Terlupakan 3

31 19 57
                                    

"Baiklah ternyata pekerjaanku hanya seperti ini. Apa bedanya dengan mengurus bayi."

-

Masih dengan orang yang sama. Gita ingin mundur tapi sudah memiliki kontrak kerja satu tahun lamanya. Dirinya harus menelan pahitnya pekerjaan di dalam bungkus permen lollipop.

"Oh ayolah sekali saja berhenti menatap ku seperti itu."

"Memangnya kenapa?"

"Kau masih bertanya?"

"Oh ayolah jawab pertanyaan ku tanpa pertanyaan juga. Aku malas jawabnya."

"Dan aku malas mendengarnya."

Begitulah kira-kira seperti apa pekerjaan yang dilakukan Gita. Hari-harinya tidak pernah jauh dari amarah dan rasa kesalnya yang setiap hari memuncak bak orang darah tinggi.

"Gita." Sebuah suara teduh membuat Gita melihat ke sumber suara.

"Iya?"

"Ada satu hal yang membuatku penasaran."

"Apa itu?"

"Menurutmu, aku bagaimana?"

"Bagaimana apanya? Ya seperti ini."

"Tidakkah kau merasa aku berubah? Atau hal semacamnya?"

"Mengapa bertanya padaku? Kupikir kau lebih tau daripada aku." Memainkan ponsel kosongnya untuk membuat percakapan terkesan tidak terlalu intens.

"Mendengar jawabanmu yang seperti ini aku merasa ragu kau melihat suratnya." Sedikit kekehan kecil disertai senyuman tipis mengakhiri ucapnya.

"Surat?" Wahyu menatap sedih ke arah Gita namun tetap berusaha menutupinya saat tebakannya benar.

"Surat apa? Aku tidak pernah mendapat surat. Apa kau pernah mengirimnya?"

"Bukan pernah, tapi sering."

"Kapan?"

"Entahlah." Respon Wahyu yang terkesan acuh itu membuat Gita semakin bingung dengan surat yang dimaksud.

Wahyu yang merasa percakapan diantara mereka sudah tidak bisa diselamatkan kali ini memutuskan untuk pergi. "Baiklah. Waktu kerjanya selesai. Kau boleh pulang. Sampai jumpa minggu depan, Gita."

-

Di sebuah rumah sakit, sebuah mobil terparkir di halaman khusus VIP.

Pengendara yang diyakini adalah seorang pria itu berjalan memasuki rumah sakit dan menuju tempat yang menjadi pusat istirahat.

Pria itu berhenti menatap satu-persatu orang berjas putih yang ada di sana hingga matanya menangkap satu sosok yang menjadi target dan berjalan mendekatinya.

"Bisakah anda meluangkan waktu untuk sekedar berbicara dengan saya, Dimas Reksadana" Mendengar seseorang menyebut namanya membuat Dimas menghentikan aktivitasnya.

Suara alat makan beradu dengan meja membuat semua orang yang berada satu meja dengan Dimas melihat ke arah sumber suara. "Kebetulan saya sudah merasa cukup dengan ini, mari," ucap Dimas sambil mengangkat alat makannya.

Teman-temannya yang lain cukup mengerti dan melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.

Di sudut rumah sakit, Dimas dan Wahyu saling menatap satu sama lain.

"Kenapa?" Tutur Dimas membuka keheningan diantara mereka.

"Kupikir kau akan terkejut melihatku di sini," ucapnya sambil memalingkan wajah melihat pandangan diluar jendela.

Dengan sedikit senyum meremehkan,"Lalu apa aku harus berlari dan dan memelukmu sekarang?".

"Cih, lawakan mu tidak lucu." Memasukkan tangan kanan ke saku celananya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seru Berujung TanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang