14 : Redam

294 32 5
                                    

Cika hancur.

Yah, Cika tau kalian mulai bosan mendengar kalimat itu.

Sudah berapa kali, ya, Cika mengulangi kalimat memuakan itu?

Dua kali? Tiga kali? Empat? 

Ah, pastinya berkali-kali.

Namun, itulah yang benar terjadi.

Cika hancur.

Perceraian Orangtuanya, kehilangan sahabat, Mamanya meninggal, jadi anak buangan, memangnya... siapa yang tidak hancur kalau mengalami hal itu secara beruntun?

Belum lagi...

Plak!

"Lihat dia!"

"HAHAHA!"

Gema tawa itu membuat Cika mendongakkan kepalanya.

Dia menatap ke sekelilingnya yang kini menatapnya dengan pandangan mencemooh setelah sebuah telur dilempar kearahnya dan mengenai jas almamater yang ia pakai.

Cika hanya menatap orang-orang di sekelilingnya, yang sejak beberapa bulan lalu --semenjak kesalahpahaman yang itu-- terjadi, selalu membully nya.

Mereka selalu menghakimi Cika begitu saja. Tak pernah ada yang mau mendengarkan penjelasannya.

Menurut mereka, Cika adalah pembunuh. Baik buat Syifa --yang sejak sebulan lalu dinyatakan meninggal dunia-- dan kematian Mamanya tiga bulan lalu yang selalu disangkut pautkan dengan posisinya yang katanya pembawa sial.

Ah, ya, pasti kalian bingung ya akan latar waktunya?

Yah, Cika tau itu.

Tapi, karena Cika malas menjelaskan, mari kita langsung ke intinya saja.

Ini sudah bulan keempat sejak Mamanya meninggal, dan sudah sebulan sejak kematian Syifa. Dan... berapa bulan sejak Cika selalu di bully begini, ya?

Ah, Cika lupa kalau yang itu.

"Ah! Sial! Kenapa pembunuh itu tidak dikeluarkan, sih!"

Gerutuan itu membuat Cika melirik, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya ke tempat yang selama ini jadi tujuannya, kamar mandi.

Setelah sampai, gadis itu segera memasuki salah satu bilik yang tersedia, lantas melepas almamaternya. Dia sempat melirik lengannya yang dihiasi beberapa lukisan. 

Dia tersenyum pedih. Membuat satu lukisan baru bukan hal yang salah, kan?

Cika menggeleng kala dia mendengar suara bel masuk.

Ah, tidak sekarang, lain waktu saja!

Dia membatin. Dengan cepat, dia mengganti almamaternya yang kotor dengan satu almamater cadangannya. 

Ya, sudah Cika bilang, kan?

Kejadian begini sudah jadi rutinitas hariannya selama berberapa bulan terakhir.

Dia tentu sudah mempersiapkan segala hal yang ia perlukan --tiga buah almamater cadangan-- salah satunya.

Setelah siap, gadis itu segera keluar, dan berlari menuju lapangan utama --untuk upacara.

Karena takut terlambat, gadis itu berlari-lari agar tak dapat hukuman.

Namun, diperjalanan, kakinya dijegal oleh seorang siswi, membuat Cika otomatis jatuh terduduk di tengah-tengah ramainya lapangan upacara.

Gadis itu meringis kala tawa menggema di sekelilingnya.

Cika bangkit, menatap pelaku yang baru saja membuatnya terjatuh hingga lutut dan telapak tangannya terluka. "LO--" Cika berseru tak terima.

Namun, belum selesai Cika berucap, suara seseorang menghentikan protesannya.

"Jangan buat keributan, Cika!"

Membuat dada Cika diliputi rasa sesak yang menyakitkan sebelum akhirnya ia berdecih sinis.

"Baris dibelakang!' ujar cowok itu kala Cika beranjak hendak keluar lapangan, "Mau kemana lo?"

Cika melirik tangan dan kakinya yang jelas mengeluarkan darah, "Lo buta?" tanyanya dingin.

Cowok itu terkekeh sinis, "Lo-- bener-bener berubah, ya?" ujarnya gamang.

Dia menatap luka-luka Cika dingin sebelum akhirnya berujar datar, "Silahkan ke UKS."

Membuat Cika lanjut melangkah dengan ekspresi datar yang kini jadi andalannya.

Walau di tengah-tengah langkah itu, Cika membalas ucapan Sang laki-laki, Sang ketua OSIS, sekaligus Sang Mantannya itu dengan getir.

"Gue berubah karena lo juga berubah, Rescaka."

Dan itu berhasil membuat Caka menatap punggung Cika dengan tatapan tak terbaca sampai punggung itu menghilang ditelan jarak.

Tapi, tak lama kemudian, tatapan itu berganti dengan tatapan penuh kebencian kala sebuah kejadian melintasi ingatannya.

Cika mendorong Syifa dari tangga.

Caka tersenyum miring.

Dia memang tak tau latar belakang apa yang menyebabkan kejadian itu, tapi, satu yang Caka tau.

Cika, penyebab Syifa tiada.

Dan itu adalah sebuah kejahatan fatal.

Caka membenci penjahat, apalagi yang seperti Cika, penjahat tanpa tindak pidana.

Oleh karena itu, meski Caka sering mendapat laporan mengenai pembullyan yang Cika alami, dia memilih diam, bahkan menutupinya dari guru-guru.

Karena kalau gadis itu tak dapat hukuman negara, biarlah hukum sosial yang bekerja. 

Caka tak menyadari, bahwa semua tindakkannya selama ini membuat Cika remuk redam.

***

Mwehehe, sekalian up, gan.

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang