Allen mulai teringat masa lalunya dengan Kevin, di mana ia berada di posisi yang saling berlawanan hanya gara-gara masalah perempuan. "Kenapa aku memikirkan ini sekarang...?" Ia bertanya-tanya sambil bersandar di dinding bata yang dingin, tangannya di saku, matanya tidak fokus. Beban kenangannya menekan dadanya dengan berat, mencekiknya.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan kenangan itu, tetapi kenangan itu melekat padanya seperti bayangan. "Mengapa... pada hari itu..." Bisiknya pada diri sendiri, suaranya kental dengan penyesalan. Kata-katanya hampir tidak terdengar, hilang oleh angin yang membawa kebisingan jalan-jalan di sekitarnya.
Jantungnya berdegup kencang saat bayangan punggung Jun melintas di depan matanya—saat Jun berjalan pergi, meninggalkan semuanya. Dia masih bisa melihat ketegangan di bahu Jun, langkahnya yang pasti, kemarahan dan rasa sakit yang telah membara di antara mereka semua. Namun, yang paling menyakitkan Allen adalah pikiran bahwa mungkin, mungkin saja, ia bisa menghentikannya. Kalau saja ia mengatakan sesuatu lebih awal.
Kalau saja ia mengulurkan tangan sebelum retakan itu tumbuh terlalu lebar untuk diperbaiki.
5 tahun silam...
"Yo." Kevin membuyarkan lamunan Allen yang sedang istirahat makan siang, "Kau makan banyak sekali 'ya..." Ia melihat bekal makanan Kevin yang berisi macam-macam lauk pauk.
Allen mengangguk sembari mengunyah makanannya, "Ini bekal dari Maya, kau tahu." Jelasnya, "Dia memberikannya padaku tadi pagi."
"Maya?" Kevin tampak terkejut tapi mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya, "Wah, tampaknya enak." Ia duduk di samping Kevin. "Minta sedikit dong." Ia mengambil sepotong kentang dari kotak bekal Allen, lalu memakannya. "Enak juga."
Allen tertawa kecil, "Kan?"
Kevin ikut tertawa, "Yah, aku tidak tahu kalau kau sudah mulai dekat dengan Maya." Ujarnya, "Aku tersalip sepertinya, ya. Hahaha."
"Entahlah." Balas Allen, "Baru-baru ini kami akrab." Sambungnya, "Lagipula kita bersaing secara adil 'kan?" Ia tersenyum menyengir.
Kevin mengangguk sembari tertawa, "Kau benar." Yang sebenarnya terjadi, ia hanya berusaha untuk menyembunyikan rasa sedihnya, "Kau benar..." Ia dan Allen memang sudah sepakat untuk bersaing mendekati Maya, perempuan yang sama-sama mereka temui pertama kali di festival tahunan.
"Kenapa... aku malah sedih...?"
"Bukankah... aku dan Allen bersaing secara adil...?"
Begitu kata Kevin dalam hatinya.
--
"Ah, sial..." Allen mengusap keringat di dahinya, "Kenapa sekarang aku malah teringat pada masa-masa itu..." Ia menyenderkan tubuhnya ke tembok. "Kenapa... pada hari itu..." Ia juga kembali teringat beberapa hari sebelum perang mendadak terjadi, dirinya dan Maya telah merencanakan untuk melaksanakan pernikahan dalam enam bulan ke depan, yang mana hubungannya telah direstui oleh kedua orang tua masing-masing.
Ellan berdiri hanya beberapa langkah dari Jun, merasakan berat semua yang telah mereka bangun runtuh di sekeliling mereka. Ketegangan itu kental, hampir mencekik, dan telah meningkat selama berminggu-minggu. Lengan Jun disilangkan, tubuhnya kaku, tatapannya terpaku pada sesuatu yang jauh—apa pun kecuali wajah Ellan. "Kau... tidakkah merasa kau terlalu berlebihan dengan Allen?" Suara Ellan lembut tetapi tegas. Ada rasa putus asa yang mendalam dalam nadanya, upaya terakhir untuk menyelamatkan sesuatu sebelum hancur tak dapat diperbaiki. Kepala Jun tersentak ke arahnya, matanya menyala-nyala karena frustrasi. "Berlebihan? Kau bercanda?" Tolehnya dengan pandangan sinis. "Ini bukan tentang persahabatan lagi."Tegasnya. "Apakah kau menyadari apa yang dipertaruhkan? Apa yang kita hadapi?" Ellan tetap pada pendiriannya, mencoba untuk tidak terintimidasi oleh amarah Jun yang meningkat. Ia melangkah lebih dekat, ekspresinya melembut saat ia mencoba menjembatani jarak yang semakin jauh di antara mereka. "Kita dulu juga sama." Ia memulai pendekatan dengan nada yang melunak. "Seandainya aku tidak membantumu saat itu, jika kita tidak saling mendukung—" Ia berhenti sejenak, mengamati wajah Jun untuk mencari tanda-tanda pengenalan, "Kau tidak akan berada di sini sekarang."
Rahang Jun menegang, matanya menyipit. Ia sedikit berpaling, menolak untuk menatap mata Ellan. Namun keretakan dalam sikapnya hanya sesaat. Ia segera menguatkan dirinya lagi, suaranya berubah menjadi nada dingin dan menantang. "Apa yang terjadi saat itu tidak penting. Kita berada di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar sekarang, dan kita tidak punya waktu untuk memikirkan perkara persahabatan!"
Ellan tetap tidak mau kalah oleh penolakan Jun untuk melihat inti permasalahan. "Itu penting." Ia bersikeras. "Itu selalu penting."
Tangan Jun mengepal di sisi tubuhnya, beban kata-kata Ellan menekannya, tetapi dia menggelengkan kepalanya, senyum pahit tersungging di bibirnya. "Kau tidak mengerti." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan sekarang, seolah-olah kemarahan telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih menyakitkan.
"Orang-orang seperti kita... tidak pernah mendapatkan akhir yang bahagia. Kita tidak bisa berpegang teguh pada hal-hal seperti persahabatan..." Gelengnya, "Tidak lagi." Dia melangkah mundur, jarak fisik di antara mereka mencerminkan jarak emosional yang telah tumbuh begitu lebar. "Aku muak mendengarnya." Suaranya sedikit bergetar, memperlihatkan kerapuhan yang berusaha keras disembunyikannya. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan mulai berjalan pergi, memunggungi Ellan.
Ellan berdiri di sana, membeku di tempat, memperhatikan Jun yang semakin menjauh darinya. Hatinya sakit karena kehilangan itu, kekosongan yang hampa mengisi ruang di antara mereka. Dia ingin memanggilnya, menghentikannya, mengatakan sesuatu—apa saja—yang mungkin bisa mengembalikan Jun dari jurang. Namun, kata-kata itu tidak keluar. Kata-kata itu terasa sia-sia sekarang, seperti berteriak di tengah badai.
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey On Dieverthe (Book 1)
Mystery / Thriller1st of Dieverthe's Trilogy Project Allen terjebak di sebuah dunia yang asing baginya. Di sana, ia bertemu dengan orang-orang yang bernasib sama, menjalani aktivitas tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Ia bersama yang lainnya pun mu...