CHAPTER 6

33 10 1
                                        

Kakinya melangkah entah ke mana. Pikirannya juga melanglang buana. Entah apa yang tengah menimpa dirinya, si gadis hanya ingin meyakini bahwa apa yang kini tengah terjadi padanya hanyalah potongan dari mimpinya saja.

Namun kala ia kembali melihat sebuah berkas di tangannya, semakin ia tidak menolak. Bisakah hari ini turun hujan saja? Cerrys ingin ada hujan besar, bila perlu datangkan badai agar ia bisa menangis. Ia ingin menitikkan air mata tanpa ada banyak orang yang menyadari air matanya.

Namun, sepertinya langit juga tidak ingin membantunya. Cuaca begitu cerah, bahkan awan hanya sedikit yang terlihat.

Cerrys sudah menerima ratusan telepon dari Vante sampai akhirnya ia memutuskan untuk mematikan ponselnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Vante untuk sekarang. Ingin sendiri. Menenangkan dirinya terlebih dahulu.

Cerrys kini berbelok ke sebuah jalanan menuju sebuah taman di pusat kota. Ia ingin duduk di sana sebentar. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ingin mendinginkan kepala supaya menemukan cara yang tidak akan merugikan siapapun.

Cerrys mendudukkan diri di sebuah kursi besi di bawah pohon yang cukup sejuk. Menyandarkan punggungnya di sana dengan manik yang mengelilingi sekitar. Tidak banyak orang, namun ada juga beberapa orang yang kini tengah berjalan-jalan di sekitar taman.

Ini baru pukul sembilan pagi. Cerrys bisa pastikan jika Vante sekarang sedang kelimpungan mencarinya. Maka kini Cerrys kembali membuka ponselnya untuk mengabari Vante. Setidaknya ia tidak boleh membuat Vante kesulitan. Anak itu sudah banyak membantunya, dan ia sudah terlalu banyak merepotkan Vante.

Setelah mengabari Vante agar tidak perlu mencarinya, Cerrys kembali menatap ke depan. Hanya ada danau buatan yang airnya cukup jernih. Ada kucing yang berlalu-lalang sampai akhirnya sebuah kereta bayi kini terparkir di depannya dengan seorang wanita rambut sepunggung yang tengah tersenyum ke arahnya.

Bu Raisya. Tengah mendorong kereta bayi yang berisi Gio di dalamnya tengah tertidur dengan pipi memerah.

Cerrys sontak langsung bangkit dan menyapa Raisya, "Selamat Siang, Bu Raisya," sapa Cerrys.

"Kebetulan sekali kau ada di sini. Bersama siapa? Direktur Vante atau direktur Suga?" tanyanya. Cerrys tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Tidak keduanya, Bu. Saya sendiri, agak menyulitkan membawa mereka berdua," jawab Cerrys sambil terkekeh kecil. Raisya kini mendudukkan dirinya di sebelah Cerrys.

"Ibu sendiri bersama Mr. Jims?" tanya Cerrys.

Raisya menganggukkan kepalanya membenarkan, "Ya, dia sedang mengantri membeli eskrim," jawab Raisya sambil tersenyum.

Cerrys menganggukkan kepalanya mengerti. Sepanjang ia bekerja di perusahan, semua karyawan juga tahu bagaimana sikap Mr. Jims pada Raisya. Sudah bukan rahasia lagi kalau mereka benar-benar menggambarkan rumah tangga yang harmonis.

Pandangan Cerrys kini melirik pada anak laki-laki yang tengah tertidur di kereta bayi berwarna hitam itu. Pipinya kemerahan. Bibirnya tebal. Alis matanya juga tebal. Punya double eyelid. Hidungnya juga terlihat bangir.

"Bu Raisya, berapa usia Gio sekarang?" tanya Cerrys.

"Sudah menginjak enam bulan, kenapa?" tanya raisya pada Cerrys yang mendapat gelengan dari Cerrys.

"Bagaimana rasanya hamil, Bu? Apa menyenangkan?" tanya Cerrys lagi.

Wanita di sampingnya itu menarik napas dan menghembuskannya lagi. Menarik sudut bibirnya lantas berkata, "Menyenangkan jika ada sosok suami yang menemani. Aku mungkin tidak akan menjalani masa kehamilan yang menyenangkan jika saja Jims tidak bersamaku. Tapi syukurlah dia bisa membagi waktunya meski terkadang dia lembur."

Dalam benak, Cerrys juga bermimpi ingin memiliki sosok suami seperti Mr. Jims. Namun, apa yang harus ia harapkan? Sosok yang ia cintai itu jauh berbeda dengan Mr. Jims. Dan yang paling ironi adalah sosok itu sudah menggenggam tangan orang lain. bukan tangannya.

"Cerrys? Kau memiliki masalah?" tanya Raisya sedikit khawatir sebab raut wajah Cerrys nampak sedang tidak baik-baik saja.

"Hanya masalah kecil, Bu Raisya. Sudah biasa terjadi, bukan?" jawab Cerrys berbohong. Ia berbohong pada orang lain, bahkan tengah mencoba untuk membohongi dirinya sendiri.

Kenyataan pahit yang Cerrys terima. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tidak ingin merepotkan, dan tidak ingin membuat kekacauan untuk orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Katakan padaku jika kau butuh bantuan. Jangan memendamnya sendiri, ya?" pinta raisya yng kini khawatir pada Cerrys.

Cerrys menganggukkan kepalanya. Sekedar basa-basi ia akan mengangguk atas perkataan istri pemimpin perusahaannya itu. Ia tidak akan benar-benar mengatakan hal yang sebenarnya meski dirinya benar-benar di ujung kehancuran sekalipun. Cerrys tak ingin merepotkan siapapun.

.

.

.

Dalam genggamannya, sudah ada beberapa obat yang di resepkan dokter. Ia hanya harus meminumnya untuk sekarang. Berusaha untuk tetap baik-baik saja sampai saat ia harus memberi tahu semua orang. Atau mungkin ia memang tidak akan memberitahu orang lain. Makanya ia harus selalu terlihat sehat.

Cerrys berjalan ke arah dapur. Mengambil segelas air putih sebelum akhirnya meneguk beberapa butir obat itu masuk ke dalam lambungnya.

Beberapa saat setelah itu, ia mendengar suara pasword apartemennya di tekan disusul dengan suara kenop pintu terbuka dan suara kaki yang melangkah tergesa.

Cerrys membalikkan tubuhnya dan melihat Vante yang kini berdiri di depannya dengan peluh dan juga napas yang terpenggal-penggal. Tangannya kini tergerak untuk memeriksa apakah terjadi sesuatu pada dirinya sebelum pria itu menghembuskan napasnya lega.

"Cerrys, kau kemana saja? aku mencarimu dan kau malah tidak membalas pesanku setelahnya," ucap Vante khawatir.

Cerrys terdiam. Tidak menjawab dan memilih untuk menatap manik Vante lekat. Ada rasa bersalah yang kini bercokol dalam benaknya. Ia tidak ingin pandangan Vante terhadapnya berubah. Ia tidak ingin Vante sampai membencinya. Ia ingin tatapan mata itu terus seperti itu.

"Jika saja Bu Raisya tidak memberitahuku, mungkin aku masih kelimpungan mencarimu," ucap Vante lagi.

Namun, tidak sengaja, Vante kini melihat ada beberapa strip obat di atas pantry. Vante mengambil beberapa dan menunjukkan obat itu di depan Cerrys, "Kau sakit kenapa tidak bilang padaku?" tanyanya.

Sikap Cerrys aneh sekali akhir-akhir ini. biasanya gadis itu tanpa sungkan akan membuat dirinya kerepotan. Mengantarkan gadis ini kemana-mana, bahkan hanya menemani gadis ini melihat segerombolan kupu-kupu di taman binatang.

Cerrys menundukkan kepalanya. Kepalanya terasa pening dan ia juga tengah ingin menangis sekarang.

Mendapati Cerrys yang kini nampak tengah tidak baik-baik saja, Vante langsung menggendong Cerrys untuk masuk ke dalam kamar gadis itu. Membaringkan tubuh ringkih itu agar terbaring dengan nyaman di atas kasur empuk. Menyelimutinya sampai dada.

Kau ingin makan apa siang ini? Aku akan membelinya, ucap Vante yang kini berdiri di sebelah ranjang Cerrys. Lagi-lagi Cerrys menatap Vante dengan pandangan nanar.

"Vante? bisa aku meminta satu hal padamu?" tanya Cerrys.

Jelas Vante langsung menganggukkan kepalanya. Namun, perkataan Cerrys setelah ini benar-benar membuat Vante semakin kelimpungan. Sebab Cerrys berkata , "Menjauhlah dariku, aku akan pergi setelah ini. tolong buatkan surat pengunduran diri untukku."

IDIOSYNCRATICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang