15 : Jahat

120 15 1
                                    

Bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Sekolah sudah sepi, tetapi seorang gadis masih terduduk lesu di taman belakang sekolah. Iya, gadis itu adalah Cika.

Bajunya kotor, dengan bau menyengat yang menguar dari tubuhnya. Rambutnya lepek dan lengket, sedangkan wajahnya memerah. Gadis itu tidak sedang menangis, dirinya hanya bersandar lesu dibawah pohon beringin kering yang dirumorkan angker di sekolahnya. Gadis itu menarik napas dalam, mengabaikan fakta bahwa bau menyengat ikut terhirup bersamaan dengan nafas yang ia hirup.

Di pikiran Cika sekarang hanya ada satu hal, dia harus mengumpulkan niat. Niat untuk segera membasuh tubuhnya. Dia tak mungkin akan pulang dengan kondisi begini kan? Dia hanya akan mengotori mobil mahal yang dipijamkan Tuan Antaraja --orang yang katanya adalah Papanya itu. Cika tak mau hal itu terjadi, dia akan semakin dianggap sebagai anak tak tau diri kalau itu terjadi.

Jadi, menarik napas sekali lagi, Cika kemudian bangkit berdiri. Perlahan, gadis itu melangkah memasuki salah satu bilik kamar mandi dan segera menuntaskan kegiatannya.

15 menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi. Penampilannya sudah kembali rapi. Tidak ada lagi noda kehitaman berbau menyengat yang melekat pada tubuhnya. Tidak ada lagi rambut lepek lengket yang menghiasi kepalanya. Semuanya sudah kembali bersih.

Mata Cika bergrilya, memindai kondisi sekitarnya. Kemudian setelah merasa tidak ada siapapun, gadis itu melangkah menuju koridor dan bergegas menuju parkiran. Ia tak boleh berada di sini lebih lama lagi, kasihan Pak Udin yang nanti menjemputnya jika Cika terlalu lama. Cika tak ingin membuat Pak Udin menunggunya dan khawatir padanya.

Gadis itu melangkah cepat, dengan tangan yang menggenggam plastik berisi baju kotornya, ia berjalan menunduk di sepanjang koridor sekolahnya. Karena langkahnya yang cepat dan pandangannya yang tidak mengarah dengan benar itulah Cika akhirnya menabrak seseorang. Cika terhuyung kebelakang, matanya tertutup, sudah bersiap merasakan sakit karena merasa bahwa dirinya sudah pasti terjungkal kebelakang. Hanya saja, walau sudah menghitung sampai tiga hitungan, Cika tak kunjung merasakan sakit pada tubuh bagian belakangnya.

Apalagi, kemudian suara lembut terdengar di telinganya.

"Kenapa malah merem? Kamu gak jatuh kok, sudah saya tahan ini."

Cika terhenyak, matanya refleks terbuka, seiring dengan gerak refleks tubuhnya yang segera bangkit menjauh.

Kemudian, Cika jadi meringis kecil kala matanya menangkap sesosok laki-laki asing yang juga memakai seragam sekolahnya. "Maaf," cicitnya pelan.

Laki-laki itu terkekeh, "It's okay. Tapi lain kali jalannya liat ke depan ya Nona," ujarnya ramah.

Cika terhenyak, alisnya spontan mengerut kala tidak merasakan aura kebencian ataupun aura permusuhan dari laki-laki di hadapannya ini.

Laki-laki ini benar-benar murid sekolahnya kan? Mengapa tidak membenci Cika seperti yang lainnya? 

"Hei, kenapa melamun? Saya bertanya namamu loh. Apa sepatu lebih menarik dari saya?" Cika tersentak kala bahunya ditepuk pelan oleh laki-laki itu. Mata Cika kini menatap wajah laki-laki yang tadi ditabraknya itu, wajah yang kini menampilkan ekspresi cemberut. "Aduh, mama saya bohong. Katanya saya tampan, rupanya masih kalah dari sepatu hitam," ujar laki-laki itu lagi.

Cika benar-benar mengerutkan alisnya kini, "Lo gak kenal gue..?" tanyanya gamang.

Laki-laki itu kini mengerutkan dahinya, "Seingat saya, saya belum kenal kamu makannya saya ngajak kenalan," ujarnya masih dengan nada ramah. Kemudian kala melihat ekspresi Cika yang makin kebingungan, tawa kecil laki-laki itu mengudara, "Aduh, maaf. Sepertinya kamu cukup populer ya disini? Saya anak baru disini. Baru masuk pagi tadi, jadi saya belum mengenal kamu," jelasnya. "Saya Raditya, kamu bisa panggil saya Radit. Kalau kamu siapa?" Laki-laki itu, yang ternyata bernama Radit menjelaskan tanpa diminta.

Membuat Cika yang semula was-was karena sudah lama tidak berinteraksi jadi sedikit menurunkan tingkat kewaspadaannya. Tawa Radit cukup manis, Cika jadi sedikit merasa aman karenanya.

"Saya Ci--"

"Radit! Disini lo rupanya."

Belum sempat Cika memperkenalkan diri, ucapannya keburu terpotong oleh suara yang amat ia kenal.

"Lo... kenapa ngobrol sama pembunuh Dit?" Lanjut suara itu, terdengar cukup menyudutkan.

Radit yang mendengar ucapan itu sontak mengerutkan dahi, "Huh? Maksud ucapan lo apa Tama?" tanyanya tak mengerti.

Sedangkan Cika yang mendengar kalimat itu hanya tersenyum miring. 

Pada mulanya, hatinya akan berdenyut sakit kala ucapan itu terdengar dari mulut Tama yang kini berstatus sebagai mantan kekasihnya itu, tapi lama kelamaan hatinya mati rasa. Ucapan itu tidak ada rasanya lagi.

Namun, ucapan selanjutnya dari Tama berhasil membuat mata Cika membulat, "Ah, lo anak baru jadi belum tau kalo cewek di depan lo itu pembawa sial," jeda sejenak, "Dia penyebab kematian dua orang, orang pertama adalah seseorang yang katanya sahabatnya, sedangkan yang satunya adalah mamanya sendiri," jeda lagi, ada senyum meremehkan yang hadir di wajah Tama sebelum melanjutkan. "Jadi hati-hati, walau wajahnya cantik dan manis, dia gak lebih dari seorang iblis, Raditya. Iblis yang menghilangkan nyawa mamanya sendiri."

Tubuh Cika bergetar hebat setelah itu. Bahkan ketika Tama membawa Raditya pergi menjauh, tubuh Cika tetap bergetar. Perlahan namun pasti, tubuhnya meluruh di lantai. Dia menangis.

Karena, Tuhan, mengapa ada orang sejahat Tama di dunia ini?

Dia tak tau apapun, mengapa dia bersikap seolah tau segalanya dan menghakimi Cika begitu...?

***

Halo ini lama banget. Bahkan setahun lebih sejak aku vakum dari dunia wattpad huaaa. Maaf yaa, aku gatau ini masih ditunggu atau engga tapi... aku kembali!

Aku usahain untuk mengejar proyek yang sudah terbengkalai sangat lama. Aku tamatin kok, tenanggg.

Sudah ya.

Salam,

inggitariana.

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang