• H O M E •

990 73 48
                                    

Seokjin POV

Gulitanya malam berganti dengan cahaya mentari yang mulai mengintip dari ufuk timur. Langit sebelumnya tampak membiru kelam perlahan memudar, di kalahkan oleh semburat merah berbaur jingga mengurai di atas sana. Aku menyaksikan lukisan semesta ini lewat jendela yang kubuka lebar.

Atap bumi seakan berkata— satu kepedihanku kemarin telah berakhir.

Di gantikan dengan kisah baru.

Aku berharap begitu.

Kusesap secangkir kopi hitamku, lalu mencecap pahitnya seperti hidupku dengan kelopak menutup. Aromanya menguar di sekitaran indera penciuman. Aku menyukainya. Membuatku tenang.

Bersambut semilir angin sejuk di awal musim dingin— menyapa permukaan kulit wajah juga tanganku. Alam seakan menyambut gundahku meski hari baru saja berganti.

Sengaja bagiku terbangun sebelum fajar menyingsing untuk duduk termangu di tepi jendala dalam sepi. Obsidianku menerawang jauh tak menentu. Entah apa yang kucari dalam semburat jingga orange itu, yang jelas aku mengusir rasa gundah yang bergelung dalam kalbu.

Semalam aku bermimpi buruk.

Aku berjalan menelusuri jalanan sepi yang tertutup kabut putih. Atmosfer di sekelilingku begitu dingin— menusuk lapisan kulit hingga sendi. Kuedarkan ekor mata pada tempat asing yang begitu sunyi. Namun aku tak mendapati apapun selain bunyi dedaunan yang saling bergesek sebab angin yang tak di undang tetiba bertiup lirih. 

Satu daun gugur di atas jalanan yang ku pijaki. Telapakku telanjang— serupa warna dengan butiran salju yang mulai turun, beruntung tak sampai menginjaknya. Sebab satu daun itu bewarna coklat gelap dan— rapuh. Seperti jiwaku yang perlahan kosong berjalan tak menentu.

Ku ayunkan kaki mengambil arah ke depan. Mungkin saja aku akan menjumpai seseorang diseberang jalan. Aku mencoba berfikir positif meski satu-satu puzzle keberanianku runtuh ke atas tanah.

Benar saja. Kendati baru empat langkah kakiku beranjak, seorang anak kecil duduk dengan melipat kedua kakinya untuk di peluk erat membelakangiku dengan bahu kecil bergerak naik turun konstan. Isaknya terdengar lirih namun cukup menyayat hati.

Tubuhnya terlihat ringkih. Kulitnya bahkan sepucat salju yang perlahan menutupi sekeliling kami. Dengan nyali sebiji jagung, ku mantapkan niat untuk menyapanya. Barang kali ia sedang tersesat.

"Halo adik kecil"

Ah, suaraku terdengar bergetar.

Dasar payah.

Tak ada sambung kata ramah setelahnya, melainkan tangis terputus dengan tubuh bergetar.

Aku mulai bingung. Mengapa ia tak meresponku? Apa nada bicaraku terdengar lemah baginya?

Lantas, kuucapkan satu kalimat sapa lagi dengan lembut. Kali ini aku akan menyingkirkan adrenalin yang mulai membelenggu. Meski aku tak bisa memungkiri jika diafragma mulai memompa lebih cepat dari sebelumnya.

"Hai—"

Hanya seperempat sekon, kerongkonganku tercekat ketika makhluk manis itu menoleh— menatapku nyalang dengan bibir menukik ke bawah. Irisnya bergetar dengan pelupuk total memerah. Menahan air mata yang telah menganak sungai agar tak meluber membasahi pipinya yang berisi.

Aku menelan ludah yang tetiba terasa pahit. Bibirku terasa seperti di jahit. Sorot mata setajam elang itu seakan menghabisi adrenalinku hanya dalam sepersekon. Obsidian kelamnya seolah menusuk tepat pada ulu hatiku sehingga aku kepayahan dalam mengais partikel udara.

• f O r e V E R - JINV •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang