Ratu. Seperti biasa, Peter duduk di sofa satu seater paling ujung tepat disamping jendela.
Susan akan menyesap tehnya di tengah antara Edmund dan Lucy. Lalu Eva akan duduk didepan Lucy, bermain catur dengannya. "Checkmate" Sang surai emas tersenyum bangga.
"Hebat. Akhirnya kau berhasil mengalahkanku." Kata Eva senang. Bangga karena dia ternyata guru yang hebat. "Itu kemenangan pertamamu dari 249 permainan." Cibir Edmund yang entah bagaimana bisa mengingat seluruh permainan Lucy dan Eva.
"Ayolah, yang penting aku menang. Daripada kau yang tidak pernah menang." Balas Lucy. Eva terkekeh kecil melihat perdebatan dua saudara itu. Padahal ada Susan ditengah, tapi dia nampak tak perduli pada mereka.
Netranya menatap sosok disamping yang tengah duduk sendirian. Agak heran karena akhir-akhir ini Peter cukup pendiam. Dia lebih sering melamun.
"Aku bosan!" Seru Lucy. Edmund dan Susan mengangguk setuju. Memang tak ada yang mereka lakukan. Dan itu membuat mereka bosan. Apalagi remaja aktif seperti Lucy.
"Ayo main." Ajak Lucy. "Main apa? Kau jagonya Lucy. Beritahukan kami permainan apa yang bagus dilakukan". Pancing Susan
Eva menggeleng pelan. "Ayo cerita saja. Kita diskusi pelan." ajaknya, terlalu malas untuk meladeni remaja yang ingin bermain. "Mau cerita apa?" Tanya Susan. Eva diam, berfikir sebentar. Saat masa muda dulu, apa yang biasanya anak remaja ceritakan?
"Bagaimana kalau kisah cinta?!" Seru Lucy bersemangat. Ya, kisah cinta memang menarik untuk anak remaja, terutama untuk yang tidak pernah merasakannya, seperti para Pevensie ini.
"Tak buruk" Komentar Susan. Lantas dia melirik Lucy. "Siapa yang pernah merasakan cinta?" Tanya Lucy. Susan menggeleng, Edmund? Dia sendiri tak yakin, tapi ikut menggeleng. Peter?
"Peter? Apa kau pernah menyukai seseorang?" Tanya Susan. Peter terdiam. Dari tadi dia mendengarkan saudaranya berbicara, dia hanya terlalu malas untuk menimpali.
Peter menatap saudarinya. "Ya, ada. Seseorang." Katanya melirik sedikit pada Eva. Yang lain tentu kaget, rupanya kakak pertama mereka diam-diam menyukai seseorang. Lantas siapa?
"Siapa orangnya?" Edmund yang bertanya. Dia cukup penasaran siapa yang membuat sang kakak jatuh hati.
"Dia gadis yang manis. Senyumnya indah. Dia juga pemberani. Baik hati, walau sedikit sombong." Katanya mengalihkan pandangan kembali ke jendela, menikmati pemandangan laut yang indah.
"Begitu? Bagaimana ciri-cirinya?" Tanya Lucy. Dia penasaran seperti apa sosok wanita indah yang disebut Peter.
Peter terdiam. Bingung mau menjawab apa. Jika jujur, maka mereka akan langsung tahu orangnya, karena orang yang dia suka memiliki ciri yang tak biasa
"Indah. Rambutnya bergelombang halus. Matanya bercahaya dan agak sayu. Hidungnya kecil, bibirnya tipis." Peter terdiam lagi. Dia hanya tidak berani bilang terlalu jelas.
"Hanya itu? Beri kami sedikit clue lagi." Pinta Lucy kecewa. Kalau hanya itu dia tidak bisa menebak siapa orangnya.
Peter masih terdiam melirik sedikit ke Eva. "Aku lupa menyelesaikan gambar peta. Aku duluan." pamitnya. Melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Ya. Dia kabur. Terlalu malu untuk mengutarakan sosok indah itu.
Sesampai diluar, dia menyandarkan diri di samping pintu. Menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Rona merah kini menghiasi wajahnya.
" Wah dia kabur." Peter bisa mendengar suara adik lelakinya. "Mungkin dia memang harus menyelesaikan gambar peta itu." Bela Lucy.
"Atau dia sedang merasa malu." Balas Edmund lagi. Peter menghela napas pelan. Apa adik lelakinya itu peramal? Bagaimana bisa menebak begitu tepat?
"Pencerita pertama sudah pergi, sekarang hanya tinggal satu." Lucy menatap Eva dengan senyum lebar. "Bagaimana kisah cintamu, Eva?" Tanyanya. Dia cukup yakin Eva punya setidaknya satu kisah dengan seorang pria. Ayolah, gadis itu sudah hidup selama ribuan tahun, kan?
Kini semua atensi mengarah pada Eva. Meski tak bisa melihat lantaran mereka dipisahkan oleh pintu, Peter memasang telinganya dengan baik. Ingin mendengar kisah cinta Eva. "Ada. Bahkan kami sempat bertunangan." Kata Eva lalu terkekeh kecil. Mengingat masa paling bahagianya dulu.
Lucy nampak sangat tertarik. Apalagi Susan. "Ceritakan, ceritakan!" semangat Lucy. "Em... Namanya Eiden. Dia cukup tampan. Dia setengah ras raksasa dan jin juga. Tapi ras raksasanya lebih menonjol. Dia raja di kerajaan Bramandin di Charn dulu." Eva berhenti bercerita. Bingung mau menceritakan darimana.
"Bagaimana kalian bertemu?" Tanya Lucy. Entah kenapa dia sangat penasaran. Eva mencoba mengingat-ingat karena itu sudah terjadi jauh sekali di masa lalu.
"Dulu di Charn, saat sebelum jadi ratu, aku sempat mengujungi Bramandin, sebagai perwakilan rapat disana. Kami bertemu di tengah rapat. Awalnya hanya saling melirik dan tidak melakukan apa-apa. Tapi beberapa bulan setelahnya aku mendapat surat pertunangan." Jawab Eva sambil terkekeh.
Peter mengacak rambutnya kasar. Ada rasa kesal saat mendengar sang pujaan hati bercerita tentang lelaki lain. Sekarang dia berpikir, apakah Eva masih mencintai pria itu?
"Apa kau belum bisa melupakannya?" Bagus. Pertanyaan di benaknya kini disuarakan oleh Edmund dengan suara yang terdengar agak dingin. Kenapa lagi anak itu?
Eva terdiam sebentar. Peter memasang telinganya baik-baik. Jika dia tidak mendengar apa yang dia harapkan, dia sungguh akan menyerah.
"Hm? Awalnya memang agak sulit, tapi lambat laun aku berhasil melupakannya. Toh itu juga sudah lama sekali."Jawab Eva. Diam-diam Peter menghela nafas lega.
Edmund sendiri mengangguk pelan lalu menyesap tehnya yang agak dingin. "Lalu dimana dia?" Tanya Lucy. "Tentu saja sudah mati. Itu kan sudah ribuan tahun lalu." Sarkas Edmund.
Eva mengangguk "Ya. Dia sudah lama meninggal. Tepatnya setengah tahun setelah dia melamar, ayahnya mengirimnya pada perang Ranum. Dia meninggal dalam perang itu." Jelas Eva.
Lucy menunduk kecewa. Dia tidak mengharapkan kisah cinta tragis seperti itu. "Kisahmu terlalu gelap." Komentar Lucy.
Kini mereka semua terdiam. Sibuk pada kegiatan masing-masing. Tak lama Edmund mengingat hal yang harus dia lakukan. "Aku duluan. Ada yang harus kulakukan". Pamitnya. Namun dia berhenti di depan pintu. Menatap sosok yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka.
Peter terkejut saat melihat Edmund yang sudah berdiri didepan pintu. Sang adik hanya menatap lalu kembali melangkah dan duduk di sebelahnya. "Kenapa kau kesini?" Bisik Peter.
"Jangan berisik, nanti mereka tahu kita ada disini." Rupanya sang adik mengajaknya untuk menguping.
Kembali pada tiga perempuan yang masih terdiam dalam ruangan itu. "Apa kau punya tipe ideal, Eva?" Tanya Susan penasaran.
"Ada. Pria yang masih hidup." Jawab Eva membuka buku yang dia simpan di atas meja. Susan hampir memuncratkan tehnya saat dia Menyesap nya. Lalu tertawa dan merasa menyesal untuk bertanya.
Lucy terkikik geli mendengarnya. "Itu sepertinya tipe ideal semua perempuan deh. Maksud susan yang lebih spesifik sedikit. Seperti tinggi, bermata biru, berambut emas?" Lanjutnya yang entah kenapa lebih seperti menceritakan tentang ciri-ciri sang kakak pertama.
Peter yang ada di luar sana langsung mengkerutkan dahi. Kenapa malah ciri-ciri dirinya yang di bawa-bawa?
"Lucy, bukannya itu ciri- ciri tubuh Peter?" Tanya Susan memastikan. Lucy mengangguk. "Memang. Mungkin Eva akan tertarik kan? Lagian mereka berdua juga sudah akrab. Apa salahnya jika menikah?" Jawabnya seolah tak memikirkan Eva ada disana.
"Mengenai Peter." Kini Eva yang bersuara. "Tidakkah kalian merasa aneh?"
.
.
.
TBC~Makasih udah mau baca~
KAMU SEDANG MEMBACA
High Witch of Narnia [END]
Fanfiction~ ENDING ~ The Chronicles of Narnia Fanfiction Eva ialah kakak kandung dari Jadis. Dirinya dibawa oleh Aslan dari Charn ke Narnia sebagai Penyihir Agung Narnia. Juga untuk menuntaskan sumpah yang pernah ia ucapkan saat melawan Jadis. Ia mengikut...