Matahari telah tenggelam di ujung cakrawala. Menyisakan beberapa bias cahaya sebelum temaram menguasai tanah Narnia. Gadis berambut emas dengan gaun hijaunya tengah menari tanpa alas diatas rumput lembab.
Kaki kecilnya bergerak lembut seakan ada irama yang mengiringi langkahnya. Dia sendirian. Didepan Meja Batu yang menjadi saksi kalau wanita bergelar Penyihir Agung ini telah kehilangan akal. Mana ada orang waras yang menari tanpa musik? Kecuali kalau dia sudah gila.
Tapi tidak. Sebenarnya dia bukan kehilangan akal. Dia hanya kehilangan keluarganya. Rasa sakit hati yang menjalar keseluruh tubuhnya bagaikan racun yang siap menghabisi nyawanya kapanpun. Sekali kebencian itu padam, dia akan tenang. Tapi jiwanya akan melayang karena telah merelakan diri menggantikan sang adik.
Tapi naas. Nasi telah menjadi bubur. Sumpah yang dia katakan menjadi belenggu. Mengikat jiwanya agar tetap hidup, demi menghabisi adiknya seorang diri. Memang sudah begitu takdirnya. Dia pun sudah tahu. Akhir dari dua keturunan terhebat Charn hanyalah satu. Mati.
Apapun yang dia lakukan, apapun yang adiknya lakukan, keduanya akan mati. Mau Jadis yang lebih dulu mati atau sebaliknya.
Ah, dia jadi ingat tentang beberapa tahun lalu. Saat terakhir dia bertemu Aslan. Katakan gadis itu merindukannya. Aslan bagaikan tumpuan saat Eva tidak bisa melakukan apapun didunia asing ini.
Berapapun banyaknya kesetiaan yang Eva berikan pada Raja manusia, tetap tidak bisa menenangkan hatinya yang gelisah karena terdampar di dunia asing. Disini tidak ada jin selain Jadis. hanya Jadis satu-satunya keluarga yang Eva miliki. Tapi Eva terikat sumpah agar keduanya saling membunuh. Jelas gadis ini tidak bisa bertumpu pada Jadis.
Tapi ada satu makhluk yang jenisnya masih samar-samar. Meski rupa yang sering ia tunjukkan pada makhluk lain adalah singa, tapi Eva baru tahu dia bisa berubah menjadi manusia.
Aslan.
Satu-satunya entitas yang membawa Eva kesini, satu-satunya yang bisa menjadi tumpuan Eva setidaknya sampai dia membunuh Jadis. Ah, Eva jadi merindukannya.
Jangan salah paham. Ini bukan seperti rasa cinta seorang gadis kepada pujaan hatinya. Ini lebih seperti seorang anak yang merindukan ayahnya. Aslan seperti ayah bagi Eva. Orang yang menjadi tumpuan, keluarga, sosok yang Eva percaya ditengah kesendiriannya di dunia ini.
"Aku tidak pernah melihat tarian itu."
Suara berat itu membuat kaki porselen berhenti. Dia berbalik menatap surai emas di belakang. Sosok manusia dari Aslan. Wajah yang tidak akan pernah bisa dilupakan itu menjadi tandanya.
Eva tersenyum. Mengulurkan tangan pada sang empu. "Kami menyebutnya tarian 'Selamat Tinggal'. Ditarikan saat matahari tenggelam."
Aslan mendekat. Tubuh berbalut baju merah Narnia dengan celana cokelat tua itu sangat kontras dengan rambut emasnya. Tangannya yang hangat menyentuh jemari Eva yang dingin. "Tapi matahari telah lama tenggelam."
Eva tak menurunkan senyuman. Malah membuatnya lebih lebar. "Ada tarian berikutnya. Namanya 'Lentera Temaram'. Ditarikan setelah tarian 'Selamat Tinggal'."
Ia menarik kedua tangan Aslan. Keduanya menari, berputar dengan lembut diatas rerumputan. Bintang gemintang, kunang-kunang dan bulan yang menjadi cahaya dalam gelapnya malam.
Satu kali percobaan, kaki tanpa alas Aslan sering kali menginjak kaki Eva. Tapi saat percobaan kedua, lelaki itu bisa melakukannya dengan lancar tanpa kesalahan apapun. Sebut saja dia jenius. Menguasai satu tarian dansa merupakan hal mudah baginya.
Suara jangkrik kini yang menjadi irama, memenuhi udara yang sunyi senyap. Seakan memberikan musik tersendiri kepada keduanya. Diikuti kunang-kunang yang juga berputar-putar, seakan menari menemani mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Witch of Narnia [END]
Fanfiction~ ENDING ~ The Chronicles of Narnia Fanfiction Eva ialah kakak kandung dari Jadis. Dirinya dibawa oleh Aslan dari Charn ke Narnia sebagai Penyihir Agung Narnia. Juga untuk menuntaskan sumpah yang pernah ia ucapkan saat melawan Jadis. Ia mengikut...