Melihat sosok Syifa di antara keluarga besarnya jelas sebuah kejutan buat Cika. Pasalnya, Syifa bukanlah keluarganya. Syifa hanyalah sahabatnya. Tidak lebih.
Tubuh Cika menegang sesaat, otaknya seolah buntu. Namun, hal itu tak bertahan lama.
Dia mencoba berpositif thinking. Bisa saja... Syifa hanya kebetulan mampir, kan?
Namun, mendadak, sebuah percakapannya dengan Syifa tadi di sekolah terngiang dalam otak Cika.
"Cika! Kata Bunda aku, hari ini aku akan ketemu Ayah, lho!"
Seruan bernada riang itu membuat Cika tersenyum lebar.
Dia menatap Syifa, sahabatnya yang terlihat antusias. Maklum, selama eksistensinya, Syifa belum pernah bertemu Ayahnya.
Ada rumor yang bilang, Syifa anak haram.
Tapi selama ini, Cika selalu yakin bahwa itu bukanlah alasan dia harus menjauhi Syifa.
Kalaupun Syifa anak haram sekalipun, Cika ... tak pantas menghakiminya.
Kalaupun Syifa anak haram, itu bukan salahnya.
Syifa pasti tak pernah mau hadir dalam kondisi seperti itu. Jadi, Cika tak berhak menghakiminya.
Cika bukan Tuhan.
"Cik, Cika enggak senang, ya?"
Pertanyaan itu mengejutkan Cika yang kala itu melamun.
Cika sontak menggeleng, "Enggak! Bukan gitu! Cika... cuma lagi kepikiran sesuatu," dia berujar cepat, takut Syifa salah paham.
Saat itu, Syifa yang semula memasang raut bahagia jadi memasang raut khawatir, "Cika kepikiran apa? Ada sesuatu? Apa yang ganggu Cika? Ada yang bisa Syifa bantu?" tanyanya beruntun, khawatir.
Cika otomatis merasa bersalah kala itu, dia membuat Syifa, gadis berhati lembut yang menjabat sebagai sahabatnya itu khawatir.
Tak ingin membuat Syifa lebih khawatir lagi, Cika tersenyum lebar, dia menggeleng kecil, "Bukan masalah besar. Hanya masalah susulan ulangan harian." Katanya. Dia tak sepenuhnya berbohong karena dia juga tengah dipusingkan oleh susulan demi susulan yang harus ia kejar karena dispensasi perlombaan yang baru ia ikuti, "Maaf buat Syifa khawatir..." sesal Cika kemudian.
Syifa menggeleng cepat, "Enggak perlu minta maaf! Cika sahabat Syifa. Jadi wajar Syifa khawatir." katanya.
Cika tersenyum. Syifa, sahabatnya memang selalu pengertian. "Dan tadi Cika denger semua yang Syifa bilang, loh." Cika tiba-tiba berujar. "Selamat! Cika turut senang!!" kata Cika lagi.
Syifa tersenyum lebar, walau kemudian, pancaran matanya meredup.
"Tapi, Syifa takut menghancurkan sesuatu," gugupnya. "Syifa merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi." kata Syifa murung.
Kali ini, raut wajah Cika berubah. Dia memandang Syifa kesal, "Jangan bilang begitu! Gak akan ada sesuatu yang buruk!" katanya sebal.
Yang sontak dibalas anggukan Syifa.
Dan kemudian, bel masuk berbunyi, menghentikan pembicaraan Syifa dan Cika sampai disitu.
"Cika sayang, maafin Papa, nak..."
Permohonan itu membuat tatapan mata Cika ke arah Syifa terputus.
Cika jadi mengalihkan pandang, dia menatap Papanya yang kini bersimpuh dihadapannya.
Tatapan mata Pria kebanggaan Cika itu menyiratkan penyesalan dan kehancuran.
Cika belum pernah melihat tatapan seperti itu dari Papa sebelumnya, jadi, hatinya sakit.
Bukan hanya karena ia sakit saat melihat Papanya sakit, tapi karena dia menyadari, tatapan itu dan permintaan maaf Papa itu...
Itu berarti Papa benar-benar melakukan kesalahan.
Dan Cika hancur karenanya.
"LIHAT! GUE UDAH BILANG BUAT JAGA JARAK DARI SEPUPU GUE, BANGSAT!"
Teriakan itu mengambil alih atensi Cika dan keluarganya.
Mereka membelalak kala melihat Tiara yang kini mendorong bahu Syifa keras, membuatnya terjatuh ke lantai.
Cika terkejut, dia merasa sakit kala sahabatnya diperlakukan begitu.
Namun, langkah kakinya yang semula akan beranjak ke arah Syifa terhenti kala melihat Papanya melesat cepat ke arah Syifa.
"Tiara! Jangan begitu kamu! Dia juga anak Om!"
Dan tepat saat itu, dunia Cika berantakan.
Gadis itu merasa pandangannya menggelap bersamaan dengan teriakan panik keluarganya.
"CIKA!!"
***
Ehe, positif thinking gaes....
Jangan ngamuk...
Btw, aku lagi pengen ngetik yang hurt hurt gini huhu
Nanti buat lapak sebelah aku lanjut kapan kapan ya kalo ada mood
Mau aku revisi all juga sih
Salam,
inggitariana
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost [Slow Update]
Short StoryCika itu punya segalanya. Keluarga yang harmonis, sahabat yang baik hati, kekasih yang manis dan setia, prestasi yang gemilang, bahkan, bakat segudang. Cika itu punya segalanya. Dan dia bahagia karena itu. Namun... bagaimana jika dalam waktu yang be...